Senin, 16 April 2018

Mewujudkan Indonesia 4.0


Oleh Bimo Joga Sasongko

Bangsa ini harus lulus mewujudkan Indonesia 4.0, sebuah era Revolusi Industri (RI) yang tidak lama lagi melanda. Semua negara tidak mau menjadi bangsa gagal. Mereka harus lulus menghadapi berbagai ujian di depan mata seperti masalah disruptif inovasi yang telah mengubah secara drastis tatanan ekonomi dan sosial. Sebagai warga dunia, bangsa Indonesia juga akan menghadapi ujian memasuki era RI jilid empat (Industri 4.0).

Selain itu, ada ujian berat lain, menghadapi perang asimetrik yang bisa menghancurkan sendi-sendi kehidupan bangsa. Era Industri 4.0 telah menjadi perhatian besar Presiden Joko Widodo dengan meluncurkan Making Indonesia 4.0 sebagai peta jalan dan strategi memasuki zaman digital manufacturing.

Presiden melihat pentingnya penerapan Industri 4.0 dalam rangka transformasi lanskap industri nasional menuju 10 besar ekonomi dunia pada 2030. Ini termasuk pembaruan vokasional atau sekolah kejuruan sesuai dengan kebutuhan era Industri 4.0. Berbagai negara telah menyiapkannya dengan dana besar dan mencetak SDM pendukung secara sistemik. Sekolah kejuruan hingga perguruan tinggi mesti menyesuaikan bidang studi dan kurikulum agar link and match dengan kebutuhan industri.

Salah satu negara yang paling agresif mewujudkan ekosistem Industri 4.0 adalah Jerman. Negara itu telah merampungkan kerangka kerja bersama yang melibatkan ribuan perusahaan dengan total pendanaan mencapai 140 miliar euro. Jerman berharap pada 2020 mampu mengawali Industri 4.0. Di bulan April ini segenap siswa SD,SMP,SMA/SMK menghadapi Ujian Nasional (UN) sekolah. 

Pelaksanaan UN harus penuh dengan integritas dan menjunjung tinggi kejujuran
UN 2018 bagi segenap siswa sekolah untuk menuju pendidikan nasional berkelas dunia, mencetak generasi unggul yang mampu mewujudkan Indonesia 4.0. Diharapkan pada tahun ini tidak terjadi hambatan dan modus-modus kecurangan yang bisa menurunkan reputasi UN seperti kebocoran soal ujian dan beredarnya kunci jawaban. Tahun ini, UN diikuti 8,1 juta peserta didik dan 96 ribu satuan pendidikan. Sebanyak 78 persen peserta didik siap mengikuti UN berbasis komputer (UNBK) dan 22 persen peserta didik yang masih melaksanakan ujian berbasis kertas dan pensil (UNKP).


Ancaman


Menghadapi kondisi nasional dan global pada saat ini analog dengan ujian tentang bela negara dan memenangkan perang asimetrik. Sudah saatnya seluruh rakyat semesta ditransformasikan untuk menghadapi UN berupa perang asimetrik (asymmetric warfare). Ancaman negara pada abad kini tidak hanya didominasi kekuatan militer suatu negara, namun juga kekuatan nonstate actors yang tidak hanya menyerang personal dan instansi militer, bahkan mengancam seluruh aspek kehidupan.

Ancaman nonstate actors yang sering dilakukan saat ini sebagai teror, termasuk melalui dunia maya (cyber crime). Bentuk ancaman nonkonvensional atau asymmetric warfare lainnya menghancurkan bangsa lewat narkoba, penyelundupan, dan pencurian sumber daya alam. Kini seluruh Indonesia dari provinsi hingga RT/RW sudah diserang bandar dan pengedar narkoba. Tanah Air dibanjiri narkotika alami dan hasil rekayasa atau sintetik baik jenis amphetamine type stimulant (ATS) ataupu new psychoactive substances (NPS). Bahkan ATS kini menjadi candu favorit di Indonesia. NPS telah ditemukan sebanyak 66 jenis.

Masuknya narkoba dengan jumlah sangat besar tersebut menunjukkan, pasar Indonesia sungguh amat menjanjikan. Jaringannya pun sangat rapi. Saatnya membangun sistem pertahanan negara dan program bela negara yang terintegrasi seluruh Nusantara. Tak pelak lagi, perang abad ke-21 bersifat kompleks dan memasuki seluruh aspek kehidupan.

Seluruh bangsa mesti bersiap menghadapi ujian derasnya inovasi disruptif dan era Industri 4.0. Berbagai macam bidang inovasi bersifat disruptif, yakni menghancurkan dan mengubur tatanan lama atau model bisnis lama (incumbent). Disrupsi tersebut selanjutnya menciptakan pasar baru, mengganggu, atau merusak pasar yang sudah ada. Akhirnya menggantikan teknologi dan tatanan terdahulu. Inovasi disruptif mengembangkan suatu produk atau layanan dengan cara yang tak diduga pasar. Umumnya dengan menciptakan jenis konsumen berbeda pada pasar yang baru dan menurunkan harga pada pasar lama.

Bermacam bentuk disrupsi teknologi global telah memasuki Indonesia dan meraup keuntungan ekonomi hingga pelosok desa. Sumber daya dan dana masyarakat tersedot oleh mesin atau aplikasi milik asing. Ujian bangsa Indonesia kemampuan menciptakan dan membangun bermacam inovasi teknologi berupa aplikasi digital atau platform keindonesiaan untuk mengimbangi atau mengatasi aplikasi luar negeri yang sangat disruptif dan amat rakus menggerus aset bangsa.

Modal utama untuk bisa lulus era disrupsi dengan mencetak dan mengoptimalkan SDM iptek terbarukan yang memiliki kapasitas inovasi baik inovasi tingkat daerah maupun kapasitas inovasi nasional. Pada saat bangsa sibuk menghadapi bermascam disrupsi teknologi, negara-negara maju tengah mencanangkan program besar yang amat strategis. Di antaranya, penerapan Industri 4.0. RI 4.0 sudah pasti berdampak besar bagi Indonesia.

Perlu antisipasi dan persiapan segenap bangsa untuk menghadapi datangnya era industri gelombang keempat. Dunia industri telah mengalami revolusi jilid satu sampai tiga. Era Industri 4.0 ditandai dengan terbentuknya smart factory atau pabrik cerdas berbasis Cyber-Physical System (CPS). Era RI keempat juga ditandai dengan digitalisasi secara total sektor manufaktur. Maka, untuk memasuki era Industri 4.perlu persiapan SDM iptek dalam jumlah memadai untuk menguasai teknologi pendukung RI.

Secara garis besar jenis teknologi pendukung utama adalah teknologi Internet of Things, teknologi Cybersecurity, teknologi Cloud Computing, teknologi Additive Manufacturing, teknologi Augmented Reality dan teknologi Big Data. Keudian, teknologi Autonomous Robots, teknologi Simulation, serta teknologi Integrasi sistem atau Platform. 

Penulis Lulusan North Carolina State University

Artikel yang sudah di publiskan di Koran Jakarta
http://www.koran-jakarta.com/mewujudkan-indonesia-4-0/



Rabu, 04 April 2018

Making Indonesia 4.0 dan Pabrik Cerdas


Oleh  Bimo Joga Sasongko   *)

Presiden Joko Widodo meresmikan pembukaan acara Indonesia Industrial Summit 2018 di Jakarta Convention Center (JCC). Acara bertema "Implementasi Industri 4.0 dalam rangka Transformasi Lanskap Industri Nasional Menuju Top 10 Ekonomi Dunia 2030".

Bersamaan dengan itu Presiden Jokowi juga meluncurkan Making Indonesia 4.0 sebagai peta jalan dan strategi Indonesia memasuki era manufakturing digital.

Penerapan Industri 4.0 dipelopori oleh negara Jerman yang sejak 2015 telah merampungkan kerangka kerja yang akan diterapkan pemerintah mulai 2020. Ratusan perusahaan di Jerman telah terlibat dalam program nasional itu dengan total investasi mencapai 140 miliar Euro.

Jenis industri yang sudah siap menerapkan Industri 4.0 ini adalah industri manufaktur, otomotif, dan industri teknologi informasi dan komunikasi.

Ekosistem Industri 4.0 ditandai dengan terwujudnya pabrik cerdas. Ada beberapa persyaratan untuk mewujudkan skenario Industri 4.0. Antara lain, kemampuan dalam hal Interoperabilitas atau kesesuaian. Yakni Kemampuan mesin, perangkat sensor, dan tenaga kerja untuk berhubungan dan berkomunikasi satu sama lain lewat Internet of Thing (IoT). 

Kemudian juga kemampuan untuk menciptakan salinan dunia fisik secara virtual dengan memperkaya model manufakturing digital dengan data sensor. Prinsip ini membutuhkan pengumpulan dan pengolahan data dari sejumlah sensor untuk menghasilkan informasi untuk pengambil keputusan.

Merujuk World Economic Forum dalam laporannya yang berjudul :"The Next Economic Growth Engine Scaling Fourth Industrial Revolution Technologies in Production". Kita bisa memprediksi bahwa industri manufakturing global akan totalitas mewujudkan era Industri 4.0 pada 2025.

Making Indonesia 4.0 pada saat ini masih terkendala oleh indeks konektivitas yang masih rendah. Kondisi digital divide atau ketimpangan digital di Indonesia timur dan barat menyebabkan peringkat Indonesia tergolong rendah, yakni indeks konektivitas hanya 4,34. Hal ini berada di urutan 111 dari 176 negara yang disurvei oleh International Telecommunication Union (ITU).

 Indeks pembangunan TIK Indonesia masih kalah dibanding Singapura yang memiliki nilai indeks 8,05, Malaysia 6,38, Brunei Darussalam 6,75, Filipina 4,67, dan Vietnam 4,43. Dengan kondisi indeks konektivitas seperti diatas sulit bagi Indonesia untuk menyongsong era Industri 4.0.
 Indonesia harus mempersiapkan SDM Iptek dan pekerja sektor industri untuk menghadapi era Industri 4.0 dalam jumlah yang memadai. SDM tersebut untuk menguasai teknologi pendukung, yakni bidang teknologi Internet of Things (IoT), Cybersecurity, Cloud Computing, Additive Manufacturing, Augmented Reality, Big Data, Autonomous Robots, Simulation, dan platform integration.

Bagi kaum pekerja era Industri 4.0 bisa berdampak negatif. Karena mereduksi beberapa bidang profesi yang pada akhirnya memangkas jumlah tenaga kerja. Namun begitu kehadiran era itu tidak sepenuhnya berdampak negatif. Karena akan melahirkan jenis profesi yang baru.

Dalam era tersebut akan terjadi perang untuk memperebutkan SDM berbakat dan memiliki kompetensi yang tinggi. Perebutan itu dari tingkat lokal hingga global. Dalam era ini sebagian besar tenaga kerja akan menjadi pekerja kontrak atau outsourcing. Pola ketenagakerjaan seperti ini tidak bisa lagi diatur dengan Undang-undang atau peraturan ketenagakerjaan yang ada sekarang ini. Masalah jam kerja, bobot kerja dan hal-hal normatif pekerja sudah tidak relevan lagi dengan peraturan yang berlaku selama ini.

Dampak ketenagakerjaan di era Industri 4.0 mulai dirasakan oleh para pekerja di Jerman. Seperti dirasakan oleh pekerja industri manufakturing logam, mesin dan elektronika di Jerman yang menyatakan bahwa industri 4.0 telah menjadikan proses produksi menuntut adanya smart factory dan smart products.

Hal tersebut menimbulkan masalah baru yakni tuntutan keterampilan yanag lebih tinggi dan soal jaminan sosial dan kecocokan model kerja dengan hukum yang berlaku. Hampir semua organisasi pekerja di Eropa menyatakan bahwa datangnya era diatas menimbulkan lebih banyak hubungan kerja yanag bersifat freelance dan alih daya.

Menyongsong era Industri 4.0 perlu mentransformasikan keterampilan tenaga kerja yang terkait jenis teknologi yang menjadi pilar utama. Hal itu juga sebagai solusi untuk mengatasi pertumbuhan angkatan kerja di Indonesia. Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan jumlah angkatan kerja Indonesia pada 2017 sebanyak 131,55 juta.

 Sebagian besar atau sekitar 80 persen di antaranya adalah tenaga kerja yang kurang terlatih. Penataan kompetensi ketenagakerjaan sebaiknya memproyeksikan periode bonus demografi hingga 2030. Bonus demografi ditandai dengan jumlah penduduk usia produktif (15-64 tahun) yang mencapai 70 persen terhadap total angkatan kerja. Jangan sampai bonus demografi justru menjelma menjadi bencana karena negara gagal mencetak angkatan kerja yang sesuai dengan kebutuhan indstri dan dunia usaha.

Diperkirakan mulai 2020 mulai terjadi gelombang pasang hingga tsunami yang mengganggu lapangan pekerjaan warga dunia. Jika nanti robot dan artificial intelligence sudah masuk ke dalam industri secara masal, perlu dipersiapkan sematang mungkin tenaga kerja.

Prediksi Mc-Kinsey Global Institute (MGI) menyatakan bahwa Indonesia bisa masuk peringkat 7 ekonomi dunia pada tahun 2030 jika mampu mencetak jutaan tenaga kerja yang sesuai dengan kebutuhan zaman.  Celaknya struktur ketenagakerjaan di Tanah Air hingga saat ini masih didominasi oleh pekerja dengan latar belakang lulusan SD dan SMP.

Untuk menjadi 10 besar ekononi dunia, Indonesia harus bisa mencetak sekitar 113 juta tenaga kerja terampil dan ahli supaya bisa menghadapi era Industri 4.0 dengan baik. Seperti skenario yang dibuat oleh MGI. Para pekerja itu harus mampu meningkatkan produktivitas secara signifikan di industri manufaktur yang berbasis Industri 4.0. Jika pemerintah gagal mencetak ratusan juta tenaga kerja diatas, maka mimpi menjadi tujuh besar ekonomi dunia bisa bubar.

Skenario Making Indonesia 4.0 dengan melihat kondisi terkini memang sangat sulit terwujud. Apalagi kekuatan ekonomi Indonesia masih ditopang oleh faktor konsumsi masyarakat, bukan sektor manufakturing yang tangguh. Modal Indonesia saat ini untuk memasuki era itu hanyalah faktor bertambahnya konsumen domestik yang jumlahnya sekitar 90 juta orang hingga tahun 2030.
*) Pendiri Euro Management Indonesia, Ketua Umum IABIE.

Alamat :
c/o Euro Management Indonesia
Gedung Ir.HM. Suseno Jl.R.P.Soeroso No.6, Menteng Jakarta Pusat 10330.
Nomor  HP :  0811 9698 421
Nomor NPWP  : 08.779.070.5-003.000

Biodata Singkat :
            BIMO JOGA SASONGKO, BSAE, MSEIE, MBA  :  Lulus SMAN 3 Bandung tahun 1990. Berhasil memperoleh beasiswa dari Menristek BJ Habibie untuk kuliah di teknik penerbangan atau aerospace engineering, di North Carolina State University, Ralegh, North Carolina, USA. dari tahun 1991 – 1995. Kemudian melanjutkan program S2 di Amerika Serikat mengambil program master di jurusan industrial engineering atau teknik industri di Arizona State University. Tahun 1996 penulis kembali ke Indonesia dan berkarir di BPPT.

            Pada 2001 melanjutkan studi ke FH. Pforzheim Jerman dengan mengambil program MBA dan lulus 2003, kemudian bekerja kembali di BPPT sambil mendirikan Euro Management Indonesia. Saat ini penulis menjabat sebagai Ketua Umum IABIE (Ikatan Alumni Program Habibie) yaitu ikatan alumni yang terdiri dari para lulusan SMA terbaik dari seluruh Indonesia yang berjumlah sekitar 1500 orang dari tahun 1982 – 1996 yang menerima bea siswa untuk kuliah di luar negeri lewat program BJ.Habibie.