Selasa, 28 Juni 2016

Elshinta - Kirim 2000 Mahasiswa Ke Jantung Dunia


Kirim 2000 Mahasiswa Ke Jantung Dunia

Bimo Saongko BSAE, MSEIE, MBA terlahir dari keluarga sederhana. Ayahnya seorang tentara dan ibunya adalah ibu rumah tangga biasa. Namun keinginannya yang kuat untuk bisa sukses membuatnya ulet belajar sejak kecil dan dekat dengan buku. Salah satu mimpinya adalah bisa studi di luar negeri. Masa kecilnya dihabiskan di Tanjung Priok, lokasi yang cukup keras di Jakarta. Karena itulah, selesai bangku SMP, Bimo lalu dikirim ke kota Bandung untuk melanjutkan studi SMA. “Saking saya inginnya bisa belajar di luar negeri, saya SMA tidak mau di Jakarta. Akhirnya saya pilih untuk sekolah di Bandung, ikut saudara disana. Jadi saya memang sudah bisa mandiri dan jauh dari orang tua sejak SMA,” katanya.

Masa kecilnya dihabiskan di Tanjung Priok, Jakarta dengan kondisi dengan kondisi lingkungan yang tak terlalu baik. Demi menjaga dirinya dari pergaulan buruk, lalu orangtuanya mengirimkannya untuk belajar di salah satu SMA di Bandung. Keinginan  kuat untuk bisa belajar di luar negeri dibuktikannya, sekitar tahun 1990-an ia  diterima untuk belajar di Amerika Serikat. Sepulang dari Amerika Serikat dengan menggondol gelar S1 dan S2, lalu ia kembali mengulik ilmu di Jerman. Pulang kembali dan mendirikan Euro Management Indonesia, lembaga konsultasi pendidikan untuk luar negeri yang saat ini telah memberangkatkan 2000 orang ke Eropa.

Selepas SMA pada tahun 1990, lalu ia masuk ke ITB. Namun baru sebulan kuliah, Bimo pun dierima untuk kuliah program beasiswa Menristek Habibie kala itu, dan ia pun berangkat ke Amerika Serikat di tahun itu. Untuk mendapatkan beasiswa ini bukanlah pekerjaan mudah, ia melakukan serangkaian tes hingga 6 kali sampai akhirnya dinyatakan lulus dan diberangkatkan ke AS. Di Amerika, dirinya kuliah dengan mengambil jurusan TEknik Penerbangan di North Carolina University yang kemudian dilanjutkan dengan menamatkan S-2 di Arizona State University. Pria kelahiran tahun 1972 ini mengakui jika di masa-masa awal kuliah di luar negeri memang cukup berat, terlebih jauh dari keluarga. “Yang paling utama adalah factor bahasa, meski di Indonesia sudah belajar bahasa, pada praktiknya tetap saja bahasanya berbeda. Budaya juga, saya masih malu kalau bicara. Praktis, selama 2,5 tahun saya hanya bisa dengar dan tak mengerti bahasa mereka. Setelah itu baru saya bisa lancar berbahasa dan sudah seperti hidup di Tanah Air saja. Tak ada kendala lagi.” Katanya.

Setelah menamatkan jenjang S1 selama 4 tahun, Bimo pun langsung mengambil jenjang S2 dengan tanpa beasiswa. Selama di sana pun, berbagai pekerjaan pernah dicoba olehnya dari mulai kerja di perpustakaan kampus ataupun di kantor pos universitas. Dari pekerjaan tersebut dirinya dibayar hingga 100 euro per minggu. Tamat S2 pada 1997 lalu Bimo pulang ke Indonesia dan langsung bekerja di BPPT. Selain di BPPT ia juga bekerja di salah satu perusahaan dan membuatnya bisa mendapatkan banyak uang. Dari pekerjaan tersebut ia sudah bisa membeli rumah dan mobil. Tapi karena keinginannya untuk bisa kembali kuliah belum padam, semua asetnya kemudian dijual. Dengan bekal dana 6000 euro hasil menjual semua asetnya, Bimo pun berangkat ke Jerman. “Saya kemudian ambil lagi S2 untuk mengambil gelar MBA di Fachhochschule (University of Applied Sciences) Pforzheim, Jerman. Saat di Jerman inilah saya sempat membawa serta anak istri saya. Tapi karena biaya hidup yang cukup berat, akhirnya mereka kembali ke Indonesia sebelum saya menamatkan pendidikan. Di Indonesia saya nol kembali, karena semua asset sudah saya jual,” sebut Bimo.

Namun dari Jerman inilah mimpinya untuk membangun sebuah bisnis di bidang pendidikan mulai muncul. Diakuinya, kala itu sebelum pulang ke Indonesia, di Jerman dirinya sudah membuat business plan, namun pada kenyataanya sangat sulit untuk direalisasikan. “Saat saya kemabli ke Indonesia dua tahun berikutnya, saya malah bingung harus memulai dari mana, karena kantor tidak ada , uang pun tidak ada. Akhirnya saya kembali melamar pekerjaan, tapi tidak ada perusahaan yang menerima juga. Karena tak ada yang mau menerima, saya pilih kembali ke BPPT. Saat itu saya digaji Rp. 1,5 juta sebulan. Saya nikmatin saja lah, “akunya.

Tapi karena ide bisnisnya belum hilang, sambil bekerja di BPPT Bimo pun membuat brosur kursus bahasa Inggris yang kemudian ia bagi-bagikan ke sekolah-sekolah SMA. Di tahun 2002, ia mendirikan institusi konsultan pendidikan untuk membantu calon mahasiswa/I yang ingin melanjutkan kuliah di Eropa, yang diberi nama Euro Management Indonesia. Setelah tiga bulan berjalan, ternyata ada beberapa orang tua yang merespon dan langsung mendaftar. Bimo sendiri awalnya tak percaya, karena banyak orang tua siswa yang percaya terhadapnya. Singkat cerita di tahun pertama itulah ia berhasil mendapatkan 20 orang yang akan melanjutkan kuliah ke luar negeri dan mengikuti program pembekalan Bahasa di lembaganya. “Dari 20 orang itu saya bias dapatkan dana sekitar Rp. 600 juta, saya berkewajiban untuk membimbing mereka selama satu tahun sampai ke proses pemberangkatan, pembelian tiket, dan tempat tinggal di negera tujuan, “imbuhnya.

“Saat saya belajar di Jerman, saya merasakan sekali bahwa kuliah di sana biayanya tidak besar bahkan gratis” 

Tahun berikutnya, jumlah pendaftar melonjak menjadi 50 orang, tahun 2005 ada 70 orang dan tahun 2006 berjumlah 90 orang. “Sejujurnya saya tak menduga perkembangan Euro Management Indonesia saya dirikan dengan tujuan memberikan kesempatan yang seluas-luasnya bagi calon mahasiswa Indonesia untuk dapat melanjutkan studinya baik program S1, S2 maupun S3 di Eropa. Saat saya belajar di Jerman, saya merasakan sekali bahwa kuliah di sana biayanya tidak besar bahkan gratis, dan saya berangan-angan nanti kalua pulang ke Indonesia akan membuat institusi pendidikan yang tahu persis kondisi Eropa, terutama Jerman & Prancis, “ungkapnya lagi.

Ayah dari lima anak dan suami dari Ibu Dwireka Novitria ini merasakan sendiri nilai plus saat kuliah di Jerman dan Prancis. Biaya pendidikan gratis di Jerman dan Prancis berlaku untuk semua tingkat pendidikan. Sehingga mahasiswa hanya perlu menanggung biaya hidup dan jumlahnya lebih kurang sama dengan di negara-negara lain, termasuk Indonesia bahkan bisa lebih kecil. 

“Biaya hidup selama kuliah di Jerman dan Prancis pun sebenarnya bisa lebih ringan jika mahasiswa mau mencari pekerjaan part time yang banyak tersedia. Misalnya kalua bekerja maksimal 20 jam perminggu selama masa kuliah, kita bisa mendapatkan  325 Euro perbulan. 

Bahkan mahasiswa berhak mendapatkan pekerjaan full time selama masa liburan 3 bulan, 40 jam perminggu, dengan rata-rata pendapatan antara 750-1000 Euro per bulan. Selama itu, universitas di Jerman dan Prancis juga mewajibkan mahasiswa untuk mengikuti magang selama masa program kuliah di berbagai perushaan Jerman dan Prancis, minimal dua semester penuh dengan pendapatan antara 300 hingga 1000 Euro per bulan, “tuturnya.

Di lembaganya tersebut, para peserta didik Euro Management sudah mendapatkan fasilitas-fasilitas berupa kursus Bahasa Jerman dan Prancis selama 6 bulan dengan pengajar local dan native speaker, pengurusan dokumentasi-dokumentasi (passport dan lain-lain) dan cultural workshop. “Memang tidak ada jaminan bahwa setiap peserta didik di Euro Management akan diterima kuliah di Jerman atau Prancis tapi tidak perlu khawatir karena syarat penerimaan mahasiswa di Jerman dan Prancis itu sangat mudah. Pada prinsipnya di Jerman dan Prancis siapapun boleh mengenyam pendidikan. Yang paling penting hanya lulus dalam tes matematika dasar, “ucapnya.

Diakuinya, saat ini dirinya telah memberangkatkan sekitar 2000 mahasiswa ke luar negeri, khususnya ke negara-negara di Eropa seperti Jerman dan Prancis yang paling banyak diminati. Tak hanya Eropa, dalam jumlah kecil dirinya juga mengurus para mahasiswa yang akan belajar ke Amerika, Jepang, Australia, Inggris dan Negara lainnya.

Kini Euro Management Indonesia telah berkembang pesat menjadi sebuah konsultan pendidikan internasional terbesar di Indonesia yang secara terpadu dan terintegrasi membantu calon siswa-siswi Indonesia yang ingin melanjutkan sudinya ke berbagai perguruan tinggi terbaik dan ternama di Negara-negara Eropa, khususnya di Jerman, Prancis, Amerika Serikat, Belanda, Inggris, Australia dan Jepang. Saat ini dalam setahun dirinya tidak kurang menerima sekitar 150 orang yang mendaftar. Dalam pelayanannya ia baru membuka di Jakarta dengan alasan agar lebih focus, meski sebelumnya pernah juga membuka di Bandung dan Yogyakarta tapi karena perkembangan yang tidak maksimal, dua cabang tersebut akhirnya ditutup. Lalu bagaimana dengan omzet yang bisa diraih dari bisnis ini? “Setahun omzetnya bisa sampai 7,5 miliar dengan laba bersih sekitar 10% dari omzet,” pungkas Bimo. (Doddy Handoko, foto: dok.pri)







Minggu, 26 Juni 2016

The Politic - Mencetak Sejuta Habibie untuk Indonesia

Mencetak Sejuta Habibie untuk Indonesia


Bimo Sasongko, sosok anak bangsa yang kiprahnya pantas diacungi jempol? Dari perjuangannya, lahir ribuan mahasiswa yang sukses menempuh pendidikan S1 di luar negeri. Bimo mampu mengubah mindset banyak orang bahwa kuliah di luar negeri itu sulit dan biayanya mahal.

Lolos dari seleksi  Program Beasiswa STAID 1 BPPT Menristek Prof.Dr.BJ Habibie tahun  1990 mengantarkan Bimo menjadi bagian dari mimpi besar membangun Indonesia. Apalagi setelah melihat hanya segelintir mahasiswa asal Indonesia di luar negeri. Bayangkan, dengan penduduk sebesar 252 juta jiwa, hanya 60.000 mahasiswa Indonesia yang bersekolah ke luar negeri. Sedih dan miris, perasaan itu bercampur aduk di hati Bimo. Sebab, Bimo merasakan sendiri bahwa program pengiriman tamatan SMA Indonesia sangat besar dampaknya bagi peningkatan kualitas SDM. Saat itulah muncul gagasan Bimo untuk berinvestasi di bidang pendidikan, Bimo pun terpicu mendirikan sebuah lembaga pendidikan untuk pengiriman tamatan SMA keluar negeri yang hingga kini sukses mengirimkan 2000 tamatan SMA untuk belajar ke negara-negara maju seperti Jerman, Prancis, Belanda, Amerika Serikat, Inggris, Australia dan Jepang.

Bimo melihat dari perjalanan sejarah yang menunjukakan ada 4 kejayaan, yaitu kejayaan islam, kejayaan Eropa, kejayaan Jepang dan kejayaan Amerika Serikat. Islam maju karena ribuan orang dikirim untuk menerjemahan buku-buku dari Yunani dan Romawi. Perlahan Eropa bangkit dengan banyak mengirimkan ribuan orang ke Cordova, Turki dan Baghdad untuk menyerap ilmu pengetahuan dari Islam hingga menjadi negara maju. Amerika Serikat pun maju dengan menyerap ilmu pengetahuan dari Eropa. Jepang juga mengirimkan ribuan bahkan ratusan ribu orang ke Amerika Serikat dan Eropa tahun 1800an. Bahkan hingga saat ini semua negara maju masih mengirimkan mahasiswanya ke negara-negara maju lainnya. Jepang yang sangat maju sekalipun masih mengirimkan mahasiswanya sebanyak 20.000an ke negara maju Amerika Serikat.

Untuk itu, Bimo pun ingin mewujudkan mimpinya, muncul jutaan Habibie-Habibie baru yang bisa membuat bangsa Indonesia disegani negara lain. minimal ASEAN atau bahkan di dunia. Berikut perbincangan The Politic dengan tokoh muda pendidikan lulusan tiga universitas papan atas di Amerika dan Jerman ini:

Bisa diceritakan perjalanan anda hingga bisa kuliah di luar negeri? 
Saya lulus dari SMA 3 Bandung tahun 1990. Lalu ikut UMPTN dan masuk ITB Bandung jurusan Teknik Informatika. Nah, baru sebulan di ITB saya ikut program beasiswa Prof.Dr.BJ Habibie yang waktu itu menjabat menteri riset dan teknologi (ristek). Program itu rutin tiap tahun mulai dari tahun 1982 yang mengirim mahasiswa ke 9 negara maju dunia seperti Amerika Serikat, Inggris, Kanada, Jepang, Jerman, Prancis, Belanda, Austria dan Australia untuk bidang studi teknologi. Lebih dari 150.000 peserta pertahun yang ikut seleksi, yang diterima berkisar sekitar 100 orang. Saya termasuk salah satu yang diterima untuk kuliah di Amerika Serikat dan mengambil jurusan sama seperti Prof.Dr.BJ Habibie dulu, yaitu teknik penerbangan atau aerospace engineering, di North Carolina State University, Ralegh, North Carolina, USA.

Berapa lama Anda kuliah di luar negeri?
Saya kuliah S1 dari tahun 1991-1995. Lalu setelah lulus saya ambil S2 juga di Amerika Serikat mengambil program master jurusan industrial engineering atau teknik industri di Arizona State University. Tahun 1996 saya pulang ke Indonesia dan berkarir sebentar di BPPT. Di tahun 2001 saya melanjutkan studi ke Jerman mengambil program MBA sampai lulus 2003, bekerja kembali di BPPT sambil mendirikan Euro Management Indonesia dan saat ini saya menjabat sebagai Sekjen IABIE (Ikatan Alumni Program Habibie) yaitu suatu ikatan alumni yang terdiri dari para lulusan SMA terbaik di seluruh Indonesia yang berjumlah ± 1500 orang dari tahun 1982-1996, dikirim dari Kementerian  Riset dan Teknologi dalam program OFP, STMDP, STAID, IPTN dan PT PAL untuk melanjutkan studi S1 di bidang sains dan teknologi ke beberapa negara maju di dunia diantaranya: Jerma, USA, Prancis, Belanda, Inggris, Australia, Kanada, Austria dan Jepang.

Apakah saat di luar negeri banyak juga mahasiswa yang berasal dari Indonesia?
Saat itu hanya segelintir orang Indonesia yang kuliah di luar negeri. Padahal Indonesia adalah negara besar dengan jumlah penduduk yang banyak dan sekolah ke luar negeri itu tidak sesusah, serumit dan semahal yang dibayangkan. Sungguh miris, di tengah banyak negara lain seperti Malaysia, Vietnam, Kamboja, China yang justru gencar mengirimkan puluhan ribu tamatan SMA untuk kuliah di negara maju seperti Amerika, Inggris, Australia, Jepang, Jerman, Prancis dan Belanda. Saya ingin sebanyak mungkin tamatan SMA bisa kuliah S1 ke negara-negara maju tersebut.

Jadi mahasiswa asal Malaysia, Vietnam, Kamboja, China sangat mendominasi jumlahnya di luar negeri ya?
Iya, Statistik menunjukan bahwa di Amerika, jumlah mahasiswa asal Cina sekitar 157.000 orang, India 103.000, Jepang 21.000 orang, dan indonesia sekitar 5000 – 6000 orang. Di Jerman, mahasiswa asal Indonesia sekitar 2000 orang, namun mahasiswa Cina di Jerman sampai 25.000 orang. Penduduk Cina itu 5 kali lipat penduduk Indonesia, jadi kalau mahasiswa Indonesia di Jerman hanya 2.000 orang artinya mahasiswa Cina di Jermanitu 10.000. Tapi nyatanya mahasiswa Cina di Jerman sampai 23.000.
Begitu juga di Australia, mahasiswa Indonesia 11.000 orang, sedangkan asal vietnam 10.000 orang. Padahal penduduk Vietnam hanya sekitar 90 juta orang. Artinya kalau penduduk Indonesia 250 Juta orang atau sekitar 3 kali Vietnam. Idealnya mahasiswa Indonesia di Australia 30.000 orang, nyatanya hanya 11.000 orang artinya Indonesia masih tertinggal dalam mengirimkan mahasiswa Indonesia ke negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Inggris, Jepang, Australia & Jerman.


Sebenernya apa keuntungan kuliah di negara maju bagi masyarakat Indonesia?
Banyak manfaat yang akan didapatkan jika kuliah di luar negeri, tidak hanya ilmu pengetahuan tapi juga mental, percaya diri, kemandirian, dan keberanian dan itu yang dibutuhkan bangsa Indonesia untuk maju bersaing di tingkat global dengan Cina, Malaysia, Kamboja dan negara-negara di dunia lainnya. Indonesia yang sedang berkembang, seharusnya bisa lebih banyak lagi mengirimkan mahasiswanya ke negara-negara maju. Indonesia masih membutuhkan dan harus menyerap ilmu dari negara-negara maju untuk digunakan di Indonesia. Tetapi saat ini ketika Malaysia, Vietnam, Kamboja, mengirimkan ribuan anak-anak SMA untuk kuliah di negara maju, justru mahasiswa dari Indonesia semakin berkurang. Di Amerika Serikat zaman saya kuliah ada 15.000 orang Indonesia, sekarang justru turun hanya tinggal 6.000 bahkan berhenti.

Di tahun 1980 sampai 1990 mahasiswa Indonesia di Jerman sekitar 7.000 orang dan sekarang ini tinggal 2.500 orang, apalagi di Prancis hanya 400 orang. Itu sangat menyedihkan, padahal saat ini jaman globalisasi dan informasi dimana-mana dan tingkat kehidupan masyarakat Indonesia jauh sudah meningkat berkali-kali lipat juga daya belinya jauh dibandingkan 20 tahun yang lalu.


Kenapa seharusnya untuk kuliah di luar negeri itu lulusan SMA buka S1?
Selama ini mindset orang Indonesia adalah ingin sekolah keluar negeri untuk program S2nya saja, inilah yang membuat Indonesia kalah tertinggal dengan negara lain. Kenapa bisa tertinggal, karna jaman dulu informasi tidak ada, keuangan keluarganya masih rendah, kuliah S1 di Indonesia masih murah sehingga banyak orang menganggap bahwa S2 saja keluar negerinya. Namun zaman sekarang informasi sudah ada, globalisasi dimana-mana, teknologi sudah canggih, jarak tempuh pendek, mentalnya masih muda, mudah beradaptasi, kemampuan bahasanya lebih cepat untuk mempelajari bahasa asing, dan untuk S1 di luar negeri kuliah lebih lama mencapai 4 – 5 tahun dibandingkan dengan kuliah S2 hanya 1 – 2 tahun, sehingga proses adaptasi dan pengenalan budaya di negara tersebut len=bih mudah sehingga saya merekomendasikan untuk tamatan SMA kesana sama halnya dengan Pak Habibie. Saya yakin untuk di sekolah tidak hanya dibutuhkan ilmunya sajam akan tetapi cara berpikir, mental, kepercayaan diri itulah tamatan SMA dibutuhkan.

Bagaimana Anda mellihat peran Pemerintah?
Pemerintah Indonesia masa kalah dengan pemerintah Malaysia, Vietnam, atau Kamboja apalagi Cina. Di Kamboja penduduknya hanya 13 juta orang, se per 20-nya bangsa Indonesia, teteapi mahasiswanya yang kuliah negeri sekitar 18.000. Kondisi ini miris, kalau mengacu pada jumlah penduduk Kamboja dibanding Indonesia maka seharusnya Indonesia mengirim tamatan SMA untuk kuliah ke luar negeri sekitar 360.000 an, faktanya 60.000an.

Untuk itu pemerintah perlu membuat program beasiswa yang dibiayai dengan seleksi yang bagus dan seleksi yang ketat. Tamatan SMA yang cerdas, pintar, bermental baik, memiliki nasionalisme bisa dikirim sekolah keluar negeri baik pemerintah pusat atau daerah seperti Gubernur, Walikota, Kementrian- kementrian, BUMN, Bank-bank Nasional, Institusi –institusi sosial, Partai politik atau dukungan pinjaman dari perbankan. Saya yakin 20 tahun lagi bangsa Indonesia akan maju. Seperti pada era kejayaan Islam, banyak siswa dari negara eropa dikirim ke negara – negara Islam seperti Syiria, Irak, dan Turki. Akhirnya setelah mereka menguasai ilmu, Eropa menjadi lebih maju, begitu juga Amerika, Jepang, Cina. Tak heran jika percepatan teknologi Cina itu berkembang pesat.

Jadi perlu dukungan besar dari pemerintah, agar program pak Habibie yang berhenti tahun 1997 bisa berjalan lagi. Apalagi menjelang Masyarakat Ekonomi ASEAN bisa masuk ke Indonesia untuk bekerja dengan ijazah dari berbagai belahan dunia. Bangsa ini harus unggul berwawasan global internasional.

Bagaimana perkembangan pengiriman mahasiswa Indonesia ke Luar Negeri, pencapaian apa yang telah Anda raih?
Alhamdulillah, lebih dari 13 tahun Euro Management Indonesia berdiri. Hingga kini saya sudah mengirimkan sebanyak hampir dari 2000 tamatan SMA terbaik bangsa ini di seluruh Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Baik laki-laki maupun perempuan berbagai jenis SMA dari berbagi suku di daerah. Bayangkan zaman pak Habibie dulu, mengirimkan 1500 orang mahasiswa tamatan SMA, dan kini saya sudah mengirim 2000 orang. Saya cukup puas dan bangga dan akan terus berjuang mengirimkan lebih banyak lagi orang Indonesia untuk bersaing dengan Malaysia, Vietnam, Kamboja bahkan Cina.


Apa obsesi Anda ke depan?
Saya memiliki komitmen untuk men-drive pemerintah dan seluruh stake holdernya lain agar terus mengirimkan siswa-siswa tamatan SMAterbaik bangsa ini agar isa kuliah ke luar negeri. Di era pak Habibie dulu dengan uang masih terbatas bahkan pinjaman, masih bisa mengirim siswa Indonesia ke luae negeri sebanyak 1500- 2000 orang. Itu karena pak Habibie punya visi untuk mengirimkan sebanyak-banyaknya siswa tamatan SMA terbaik bangsa ini keluar negeri. Masih bisa mengirimkan siswa tamatan Indonesia ke luar negeri sebanyak-banyaknya. Saat ini, Indonesia semakin maju, informasi ada dan semakin mudah didapat, teknologi maju, uang ada dan uang kuliah juga tidak mahal. 

Kenapa tidak mengirimkan ribuan bahkan jutaan orang kuliah ke luar negeri?
Saya ingin terus berjuang dan berjuang mengirimkan ribuan bahkan jutaan anak Indonesia untuk kuliah di negara maju, karna dengan ini banyak anak Indonesia yang pintar berwawasan global dan lulusan luar negeri di negara-negara maju. Dan saya yakin akan muncul sejuta habibie baru yang akan menggetarkan dunia.
Sebagai penutup, saya cuplik ucapan yang paling menggetarkan bangsa ini dari Presiden Soekarno;
“Berikan aku 1000 orangtua, niscaya akan aku cabut semeru dari akarnya, Beri aku 10 Pemuda niscaya akan aku Guncangkan Dunia” –Soekarno-.



Jumat, 24 Juni 2016

Republika - Habibie dan Impian Alamiah Ibu Pertiwi



Habibie dan Impian Alamiah Ibu Pertiwi
Oleh  :  Bimo Joga Sasongko   *)


Ibu pertiwi engkau pegangan
Dalam Perjalanan
Janji pusaka dan sakti
Tanah tumpah darahku
Makmur dan suci

Potongan puisi yang sangat menggugah hati diatas adalah karya Presiden RI ketiga BJ Habibie yang pada 25 Juni usianya genap 80 tahun. Puisi tersebut menunjukkan bahwa BJ Habibie merupakan sosok yang amat sangat mencintai bangsanya. Baginya Ibu Pertiwi adalah personifikasi jiwa kebangsaan yang terkandung cita-cita dan mimpi yang harus diwujudkan.
 
Habibie muda yang biasa dipanggil Rudy sejak 1950 sudah memikirkan bagaimana dirinya bisa mewujudkan impian alamiah Ibu Pertiwi. Terpicu oleh sahabat karib semasa SMA di Kota Bandung yang bernama Lim Keng Kie, Rudi harus meninggalkan Fakultas Teknik Universitas Indonesia di Bandung lalu berjuang keras menjadi mahasiswa RWTH Aachen (Rheinisch Westfalische Technische Hochschule Aachen). Merupakan perguruan tinggi yang tertua di Jerman yang didirikan untuk menunjang tahapan revolusi industri. 

Impian alamiah Ibu Pertiwi semakin mengkristal dalam sanubari dan terngiang-ngiang di telinga Rudy. Terlebih ketika 1955 dirinya bertemu dengan Bung Karno dan menyimak gelora pidato Presiden RI pertama itu. Saat itu Bung Karno menyatakan impian-impian Ibu Pertiwi terkait dengan pentingnya kemandirian di sarana-prasarana perhubungan di Indonesia. Untuk itu dibutuhkan kapal laut dan pesawat terbang yang dibuat di dalam negeri dan dilakukan dengan kompetensi putra-putri bangsa sendiri.

Dalam perjalanan sang waktu dan lintasan sejarah, harapan dan keinginan Bung Karno diatas telah dibayar lunas alias telah diwujudkan oleh BJ Habibie. Karena berhasilmendirikan bermacam wahana transformasi teknologi dan industri. Serta menyiapkan SDM unggul bangsa yang mampu bekerja sama dan bergotong royong mewujudkan impian alamiah Ibu Pertiwi.

Selain menyiapkan wahana dan SDM kelas dunia, BJ Habibie telah menyiapkan cetak biru pembangunan infrastruktur bangsa yang berbasis kemandirian dan proses nilai tambah  optimal yang berarti bagi perekonomian bangsa. Pemerintah saat ini seharusnya melanjutkan tahapan dan kerja detail BJ Habibie dalam membangun infrastruktur.

Pembangunan infrastruktur selayaknya dipersiapkan secara matang dari aspek SDM dan proses rancang bangunnya harus melibatkan pihak dalam negeri semaksimal mungkin. Pembangunan infrastruktur jangan dilepaskan begitu saja kepada investor luar negeri, sedangkan kita tinggal terima jadi.

Impian alamiah Ibu Pertiwi harus terus menerus diwujudkan oleh generasinya. Impian alamiah yang antara lain terkait dengan infrastruktur perhubungan, kebutuhan energi nasional hingga industri pertahanan dan keamanan perlu persiapan SDM secara detail.

Pemerintahan Presiden Jokowi saat ini sebaiknya banting setir menuju kemandirian secara totalitas, dalam membangun infrastruktur harus menyiapkan SDM dalam negeri secara besar-besaran. Karena pembangunan infrastruktur tidak berhenti begitu saja saat proyek selesai, tapi akan timbul persoalan teknis dan kontinuitas pengembangan infrastruktur.

Kita bisa menyimak bagaimana pada periode BJ Habibie menjabat Menteri ristek dan teknologi telah mengirimkan sekitar 4000 pemuda belia lulusan SMA untuk kuliah di perguruan tingi terkemuka dunia. Hampir semuanya berhasil menyelesaikan kuliah hingga strata S2 dan S3.

Kini mereka itu tersebar dalam berbagai lembaga pemerintahan dan swasta. Banyak diantara mereka kini menjadi pengembang dan inovator teknologi serta sukses melakukan transformasi proses dan model bisnis di berbagai perusahaan terkemuka. 

Saatnya Presiden Joko Widodo menghimpun dan menyinergikan ribuan anak-anak intelektual BJ Habibie untuk mencurahkan pikiran dalam pembangunan infrastruktur dan pengembangan industri dan Iptek Nasional.

Betapa detailnya BJ Habibie menyiapkan SDM unggul untuk transformasi bangsanya. Bisa kita lihat, dalam mewujudkan impian alamiah Ibu Pertiwi untuk terwujudnya Jembatan Udara kepulauan Nusantara telah dipersiapkan portofolio kompetensi sedemikian detailnya hingga dirumuskan job discription yang paling dasar. Portofolio itu bisa kita simak pada SDM PT Dirgantara Indonesia. 

Sebagai negara kepulauan, negeri ini membutuhkan strategi yang tepat dalam pengadaan pesawat komuter sebagai jembatan udara.Berkat BJ Habibie Indonesia telah memiliki strategi unggul dalam pengadaan pesawat komuter dengan cara memproduksi sendiri.Warisan ini seharusnya dikembangkan secara optimal oleh pemeritahan saat ini.

Selain membangun infrastruktur berupa fasilitas fabrikasi, permesinan, dan laboratorium yang hampir setara dengan perusahaan dirgantara raksasa Amerika Serikat yakni Boeing. BJ Habibie telah berhasil membentuk portofolio kompetensi dalam suatu sistem job establishment yang berkelas dunia. Yang meliputi postur SDM yang kompetensinya terdiri atas kelompok enginering terdapat 141 job-title, kelompok produksi 65 job-title, kelompok Human Resource 82 job-title, dan kelompok niaga 21 job-title. 

Postur SDM dan portofolio kompetensi yang sangat detail dan sesuai dengan perkembangan dunia tersebut juga terjadi di wahana maritim dalam hal ini PT PAL, wahana industri hankam dalam hal ini PT PINDAD dan lain-lainnya.

Para kader atau anak-anak intelektual BJ Habibie dalam karier dan karyanya pada saat ini sudah mencapai tahap maturitas atau sudah matang dibidangnya. Mereka kini dalam kisaran usia puncak produktivitas dan juga unggul dalam hal manajemen program dan proyek. 
Dengan kondisi seperti ini, jangan ada keraguan bagi Pemerintahan Presiden Joko Widodo untuk segera melibatkan dan memeras otaknya anak-anak intelektual BJ Habibie demi untuk kemajuan dan daya saing bangsa pada era globalisasi.

Mereka kini berhimpun dan berkomunikasi dalam wadah Ikatan Alumni Program Habibie (IABIE). BJ Habibie selalu berpesan dan menekankan terhadap anggota IABIE untuk bersikap inklusif dan selalu tampil digaris depan dalam menyelesaikan persoalan bangsa.

Warisan BJ Habibie yang berupa wahana industri dan kader intelektual juga sangat berguna untuk menyelesaikan program nasional kelistrikan 35 ribu MW yang kini menjadi perhatian Presiden Jokowi. Wahana tersebut berupa PT Nusantara Turbin dan Propulsi ( PT NTP) yang SDM-nya memiliki kemampuan setara dengan industri terkemuka dunia. Yakni General Electrics (GE) yang selama ini memproduksi berbagai turbin untuk pembangkit listrik, industri dan turbin gas untuk mesin pesawat terbang.

Pemerintahan Jokowi perlu merevitalisasi industri nasional terkait dengan infrastruktur kelistrikan khususnya teknologi pembangkit dengan menugaskan PT NTP sebagai ujung tombak program kelistrikan 35 ribu MW.Ternyata di negeri ini hanya ada satu turbine manufacturer yakni PT NTP. 

Itupun hanya sanggup mengerjakan proyek PLTU dengan daya maximum 7 MW sehinggaharus segera ditingkatkan kemampuannya. Sedangkan untuk membuat generator kalangan industri dalam negeri hanya mampu membuat dengan kapasitas maximum 15 MW. Sedangkan untuk rancang bangun boiler ada beberapa perusahaan yang kemampuan produksinya cuma mengerjakantipe stocker dengan kapasitas maximum 15 MW. 

Melihat kondisi itu alangkah baiknya pemerintah menggariskan kembali strategi transformasi industri dan teknologi warisan BJ Habibie. Kita perlu mengambil pelajaran berharga dari pengalaman transformasi teknologi dan industri di Eropa dan Amerika yang diawali dengan penguatan infrastruktur energi dan pembangkit listrik.

Dengan fokus memperkuat  kapasitas industri nasional untuk memproduksi berbagai jenis turbin, kompresor, generator, pompa dan berbagai perkakas permesinan. Jangan sampai pembangkit listrik sebagian besar komponennya diimpor dari Cina.

Begitu pula proses rancang bangun dan fabrikasi untuk instalasi pembangkit listrik diatas semuanya dilakukan oleh para insinyur dan teknisi dari Cina. Akibatnya para insinyur dan teknisi Indonesia harus gigit jari.



*) BIMO JOGA SASONGKO, Sekjen Pengurus Pusat IABIE (Ikatan Alumni Program Habibie).