Rabu, 28 Desember 2016

Press Release Refleksi Akhir Tahun 2016 - Milestone SDM 2017


Press Release
Reflkesi Akhir Tahun 2016
Milestone SDM 2017
Menjaring siswa SMA berbakat
Program vokasional berbasis link and match
Pendidikan informal berpendidikan rendah
Postur Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia tergambar dalam data ketenagakerjaan 2016 yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS), dimana jumlah angkatan kerja mencapai 127,67 juta orang.  Dari jumlah angkatan kerja tersebut sebesar 47,37 % masih didominasi oleh lulusan SD dan SD ke bawah, berpendidikan SMTP sebesar 18,57 % dan SMTA beserta SMK sebesar 25,09 %. Sedangkan lulusan Diploma ke atas (DI, DII, DIII dan Universitas) hanya berjumlah 8,96 %. Komposisi jumlah angkatan kerja diatas tentunya tantangan berat untuk bisa bersaing secara global. Juga sangat rentan menimbulkan masalah sosial yang gawat.
MEMASUKI 2017 perlu meneguhkan Milestone pengembangan SDM nasional agar bisa bersaing secara global. Milestone merupakan langkah besar dan strategis sebagai tonggak penting dalam perjalanan bangsa. Dengan kondisi postur SDM diatas perlu menekankan program nasional yang dikelompokkan menjadi tiga segmen.
Pertama adalah program penjaringan siswa lulusan SMA yang berbakat dan memiliki prestasi akademis yang bagus untuk diberi kesempatan dan dipacu agar menjadi tenaga ahli atau ilmuwan kelas dunia. Jumlah siswa lulusan SMA berbakat setiap tahun meningkat dan tidak sebanding dengan daya tampung atau kapasitas perguruan tinggi terbaik di Tanah Air. Bahkan untuk prodi tertentu sangat tidak sebanding dengan jumlah lulusan SMA berbakat.
Dengan kondisi tersebut perlu terobosan dengan membuka kesempatan lulusan SMA berbakat untuk belajar ke luar negeri. Agar mampu menembus perguruan tinggi ternama di luar negeri. Mereka perlu diarahkan hingga diberi insentif lewat bea siswa atau kredit mahasiswa. Mereka perlu program matrikulasi, penguasaan bahasa asing beserta aspek budayanya, tangguh menghadapi proses seleksi masuk perguruan tinggi, serta mendapatkan program pendampingan agar lancar memulai studinya di luar negeri.
Kedua adalah program vokasional berbasis link and match. Penekanan program adalah mengembangkan sistem apprenticeship seluas-luasnya di Tanah Air. Apalagi para pemimpin pemerintahan dan bisnis di negara anggota G-20 telah menekankan pentingnya apprenticeship yang bermutu dalam mengatasi masalah ketenagakerjaan bagi lulusan SMTA atau SMK. G-20 Leaders’ Summit telah memberi penekanan lebih jauh tentang apprenticeship.
Ketiga adalah program pendidikan informal untuk segmen berpendidikan rendah, lulusan SD atau tidak tamat SD serta lulusan SMP. Pendidikan informal bisa mereduksi masalah sosial khususnya di perdesaan. Tahap pertama untuk program ini adalah membenahi organisasi pendidikan nonformal yang pernah ada. Baik yang ada di tingkat desa atau kecamatan yang biasa disebut Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM ) dan di tingkat Kabupaten/Kota yang disebut Sanggar Kegiatan Belajar (SKB). Organisasi ini harus dimodernisasi prasarananya serta kurikulumnya disesuaikan dengan kemajuan jaman.
Menjaring Siswa SMA Berbakat
Selama ini mindset bangsa Indonesia adalah ingin sekolah keluar negeri untuk program S2 atau S3 saja. Faktor inilah yang membuat Indonesia kalah tertinggal dengan negara lain. Kenapa bisa tertinggal, karena zaman dulu informasi tidak ada, kondisi keuangan keluarganya masih rendah, kuliah S1 di Indonesia masih murah sehingga banyak orang menganggap bahwa S2 saja keluar negerinya.
Namun zaman sekarang infomasi sudah ada, globalisasi dimana-mana, teknologi sudah canggih, jarak tempuh pendek, mentalnya masih muda, mudah beradaptasi, kemampuan bahasanya lebih cepat untuk mempelajari bahasa asing, dan untuk S1 diluar negeri kuliah lebih lama mencapai 4 – 5 tahun dibandingkan dengan kuliah S2 hanya 1 – 2 tahun, sehingga proses adaptasi dan pengenalan budaya di negara tersebut lebih mudah sehingga saya merekomendasikan untuk tamatan SMA kesana sama halnya dengan apa yang ditempuh BJ. Habibie saat masih belia.
Kini pemerintahan Presiden Joko Widodo sedang gencar membangun berbagai macam infrastruktur fisik dan program rekayasa untuk memenuhi swasembada pangan. Maka dibutuhkan SDM yang unggul dan menguasai tren global tentang riset dan teknologi terkini. Untuk itu perlu mengirim sebanyak-banyaknya lulusan SMA berbakat untuk belajar di perguruan tinggi di negara maju. Hal ini lebih efektif karena para lulusan SMA secara psikologis masih sangat idealis dan mudah melakukan revolusi mental saat belajar di luar negeri. Begitupun dari segi rentang usia, lulusan SMA memiliki waktu yang cukup untuk mendalami Iptek secara komprehensif.
Keunggulan untuk mencetak SDM unggul dengan mengirimkan ke luar negeri adalah sistem pendidikan di sana yang menekanakan sistem Lab Based Education (LBE) yang tidak dimiliki oleh perguruan tinggi di dalam negeri. Sistem LBE adalah pendidikan yang dikaitkan dengan proyek riset atau tugas akhir di laboratorium canggih.
Seperti misalnya di University of Tokyo yang merupakan salah satu universitas ternama di Jepang. Pendidikan yang didominasi oleh perkuliahan selama ini mendominasi cara pendidikan di universitas dalam negeri. Hal itu hanya membentuk kompetensi umum individu atau generality. Prof. Suzuki berpendapat bahwa kompetensi ke spesialis ( specialty ) diperoleh dengan sistem LBE yang berkaitan dengan project based research atau thesis based education. Sehingga mahasiswa mampu menjadi spesialis sekaligus versatilis yakni seorang problem solver pembangunan bangsa dan inovator industri serta rekayasa sosial yang andal.
Ada baiknya pemerintah saat ini napak tilas SDM Teknologi yang dahulu dipersiapkan oleh Prof.BJ.Habibie lewat beasiswa ikatan dinas kuliah di luar negeri untuk menangani transformasi industri dan teknologi berbagai bidang. Pada saat ini mereka tetap eksis dan telah menemukan jalan masing-masing untuk mengabdikan kompetensinya kepada negeri ini.
Penerima beasiswa ikatan dinas ke luar negeri searah dengan paradigma global brain circulation seperti yang dikemukakan oleh Paul Krugman penerima hadiah Nobel bidang Ekonomi. Para penerima beasiswa LN yang dikirim sejak mereka lulus SMA lebih mudah menjadi sosok versatilis. Sosok itu telah menjadikan kompetensi dan pengalaman sewaktu kuliah dan magang kerja di LN sebagai modal penting untuk memecahkan berbagai persoalan bangsa. Hal itu tidak mengherankan karena sistem pendidikan di negara maju bisa menjadi problem solving yang hebat untuk berbagai kehidupan. Karena kurikulum mengalami perbaikan yang terus menerus, berkembang setiap detik dan sangat memperhatikan kerja detail.
Vokasional yang berbasis Link and match
Memasuki 2017 perlu totalitas menggalakkan program vokasional atau kejuruan yang berbasis apprentice untuk membangunkan nilai tambah lokal yang diibaratkan raksasa yang masih tertidur. Esensi nilai tambah lokal adalah berbagai usaha produksi atau jasa yang berlangsung di Tanah Air. Dimana proses pengolahannya menggunakan teknologi dan inovasi sehingga memiliki harga yang lebih tinggi atau berlipat ganda jika dibandingkan dengan harga bahan mentahnya. Dan bisa memperluas lapangan kerja. Dengan prinsip nilai tambah yang genuine, bangsa Indonesia tidak sudi lagi mengimpor bahan mentah tanpa diolah secara signifikan terlebih dahulu.
Program vokasional berbasis apprentice adalah kunci suksesnya industrialisasi di negara maju. Sedangkan di Indonesia juga pernah diterapkan sistem Apprentice untuk memenuhi kebutuhan SDM industri dalam durasi yang singkat. BUMN industri strategis, seperti industri pesawat terbang PT DI pernah mencetak puluhan ribu teknisi ahli yang direkrut dari lulusan SMA dan SMK menjadi SDM industri yang spesifik dan sesuai dengan kebutuhan.
Apprenticeship dalam istilah bahasa Indonesia bisa disederhanakan artinya menjadi pemagangan. Apprenticeship adalah bentuk unik dari pendidikan kerja, yang mengkombinasikan pelatihan di tempat kerja dengan pembelajaran berbasis di sekolah, terkait kompetensi dan proses kerja yang ditentukan secara khusus.
Durasi apprenticeship biasanya lebih dari satu tahun dan bahkan di beberapa negara berlangsung selama empat tahun. Pendekatan organisasi buruh sedunia ILO untuk apprenticeship adalah mekanisme pembelajaran canggih atas dasar saling percaya dan kerjasama antar pemangku kepentingan yaitu : kaum muda, otoritas ketenagakerjaan dan pendidikan, pengusaha dan pekerja.
Pemagangan berbasis link and match sebaiknya menekankan prinsip desentralisasi. Ini bisa sukses dengan catatan pemerintah daerah harus benar-benar siap secara teknis maupun kelembagaan. Desentralisasi juga menjadi momentum untuk membenahi standardisasi sekolah menengah, terutama SMK agar terwujudnya link and match dalam pembangunan nasional. Standardisasi sekolah kejuruan sangat beragam dan tidak sama setiap daerah. Tergantung dari sumber daya lokal serta mengikuti perkembangan dunia industri dan transformasi teknologi.
Untuk mewujudkan link and match perlu sinergi antara ikatan sekolah kejuruan, dunia usaha/industri yang diwakili oleh KADIN serta praktisi atau ahli teknologi yang memiliki pengalaman tentang transformasi industri dan teknologi di negara maju. Konsep link and match yang dirumuskan oleh Wardiman Djojonegoro yang pernah menjadi Mendikbud Kabinet Pembangunan VI, pada saat ini konsep tersebut masih relevan.
Perspektif link menunjukkan proses, yang berarti bahwa proses pendidikan selayaknya sesuai dengan kebutuhan pembangunan, sehingga hasilnya pun cocok (match) dengan kebutuhan tersebut.Baik dari segi jumlah, mutu, jenis, kualifikasi maupun waktunya. Sistem pendidikan nasional sejak Indonesia merdeka hingga kini belum mampu memenuhi tuntutan dunia usaha dan industri.
Desentralisasi ujian kelulusan berimplikasi terhadap fleksibliitas pemda dalam menyusun dan memenuhi portofolio ketenagakerjaan di daerahnya. Hal ini terutama terkait dengan kebutuhan akan pendidikan vokasional atau kejuruan. Khususnya vokasional yang terkait sektor unggulan seperti maritim, perhubungan, telekomunikasi, pariwisata, pertanian dan industri kreatif.
Pendidikan Informal Mereduksi Gejolak Sosial
Tahun 2017 negeri ini berpotensi dihadang berbagai masalah sosial yang serius. Kasus kekerasan dan tindak kejahatan diprediksi akan meningkat. Hal itu merupakan indikasi bahwa masyarakat tengah mengalami frustrasi sosial yang berkelanjutan. Itu terjadi karena beberapa faktor yang saling memengaruhi. Antara lain faktor kemiskinan struktural, lonjakan pengangguran akibat sempitnya lapangan kerja, dan ketimpangan sistem pendidikan.
Salah satu langkah untuk mengurangi frustrasi sosial adalah dengan jalan penyelenggaraan seluas-luasnya pendidikan nonformal untuk generasi muda yang berpendidikan rendah. Agar kehidupan rakyat kecil tidak semakin sumpek dan timbul disorientasi.  Penyelenggaraan pendidikan nonformal itu menyasar segmen lulusan SMP kebawah. Arahnya sebaiknya terkait dengan lapangan kerja dengan prinsip link and match dengan potensi sumber daya lokal.
Pendidikan nonformal yang di selenggarakan selama ini asal-asalan dengan kurikulum atau konten yang sudah usang. Organisasi pendidikan nonformal di tingkat Kecamatan yang disebut Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM ) dan di tingkat Kabupaten/Kota yang disebut Sanggar Kegiatan Belajar (SKB) tidak mampu beradaptasi dengan kemajuan jaman. Melihat kondisi diatas perlu sinergi antara Kemnakertrans dengan Kemdiknas untuk segera melakukan revitalisasi dan memperluas pendidikan nonformal gaya baru di negeri ini.
Atas perhatian dan kerjasama antara Euro Management Indonesia dan rekan-rekan jurnalis media massa, baik media cetak maupun elektronik, kami sampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya. Selamat tahun baru 2017.
Jakarta,  28 Desember 2016
Pendiri Euro Management Indonesia



Bimo Sasongko BSAE, MSEIE, MBA
President Director & CEO

Jumat, 23 Desember 2016

Women Obsession - Kepala Daerah Dan Produktivitas


Pilkada serentak merupakan momentum untuk menjaring sosok kepala daerah yang mampu mendongkrak produktivitas di daerahnya. Dibutuhkan kepala daerah yang memahami cara yang tepat untuk meningkatkan produktivitas.  Sekaligus, memiliki gagasan segar maupun inovasi tepat guna yang terkait dengan faktor bagi produktivitas masyarakat.

Tahapan pilkada serentak sebaiknya menjadi pasar gagasan oleh calon kepala daerah. Untuk menunjukkan sejauh mana kapasitas dan kompetensinya demi memajukan daerah. Rakyat membutuhkan sosok kepala daerah yang bisa mewujudkan faktor tipping point terkait produktivitas.

Pada prinsipnya fenomena tipping pointbisa terjadi, jika seseorang memiliki gagasan atau inisiatif hebat yang bisa menyebar seperti virus ganas dan mampu menduplikasi secara deret ukur.

Rakyat membutuhkan kepemimpinan yang transformatif. Yakni, tidak sekedar kepemimpinan politik, tetapi juga cara untuk menggenjot produktivitas maupun daya kreativitas.Kepemimpinan transformatis harus mampu mendefinisikan kembali orientasi dan strategi pembangunan daerah yang berhasil melakukan leapfrogging atau lompatan katak terkait produktivitas.

Menurut Murphy istilah leapfrogging pada mulanya digunakan untuk menunjukkan betapa cepatnya dua negara yang kalah perang, yakni Jerman dan Jepang dalam mengejar kemajuan teknologi dan industri dengan cara mengggenjot produktivitas.

Dalam konteks lompatan di atas, sebaiknya sosok calon kepala daerah yang bertarung dalam pilkada, kelak bisa membebaskan kakinya dari beban dan jeratan partai politik. Agar dirinya bisa memperbaiki hasil terdahulu dan mampu melakukan lompatan besar untuk kemajuan daerah.

Mestinya calon kepala daerah harus mampu menyusun konsep dan dokumen pembangunan sesuai dengan lompatan katak. Di era globalisasi, kecepatan menjadi tuntutan utama terhadap pemerintahan. Jika kita cermati ada sederet kelemahan yang mendasar dalam Perda RPJPD DAN RPJMPD yang dibuat oleh hampir semua pemerintah daerah dan lembaga legislatif. Kita lihat isinya belum menekan secara tegas akan pentingnya faktor kecepatan dam belum tampak milestones pembangunan secara sistematik untuk mendongkrak produktivitas daerah.

Ada baiknya kita simak kekhawatiran Presiden Joko Widodo terkait angka pengangguran usia muda yang cukup tinggi. Sehingga menyebabkan produktivitas nasional bermasalah. Ironisnya, ditinjau dari latar belakang pendidikan, pengangguran terbesar justru adalah lulusan SMK (9,84%). Angka itu lebih tinggi dari pengangguran lulusan SMA (6,95%), SMP (5,76%) dan sd (3,44%), dari total 7,56 juta pengangguran terbuka mencapai 20,76%.

Strategi untuk meningkatkan produktivitas tidak cukup dengen membangun berbagai macam infrastruktur. Paling mendesak untuk dibenahi adalah produktivitas terkait aspek luas ketenagakerjaan. Hakekat produktivitas ketenagakerjaan adalah tingkat kemampuan pekerja dan birokasi pemerintahan dalam menghasilkan produk maupun jasa.

Dibandingkan negara lain, produktivitas tenaga kerja dan birokasi di Tanah Air masih lebih rendah dari rata-rata negara anggota Asian Productivity Organization (APO) atau organisasi produktivitas Asia. Singapura memiliki tinglat produktivitas tertinggi di dunia pada tahun 2015, yaitu sekitar U$ 121,9. Sementara Indonesia hanya skitar U$ 21,9. Posisi Indonesia pada 2015, jiga masih berada di bawah Malaysian dan Thailand, bahkan Sri Lanka.

Di Indonesia tertinggi terjadi di sektor pertambangan yakni sekitar Rp 137,1 juta per tenaga kerja per tahun, sedangkan terendah terjadi di sektor pertanian, skitar Rp8,7 juta. Bisa dilihat per daerah, tingkat produktivitas tertinggi ada di provinsi DKI Jakarta, yaitu sekitar  RP 102,2 juta per tenaga kerja per tahun, diikuti oleh Kalimantan Timur sbesar RP 76 juta per tenaga kerja per tahun. Produktivitas tenaga kerja paling rendah terdapat di Provinsi NTT, yaitu hanya sebesar Rp 7 per tenaga kerja per tahun, diikuti dengan Provinsi Gorontalo sebesar Rp 7,9 juta per tenaga kerja per tahun.

Sungguh prihatin melihat fenomena gap produktivitas (productivity gap analysis) antara Korea Selatan, Malaysia dan Indonesia. Produktivitas Korea Selatan  lebih tinggi sekitar 6,35 kali (635%) dari produktivitas Indonesia. Produktivitas Malaysia lebih tinggi sekitar 2,93 kali (293%) dari produktivitas Indonesia. Produktivitas Korea Selatan lebih tinggi sekitar 2,17 kali (217%) dari produktivitas Malaysia.

Ada korelasi antar kebijakan pembangunan ekonomi dengan kemajuan pembangunan sumber daya manusia (SDM). Angka produktivitas di Korea Selatan dan Malaysia ternyata hasil dari percetakan SDM unggul secara besar-besaran. Terutama percetakan SDM dengan cara mengirimkan para remajanya untuk belajar ke luar negeri, terutama ke pusat IPTEK dan peradaban unggul dunia. Kemajuan yang di raih Korea Selatan dan Malaysia selama masa pembangunan 1960-2015 mengandalkan pada peningkatan produktivitas dan menggenjot kualitas sumber daya manusia. Bukan mengandalkan pada kepemilikan sumber daya alam (SDA).