Rabu, 24 Mei 2017

Memaksimalkan Bonus Demografi

Memaksimalkan  Bonus Demografi
Oleh  Bimo Joga Sasongko   *)

Kebangkitan Nasional pada 1908 pada hakekatnya adalah era bangkitnya rasa dan semangat persatuan dan nasionalisme serta kesadaran untuk memperjuangkan cita-cita bangsa. Era ini ditandai dengan peristiwa penting yaitu berdirinya pergerakan Boedi Oetomo pada 20 Mei 1908.  
Kini untuk mewujudkan kebangkitan nasional kedua, cara yang paling esensial dengan membangkitkan SDM di perdesaan melalui proses pendidikan yang progresif sesuai tantangan globalisasi. Serta membangkitkan proses nilai tambah terhadap sumber daya lokal dengan kapasitas inovasi teknologi.
Saatnya membangkitkan SDM unggul di perdesaan, khususnya daerah terpencil atau kabupaten yang masih terbelakang. Perlu terobosan untuk membangkitakn SDM perdesaan lewat pendidikan yang lebih berkualitas. Terutama pendidikan vokasi yang sesuai dengan tipologi daerah.
Mencetak ilmuwan yang berbasis perdesaan sejak usia belia atau lulusan SMA/SMK merupakan kredo terwujudnya kebangkitan nasional yang dimulai dari pinggiran.
Langkah untuk mencetak ilmuwan berbasis perdesaan telah dicontohkan oleh Presiden Joko Widodo. Yakni menginstruksikan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pujiastuti agar membuat program pengiriman para lulusan SMK kejuruan perikanan dari daerah terpencil untuk kuliah di luar negeri. Seperti belajar di Jepang guna mendalami teknologi budidaya mutiara dan proses nilai tambahnya. Terobosan memberikan bea-siswa ikatan dinas bagi siswa berprestasi dari sekolah menengah untuk belajar di luar negeri patut diapresiasi dan diperbanyak.
Peringatan Harkitnas ke-109 hendaknya bisa mencerahkan publik tentang tahapan atau milestones kebangkitan nasional yang kedua bagi bangsa. Ini bisa terwujud dengan cepat berkat adanya Bonus Demografi yang dipersiapkan dengan baik. Yakni struktur kependudukan  yang potensial dan bisa didayagunakan negara sebagai akibat dari besarnya proporsi penduduk produktif (rentang usia 15-64 tahun) dalam evolusi kependudukan yang dialaminya.
Jumlah penduduk Indonesia dari tahun ke tahun terus meningkat. Bahkan, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) memproyeksikan bahwa jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2035 mendatang mencapai 305,6 juta jiwa. Jumlah ini meningkat 28,6 persen dari tahun 2010 yang sebesar 237,6 juta jiwa.
Meningkatnya jumlah penduduk pada 2035 tersebut menjadikan Indonesia negara kelima dengan jumlah penduduk terbanyak di dunia. Idealnya era tersebut menjadi momentum kebangkitan nasional kedua. Peningkatan jumlah penduduk Indonesia tersebut dibarengi dengan meningkatnya penduduk berusia produktif (usia 15 tahun sampai 65 tahun).
Pada 2010, proporsi penduduk usia produktif sebesar 66,5 persen. Proporsi ini terus meningkat mencapai 68,1 persen pada tahun 2028 sampai tahun 2031. Meningkatnya jumlah penduduk usia produktif menyebabkan menurunnya angka ketergantungan, yaitu jumlah penduduk usia tidak produktif yang ditanggung oleh 100 orang penduduk usia produktif dari 50,5 persen pada tahun 2010 menjadi 46,9 persen pada periode 2028-2031. Tetapi angka ketergantungan ini mulai naik kembali menjadi 47,3 persen pada tahun 2035.
Kontribusi penduduk berusia produktif menyebabkan peningkatan Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia dengan catatan adanya peningkatan kompetensi tenaga kerja dan semakin banyaknya SDM yang berkelas dunia.
Antisipasi dan proyeksi yang tepat terhadap bonus demografi menyebabkan pertumbuhan ekonomi negara yang signifikan. Dengan bonus demografi, negara berkembang (antara lain Indonesia, India, Brasil) mendapat berkah berupa penduduk dengan umur produktif sangat besar dan usia lanjut yang belum banyak.
Dilain pihak, negara maju, termasuk Amerika Serikat, justru menghadapi aging population, dengan kondisi proporsi penduduk usia lanjut yang meningkat tajam.
Kondisi demografi dengan aging population berdampak negatif pada kinerja perekonomian. Pada saat Indonesia menginjak bonus demografi dilain pihak data menunjukkan adanya akselerasi aging population pada negara maju. Seperti yang direlease US Census Bureau menunjukkan akselerasi peningkatan proporsi penduduk lansia (di atas 60 tahun) dari 14,1 persen pada tahun 1970 menjadi 24,7 persen pada tahun 2030.
Sedangkan negara maju lainnya, yakni di kawasan Eropa dan Jepang, akselerasi aging population juga meningkat tajam dari 16,0 persen pada tahun 1970 menjadi 29,0 persen pada tahun 2030. Tentunya ini berdampak negatif berupa penurunan produktivitas, ketimpangan pasar ketenagakerjaan dan pertumbuhan ekonomi yang terganggu.
Tranformasi menjadi negara maju pada era bonus demografi akan sulit terwujud tanpa disertai dengan mencetak SDM unggul disegala bidang sebanyak-banyaknya. Sejarah menunjukkan bahwa untuk mencetak SDM unggul pada era Presiden Soekarno dengan cara mengirim ratusan pemuda untuk belajar di negara maju guna transfer teknologi.
Begitu juga pada saat BJ Habibie menjadi Menristek, telah dikirim ribuan lulusan SMA ke berbagai negara maju. Langkah ini sebagai persiapan untuk menjalankan strategi tranformasi teknologi dan industri. Sayangnya sejak 1997 berbagai program bea siswa ke luar negeri yang dirintis oleh BJ Habibie dihentikan dengan alasan yang sangat politis. Sehingga kesempatan pemuda Indonesia berbakat dari berbagai golongan untuk kuliah di luar negeri menjadi tertutup.
Data statistik menunjukkan bahwa di Amerika Serikat lima tahun terakhir menunjukkan bahwa jumlah mahasiswa asal Cina sekitar 157.000 orang, India 103.000, Jepang 21.000 orang, dan Indonesia sekitar 5000 – 6000 orang. Di Jerman, mahasiswa asal Indonesia sekitar 2000 orang, namun mahasiswa Cina di Jerman sampai 25.000 orang. Penduduk Cina itu 5 kali lipat penduduk Indonesia, jadi kalau mahasiswa Indonesia di Jerman hanya 2.000 orang artinya mahasiswa Cina di Jerman itu 10.000. Tapi nyatanya mahasiswa Cina di Jerman sampai 23.000. Begitu juga di Australia, mahasiswa Indonesia 11.000 orang, sedangkan asal Vietnam 10.000 orang. Padahal penduduk Vietnam hanya sekitar 90 juta orang.
Artinya kalau penduduk Indonesia 250 juta orang atau sekitar 3 kali Vietnam, idealnya mahasiswa Indonesia di Australia 30.000 orang, nyatanya hanya 11.000 orang Artinya Indonesia masih tertinggal dalam mengirimkan mahasiswa Indonesia ke negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Inggris, Jepang, Australia & Jerman.
Selama ini mindset orang Indonesia adalah ingin sekolah keluar negeri untuk program S2 nya saja, ini lah yang membuat Indonesia kalah tertinggal dengan negara lain. Kenapa bisa tertinggal, karena zaman dulu informasi tidak ada, keuangan keluarganya masih rendah, kuliah S1 di Indonesia masih murah sehingga banyak orang menganggap bahwa S2 saja keluar negerinya.

Pada era konseptual saat ini, dengan jiwa muda yang mudah beradaptasi, kemampuan bahasanya lebih cepat untuk mempelajari bahasa asing, dan untuk S1 diluar negeri kuliah lebih lama mencapai 4 – 5 tahun dibandingkan dengan kuliah S2 hanya 1 – 2 tahun, sehingga proses adaptasi dan pengenalan budaya di negara tersebut lebih mudah. Dengan alasan itulah pemerintah bersama pihak swasta dan masyatakat yang mampu harus menggalakkan kembali pengiriman tamatan SMA ke LN. Termasuk reorientasi program dari Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) dengan menitikberatkan pembinaan siswa SMA/SMK berbakat untuk di dikirim kuliah ke negara-negara maju.



Rabu, 03 Mei 2017

Menata Kerja Sama RI – AS

Menata Kerja Sama RI – AS
Oleh Bimo Joga Sasongko

Hasil kunjungan Wakil Presiden Amerika Serikat Michael Pence di Indonesia janganlah berlalu begitu saja. Pertemuan Wapres Pence dengan Presiden Joko Widodo dan pejabat tinggi Indonesia lainnya diharapkan membuahkan hasil yang konkret dan berkelanjutan.
Perlu menata kembali kerja sama Amerika Serikat (AS) dengan Republik Indonesia (RI), utamanya bentuk kerja sama yang lebih esensial terkait pengembangan sumber daya manusia (SDM). Kerja sama dan bantuan AS terkait pengembangan SDM di masa lalu sangat berarti bagi negeri ini. Pemberian beasiswa kepada pemuda untuk kuliah di perguran tinggi AS sangat bermakna dan telah mendorong kemajuan dan mencerahkan iklim demokrasi.
Program beasiswa tersebut juga melahirkan para cendekiawan terkemuka. Seperti Nurcholish Madjid, Amien Rais, dan Ahmad Syafi’I Ma’arif yang terkenal dengan julukan tiga Pendekar Chicago. Mereka itu generasi gelombang pertama yang mendapat beasiswa di Universitas Chicago.
Kunjungan Wapres Pence yang didampingi istrinya, Karen Pence dan dua putrinya ke Masjid Istiqlal, lalu melakukan dialog dengan pemuka lintas agama, mengandung makna yang dalam. Pemerintah Indonesia sebaiknya tidak hanya melakukan negosiasi secara government to government atau business to business. Tetapi harus bisa mendayung di antara dua karang untuk menata kembali hubungan kedua negara lewat diplomasi publik.
Diplomasi publik di antara kedua negara perlu diperbanyak. Diplomasi tersebut bisa berupa pemberian beasiswa kepada generasi muda, pertukaran remaja, membina diaspora, hingga memperbanyak kerja sama antarkota dalam skema sister city.
Dengan diplomasi publik yang efektif maka hubungan kedua Negara menjadi kokoh dan saling pengertian. Sehingga kesalahpahaman dan fenomena outrageous fallacy terhadap AS atau sebaliknya bisa diatasi. Yakni sebuah fenomena penyesatan pengertian terhadap suatu negara, sehingga menimbulkan ketidakserasian karena kesalahpahaman.
Fenomena tersebut seperti terjadi baru-baru ini terkait dengan pernyataan Presiden Amerika Serikat Donald Trump terkait dengan daftar Negara curang yang memanipulasi mata uang demi menggenjot ekspornya ke AS. Yang mana hingga saat ini Indonesia masih berada dalam deretan daftar negara curang penyebab deficit neraca perdagangan AS. Sementara Tiongkok sudah dicoret dari daftar berkat diplomasi publik yang efektif.
Selama ini Indonesia mengandalkan ekspor ke AS, selain komoditas, juga ada pakaian jadi, sepatu, dan produk lainnya. Segala macam barang bermerek Nike diproduksi di Indonesia. Begitu juga dengan produk-produk pakaian jadi yang diproduksi di sini, banyak yang diberi merek Indonesia dan merek AS. Hal ini seharusnya dilihat secara mendalam oleh Pemerintah Presiden Trump.
Kunjungan Wapres AS merupakan momentum menata kerja sama terkait SDM Iptek kedua negara. Kerja sama SDM Iptek perlu diperluas. Banyak ahli dari Indonesia yang berkarya di negara Paman Sam dan mendapat posisi strategis di sana sebagai ilmuwan berkelas dunia.
Para ilmuwan lulusan AS lainnya siap untuk bersinergi membentuk jejaring Indonesia integrated untuk memajukan Iptek. Lewat Indonesia integrated, kompetensi teknolog Indonesia bisa diintegrasikan secara langsung atau melalui perusahaan/ organisasi tempat mereka bekerja. Para teknolog dan profesional di Tanah Air yang lebih menguasai lapangan sebaiknya bersinergi dengan para diaspora Indonesia di AS untuk melengkapi dengan pengetahuan dan jejaring yang sesuai dengan kebutuhan pembangunan di Tanah Air. Karena diaspora memiliki akses ke sejumlah ilmu yang belum ada.
Di lain pihak, diaspora tidak tahu persis apa yang sebenarnya dibutuhkan Indonesia. Sinergi saling melengkapi itulah yang ingin dicapai gerakan Indonesia integrated. Kerja sama SDM Iptek AS-RI sebaiknya diawali dengan pembentukan task force untuk mengelola system offset kedua negara. Apalagi produk pesawat Boeing Company banyak digunakan oleh maskapai di Indonesia.
Begitu juga dengan pesawat militer buatan Lockheed Martin seperti F-16 telah dipakai oleh TNI. Tentunya perlu skema offset yang lebih baik lagi dengan Boeing yang bermarkas di Chicago, Illinois, dengan fasilitas produksi terbesarnya di Everett, Washington, dekat Seattle, Washington.
Definisi offset secara umum dapat diartikan sebagai mekanisme timbale balik. Kalau kita membeli pesawat terbang senilai X dari negara lain, maka kita meminta timbal balik senilai Y dari nilai pembelian tersebut. Ketentuan, jenis dan nilai Y tersebut sebaiknya segera didetailkan. Skema of fset mencakup transfer teknologi, co-production atau produksi bersama di Indonesia untuk komponen dan struktur, serta fasilitas pemeliharaan dan perbaikan. Yang terdiri atas direct of fset dan indirect of fset. Direct of fset merupakan kompensasi yang langsung berhubungan dengan kontrak pembelian.
Sedangkan indirect of fset atau biasa disebut offset komersial biasanya berbentuk buyback, bantuan pemasaran/pembelian alutsista yang sudah diproduksi oleh Negara berkembang tersebut, produksi lisensi, hingga transfer teknologi dengan mendidik SDM. Kerja sama lainnya yang tidak kalah penting bagi kedua Negara adalah terkait dengan bidang pertambangan. Perlu solusi yang tepat untuk membantu SDM pertambangan nasional, misalnya pekerja PT Freeport Indonesia yang kini sedang bermasalah padahal memiliki kompetensi yang baik.
Seyogianya perlu menyegarkan profesi pertambangan di Tanah Air dengan cara magang di AS atau negara lain yang selama ini menjadi afiliasi tambang. Langkah pertama dengan cara menambah keahlian di bidang bahasa asing terkait bidang pertambangan. Untuk itu, perlu peran lembaga atau konsultan pendidikan internasional untuk menambah keahlian bahasa asing bagi SDM pertambangan.
Kemampuan berbahasa asing sangat menunjang penguasaan teknologi pertambangan. Apalagi sebagian besar investasi proyek smelter atau pengolahan bahan mentah tambang merupakan pihak asing yang membawa teknologi dan proses produksinya yang berbasis dari negaranya. Contohnya fasilitas smelter PT Freeport Indonesia yang ada di Kota Gresik bekerja sama dengan Freeport pusat dan Mitsubishi dari Jepang. Metode Mitsubishi banyak dipakai oleh usaha smelter karena lebih efisien dan ramah lingkungan.
Selain itu, perlu mengirimkan pelajar dan mahasiswa Indonesia untuk mendalami mining safety and processing technology di AS maupun Jepang. Seluruh pemangku kepentingan pertambangan di Indonesia berkewajiban mengembangkan SDM yang berdaya saing global. SDM kelas dunia sangat penting mengingat Indonesia menduduki peringkat enam besar dunia dalam hal kepemilikan bahan-bahan tambang.
Survei Geologi Amerika Serikat (USGS), menempatkan Indonesia pada peringkat keenam sebagai negara kaya akan sumber daya tambang. Di kawasan Asia Tenggara, Indonesia menempati posisi teratas untuk proyek-proyek pertambangan baru, diikuti oleh Filipina dan Vietnam. Nilai industri pertambangan Indonesia diperkirakan akan mencapai US$ 200 miliar pada 2019. Dengan potensi sebesar ini, kesiapan SDM dan kematangan rencana pembangunan smelter untuk memajukan sector pertambangan sangat dibutuhkan.
Bagaimanapun sektor pertambangan tetap akan menjadi sumber utama devisa Indonesia, dengan melihat potensi sumber daya mineral yang masih luas untuk digarap baik oleh perusahaan lokal maupun asing. Selain usaha dari pihak swasta, dukungan dari pemerintah berupa kemudahan dan keringanan bagi para investor smelter akan menjadi faktor pendukung yang signifikan untuk menciptakan situasi yang kondusif bagi pembangunan smelter nasional.
Indonesia masih membutuhkan ratusan smelter yang kapasitas dan teknologinya seperti yang dimiliki smelting di Gresik, Jawa Timur. Kapasitas smelter atau pengolah hasil tambang ini memiliki kapasitas satu juta ton konsentrat per tahun.

Pemetaan SDM
Kondisi SDM pertambangan nasional perlu dipetakan lagi. Pemetaan untuk mengetahui spesifikasi keahlian atau keterampilan serta untuk membantu bagi mereka yang tidak terserap lagi. Bagi yang terkena PHK perlu penyaluran ke usaha pertambangan lainnya.
Saatnya bagi Kementerian Tenaga Kerja dan kementerian terkait lainnya untuk menata lagi Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) di sektor pertambangan. Standar kompetensi ini diperlukan untuk meningkatkan kemampuan para pekerja Indonesia. Saat ini standar kompetensi bagi para tenaga kerja khususnya yang bekerja di industri pertambangan mineral dan batubara masih terbatas.
Akibatnya juga berpengaruh dalam penilaian produktivitas secara global karena masih terbatasnya baku mutu acuan yang digunakan untuk menilai kualitas produk atau proses yang dihasilkan.


Bimo Joga Sasongko, Lulusan North Carolina State University, ketua umum IABIE


Selasa, 02 Mei 2017

Hardiknas dan Visi Kebangsaan



Hardiknas dan Visi Kebangsaan



Oleh :  Bimo Joga Sasongko

Esensi Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) yang diperingati setiap 2 Mei terkait erat dengan visi kebangsaan menjadi negara maju. Peringatan Hardiknas 2017 bertema Percepat Pendidikan yang Merata dan Berkualitas. Tema tersebut menyiratkan upaya besar agar SDM bangsa ini memiliki daya saing dan nilai tambah yang tinggi untuk mendukung suksesnya Visi Indonesia 2045.
Cita-cita pendiri bangsa dan konstitusi negara menekankan pentingnya mencerdaskan kehidupan bangsa. Untuk itu tentunya melalui sistem dan infrastruktur pendidikan yang terbaik.
Visi kebangsaan 2045 terwujudnya Indonesia sebagai negara maju sangat tergantung kepada hasil pendidikan nasional. Visi kebangsaan tersebut sebenarnya memiliki alasan yang obyektif. Seperti digambarkan oleh lembaga riset Internasional, McKinsey Global Institute. Yang telah memproyeksikan dengan tingkat pertumbuhan ekonominya yang stabil serta rasio usia produktif yang dikelola dengan sistem pendidikan yang paripurna dalam rentang bonus demografi (tahun 2020-2035). Maka Indonesia bisa mewujudkan diri sebagai negara maju dan unggul pada 2045.
Prasyarat utama terwujudnya visi adalah menyempurnakan sistem pendidikan nasional. Serta membangun infrastruktur pendidikan secara besar-besaran sesuai dengan tantangan era gelombang keempat atau era konseptual. Orientasi konten atau kurikulum pendidikan harus mengedepankan daya kreatif dan inovatif untuk memacu kekuatan ekonomi bangsa.
                Kini perkembangan sistem pendidikan dunia mengarah kepada pendekatan kontekstual atau Contextual Teaching and Learning (CTL). Dimana CTL merupakan konsep belajar yang menuntut para guru dan dosen mampu mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi aktual. Konsep diatas juga mengharuskan guru dan dosen lebih banyak berperan sebagai pendorong daya inovasi dan kreatifitas para siswa. CTL akan membuat sektor pendidikan klop dengan sektor industri.
Meneropong visi kebangsaan ada kendala besar terkait postur SDM yang eksis pada saat ini. Postur itu tergambar dalam data ketenagakerjaan 2016 yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS), dimana jumlah angkatan kerja mencapai 127,67 juta orang.  Dari jumlah angkatan kerja tersebut sebesar 47,37 persen masih didominasi oleh lulusan SD dan SD ke bawah, berpendidikan SMTP sebesar 18,57 persen dan SMTA beserta SMK sebesar 25,09 persen. Sedangkan lulusan diploma ke atas (DI, DII, DIII dan Universitas) hanya berjumlah 8,96 persen. Komposisi jumlah angkatan kerja diatas tentunya tantangan berat untuk bisa bersaing secara global.
Dengan kondisi postur SDM diatas perlu totalitas program unggulan nasional terkait pendidikan yang dikelompokkan menjadi tiga kategori. Kategori pertama, adalah program penjaringan siswa lulusan SMA yang berbakat dan memiliki prestasi akademis yang bagus untuk diberi kesempatan dan dipacu agar menjadi tenaga ahli atau ilmuwan kelas dunia. Jumlah siswa lulusan SMA berbakat setiap tahun meningkat dan tidak sebanding dengan daya tampung atau kapasitas perguruan tinggi terbaik di Tanah Air. Bahkan untuk prodi tertentu sangat tidak sebanding dengan jumlah lulusan SMA berbakat.
                Dengan kondisi tersebut perlu terobosan dengan membuka kesempatan lulusan SMA berbakat untuk belajar ke luar negeri. Agar mampu menembus perguruan tinggi ternama di LN. Mereka diarahkan hingga diberi insentif lewat bea siswa atau kredit mahasiswa. Perlu program matrikulasi, penguasaan bahasa asing beserta aspek budayanya, tangguh menghadapi proses seleksi masuk perguruan tinggi, serta mendapatkan program pendampingan agar lancar sewaktu belajar di LN.
Sebaiknya setiap pemerintah daerah bekerja sama dengan LPDP (Lembaga Pengelola Dana Pendidikan) membuat program pengiriman kaum belia lulusan SMA terbaik di daerahnya untuk diberi beasiswa kuliah di LN. Apalagi studi di negara maju seperti di Jerman dan Prancis biaya kuliahnya gratis. PT di sana tergolong  universitas terbaik di dunia.
Kedua, adalah ketegori program vokasional berbasis link and match yang harus digenjot secara totalitas. Penekanan program adalah mengembangkan sistem apprenticeship seluas-luasnya di Tanah Air. Apalagi para pemimpin pemerintahan dan bisnis di negara anggota G-20 telah menekankan pentingnya apprenticeship yang bermutu dalam mengatasi masalah ketenagakerjaan bagi lulusan SMTA atau SMK.
Ketiga, adalah ketegori program pendidikan informal untuk segmen masyarakat berpendidikan rendah, lulusan SD atau tidak tamat SD serta lulusan SMP. Pendidikan informal bisa mereduksi masalah sosial khususnya di perdesaan. Tahap pertama untuk program ini adalah membenahi organisasi pendidikan nonformal yang ada. Baik di tingkat desa atau kecamatan yang biasa disebut Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM ) dan di tingkat Kabupaten/Kota yang disebut Sanggar Kegiatan Belajar (SKB). Organisasi ini harus dimodernisasi prasarananya serta kurikulumnya disesuaikan dengan kemajuan jaman.
Jika ketiga kategori program unggulan nasional diatas berhasil dilaksanakan maka pada saat bonus demografi bangsa berlangsung, SDM bangsa bisa terkelola dengan baik. Sekedar catatan, rasio sederhana bonus demografi dapat digambarkan bahwa disetiap 100 penduduk Indonesia, terdapat 64 orang yang berusia produktif, sisanya 46 orang adalah usia anak-anak dan lansia. Rasio usia produktif di atas 64 persen sudah cukup bagi Indonesia untuk bergerak menjadi negara maju. Itu adalah rasio usia produktif terbaik Indonesia yang berlangsung dari 2020 dan akan berakhir pada 2035. Suksesnya program unggulan terkait pendidikan akan mengamini prediksi McKinsey Global Institute yang menyatakan Indonesia menjadi negara dengan kekuatan ekonomi tujuh besar dunia pada 2030.  
Peringatan Hardiknas 2017 merupakan momentum untuk meneguhkan milestone pengembangan SDM nasional agar bisa bersaing secara global. Dalam lintasan abad, kita bisa menyimak sejarah perkembangan bangsa-bangsa di dunia. Perjalanan dari negara kurang maju sampai menjadi maju terlihat siklusnya semakin pendek. Pada era peradaban Mesir kuno perlu beberapa ribu tahun, Peradaban Romawi dan Yunani dalam order kurang dari seribu tahun, Era Renaisance dan Peradaban Islam sepanjang 700-an tahun, Eropa kurang dari 400 tahun, Amerika Serikat perlu sekitar 200-an tahun, Jepang kurang dari seratus tahun, dan kemajuan naga Asia seperti Korea Selatan dan Tiongkok adalah fenomena yang menarik karena butuh waktu efektif kurang dari lima puluh tahun untuk mewujudkan kemajuan.

*) BIMO SASONGKO BSAE, MSEIE, MBA, Presdir & CEO Euro Management Indonesia, Ketua Umum IABIE,  Wakil Sekjen ICMI.