Superioritas OTT dan Dilema Pajak
Oleh : Bimo Joga Sasongko
Pemerintah tengah hadapi dilema besar
terkait masalah perpajakan bagi perusahaan internet dan jasa digital yang
beroperasi secara global. Tidak bisa
dimungkiri bahwa eksistensi Over The Top ( OTT), seperti Google, Facebook, Twitter, Word Press, Microsoft,
Apple, Yahoo, Research In Motion, keberadaannya sangat berguna bagi kehidupan
masyarakat sehari-hari.
Eksistensi OTT juga telah membawa
kemajuan bangsa dan berhasil melancarkan konektivitas segenap penjuru tanah
air. Aplikasi OTT telah merubah model bisnis sehingga mampu bersaing secara
global. OTT juga telah membantu proses kreatif warga bangsa dan mendongkrak
produktivitas nasional. Kini OTT telah merasuki segenap kehidupan bangsa dan
telah menjadi gaya hidup.
Dilain pihak pemerintah sedang
kekurangan pendapatan sehingga harus memperluas obyek perpajakan hingga
menyasar OTT. Ironisnya, pihak OTT seperti yang ditunjukkan oleh Google menolak
pengenaan pajak. Namun begitu, penolakan Google Asia Pacific Pte Ltd untuk
diperiksa oleh Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak atas kewajibannya sebaiknya
disikapi secara hati-hati.
Perlu win-win solution sehingga
kepentingan rakyat luas yang telah menggantungkan diri terhadap OTT untuk berbagai
aktivitas sehari-harinya tidak terganggu. Google selama ini menghindari pajak
melalui cara legal melalui celah yang disebut tax treaty. Yakni perjanjian
perpajakan antara dua negara yang dibuat dalam rangka meminimalisasi pemajakan
berganda maupun berbagai usaha penghindaran pajak.
Google telah menolak mendirikan Bentuk
Usaha Tetap (BUT) yang menjadi persyaratan bagi badan usaha asing untuk dapat
dikenai pajak di Indonesia. Penolakan itu menimbulkan masalah terkait dengan fairness
(keadilan) bagi perusahaan digital lokal seperti Tokopedia, Traveloka, Kaskus
dan lainnya yang telah membayar pajak.
Superioritas Google di seluruh dunia
berawal dari layanan gratis lalu berkembang menjadi platform yang merevolusi
model bisnis dan membentuk kolaborasi yang hebat. Kini Google telah menjadi
peramban utama sekitar 90 juta pengguna Internet di Indonesia untuk mencari
informasi dan berbagai proses bisnis, edukasi, kreativitas, navigasi,
konektivitas dan promosi kebudayaan dan produk lokal. Superioritas Google tidak
sekedar mesin pencari atau googling, namun telah beranjak menjadi superioritas
platform kehidupan. Tak bisa dimungkiri,
berkat Google para pelaku usaha e-Commerce (perdagangan berbasis elektronik)
sangat terbantu dan mendapatkan manfaat yang berlimpah.
Perlu langkah yang persuasif supaya
Google mau membayar pajak di Indonesia. Langkah persuasif tersebut sebaiknya
melibatkan para pengguna Google yang tentunya suaranya sangat didengar oleh
kantor pusat Google. Para pengguna Google di Indonesia memiliki pengaruh yang
kuat melebihi pengaruh pemerintah. Pemerintah belum perlu bertindak represif
untuk menagih pajak Google.
Perkara pajak Google untuk Indonesia
yang masih tersendat jangan sampai merusak kerjasama antara pengembang
Indonesia dengan pihak OTT. Kunjungan pemerintahan Jokowi ke Silicon Valley beberapa
waktu lalu yang merupakan markas OTT yang membuahkan kerjasama strategis jangan
terganggu. Kerjasama tersebut untuk mengembangkan SDM yang terkait dengan
inovasi dan ekonomi kreatif yang sangat menunjang pengembangan konten
keindonesiaan. Konten lokal itu bisa berupa produk budaya, seni dan industri.
Selain itu juga bisa menjadi promosi
yang hebat bagi destinasi wisata.
Tekad Presiden Joko Widodo untuk
membentuk poros teknologi, khususnya teknologi informasi dan komunikasi (TIK)
dengan Silicon Valley merupakan langkah strategis dalam mengembangkan konten
keindonesiaan untuk mengimbangi superioritas OTT yang kini sudah masuk hingga
segmen masyarakat perdesaan Indonesia.
Pembentukan poros teknologi bisa efektif
jika ada pembenahan ekosistem didalam negeri bagi warganegara yang selama ini
menggeluti inovasi. Poros teknologi memiliki arti yang signifikan bagi kemajuan
Indonesia jika mengedepankan start-up nation yang berupa usaha-usaha rintisan
inovasi disegala lini. Indonesia memerlukan banyak karya-karya inovasi produk
maupun inovasi proses bisnis.
Pemerintahan memiliki visi
menjadikan Indonesia sebagai negara ekonomi digital terbesar di Asia Tenggara
dengan total valuasi 130 miliar dolar AS atau sekitar Rp1.756 triliun. Salah
satu langkah yang akan dilakukan pemerintah adalah menumbuhkan 1.000 teknopreneur
pada 2020 dengan total valuasi 10 miliar dolar AS atau sekitar Rp138 triliun.
Saatnya pemerintahan membangun infrastruktur
e-Marketplace bagi produk industri kreatif. Tentunya infrastruktur tersebut terkait
dengan dengan OTT global. Pemerintahan sebaiknya merombak model
bisnis dan marketing untuk industri kreatif dan destinasi wisata yang sesuai
dengan ekspansi usaha OTT. Marketing produk kreatif rakyat Indonesia sebaiknya
mendayagunakan sebaik mungkin keberadaan OTT. Apalagi model bisnis OTT tidak
mengenal batas wilayah.
Internet
telah mencerahkan jagat kreativitas sekaligus melancarkan pengembangan model
bisnis baru bagi industri kreatif. Peradaban gelombang keempat akan menempatkan
produk industri kreatif merupakan jenis pekerjaan masa depan (the future of
works and employment) yang sangat menjanjikan. Hal itu disertai dengan tuntutan
untuk terus menerus berinovasi.
Di era ekonomi kreatif, infrastruktur
e-Commerce dan segenap aktifitas ekonomi dengan sendirinya harus disesuaikan
dengan karakteristik ekonomi kreatif, yaitu adanya basis pengetahuan yang
menunjang inovasi. Program Nasional Indonesia Design Power mestinya bisa
menjadi platform dalam mencapai tujuan tersebut. Sehingga kinerja ekonomi
kreatif di negeri ini bisa terwujud
dengan baik. Selain itu eksistensi e-Marketplace produk industri kreatif juga
sangat ditentukan oleh program lembaga inovasi daerah. Program lembaga inovasi
daerah hendaknya terfokus kepada produk dan
inovasi lokal.
Bimo Sasongko BSAE, MSEIE,
MBA
Pendiri Euro Management
Indonesia, Ketua Umum IABIE (IKatan Alumni Program Habibie)