Super Tucano dan Skema Offset
OLEH BIMO JOGA SASONGKO, BSAE, MSEIE, MBA
Kecelakaan pesawat tempur taktis milik TNI AU jenis Super Tucano TT-3108 di Malang jadi musibah memilukan. Ini sekaligus pelajaran sangat berharga terkait pengadaan dan pngelolaan alutsista mandiri. Musibah beruntun pesawat TNI AU akhir-akhir ini perlu dicari akar persoalannya.Pembelian pesawat militer dari luar negeri harus dipikirkan dan dipersiapkan secara matang sesuai dengan sistem penerbangan nasional. Mestinya kontrak pembelian satu skuadron (16 pesawat) Super Tucano pada 2010 seharga 1,3 triliun rupiah disertai skema offset bagi industri dalam negeri dan offset SDM penerbangan.
Super Tucano merupakan pesawat berkemampuan counter insurgency (Coin) atau pesawat antiperang gerilya buatan Embraer Defense System, Brasil. Pesawat ini pengganti pesawat Coin TNI AU yang sudah tua sejenis OV-10 Bronco. Pesawat dengan grafis bergambar moncong hiu itu untuk memberi penghormatan jenis pesawat tempur Mustang P-51 yang sangat berjasa pada awal kemerdekaan.
Pengadaan pesawat untuk keperluan penerbangan sipil maupun militer sebaiknya mengedepankan praktik offset atau imbal balik. Bentuk offset sebaiknya terkait pengembangan SDM penerbangan. Sebab saat ini Indonesia kekurangan SDM penerbangan baik mendukung operasional maskapai maupun terkait industri penerbangan Tanah Air seperti PT Dirgantara Indonesia (PT DI).
Skema offset mencakup transfer teknologi, produksi bersama di Indonesia untuk komponen, struktur, serta fasilitas pemeliharaan, dan perbaikan. Ada direct dan indirect offset. Direct offset merupakan kompensasi yang langsung berhubungan dengan kontrak pembelian. Sedangkan indirect offset (offset komersial) biasanya berbentuk buyback, bantuan pemasaran/pembelian alutsista yang sudah diproduksi negara berkembang tersebut. Ini juga termasuk produksi lisensi hingga transfer teknologi dengan mendidik SDM.
Perjanjian kontrak pengadaan sebaiknya menekankan transfer of technology (ToT) dengan mengirimkan SDM untuk belajar dan magang di luar negeri. Apalagi SDM penerbangan saat ini sebagian besar menjelang pensiun.
Di masa lalu postur SDM PTDI dikelola dengan manajemen kompetensi luar biasa terdiri atas kelompok engineering 141 job-title, kelompok produksi 65 job-title, kelompok human resource 82 job-title, kelompok niaga 21 job-title. Sayangnya, kini postur tersebut terjadi brain drain kompetensi.
SDM penerbangan negeri ini sebagian besar hasil didikan atau program pengembangan tahun 80-an era Menristek BJ Habibie. Program ditempuh dengan mengirimkan lulusan SMA kuliah ke luar negeri lewat beasiswa. Program pengembangan SDM teknologi era Habibie tersebut berhasil mengirimkan ribuan pelajar kuliah di perguruan tinggi terkemuka luar negeri hingga meraih gelar S-3.
Pengadaan Super Tucano berdasarkan Renstra-1 2010-2014 yang dikenal dengan istilah Strategic Defance Review (SDR). Dalam renstra tersebut mestinya juga menekankan offset SDM teknologi yang memadai. Tak pelak lagi, Indonesia perlu segera mengirimkan SDM penerbangan ke luar negeri untuk kuliah dan pelatihan.
Perlu task force mengirim para lulusan SMA untuk belajar atau kuliah penerbangan dan magang di industri pesawat terbang terkemuka dunia lewat skema offset tersebut. Hal ini untuk mengantisipasi banyaknya kebutuhan SDM penerbangan sipil maupun militer mendatang.
Skema
Selain offset SDM, juga perlu skema offset produksi komponen pesawat oleh industri nasional, PTDI. Sebagai aset bangsa yang strategis PTDI memerlukan kesinambungan SDM dan fasilitas standar (recognized by authority ) secara global. Portofolio usaha PTDI terdiri dari Aircraft (Airplane & Helicopter), Aircraft Services (Maintenance, Overhaul, Repair and Alteration), Aerostructure (Parts & Components, Sub Assemblies, Assemblies Tools & Equipment). Kemudian juga Engineering Services (Communication Technology, Simulator Technology, Information Technology Solution, Design Center). Ini sebaiknya difokuskan untuk mendukung sistem penerbangan nasional sebagai penyedia dan supporting pesawat komuter serta Alutsista TNI.
Hingga kini utilisasi PTDI masih rendah. Padahal sejarah menunjukkan, tool dan manufacturing facility-nya termasuk canggih. Sayang, manajemen belum mampu mengoptimalkan fasilitas fabrikasi, mesin produksis, serta infrastruktur lainnya. Kapasitas produksi terdiri dari lahan seluas 792.800 m2 dan berupa bangunan 461.168 m2 hingga kini semakin terdegradasi. Kapasitas permesinan PTDI harus segera didayagunakan sebelum ditelan usia.
Manajemen belum mampu mengoptimalkan seluruh kapasitas. Padahal gedung dan hangar di kawasan pabrik yang lay-out hanggar dan capability of manufacturing-nya serupa dengan Boeing di Amerika Serikat saat itu.
Kecelakaan Pesawat Super Tucano mencuatkan pentingnya evaluasi mendasar terhadap sistem pemeliharaan dan pengembangan alutsista TNI AU. Pesawat produksi Embraer Defence System tersebut sejak awal mengandung masalah kontrak terkait pengiriman komponen atau suku cadang. Kelemahan kontrak juga terkait dengan ToT yang kurang melibatkan SDM dalam negeri.
Untuk mewujudkan program zero accident pesawat TNI AU perlu didukung SDM yang benar-benar menguasai sistem dan aspek desain pesawat. Saat ini mestinya ada SDM yang menguasi alih teknologi pesawat tersebut, tapi sayang tak ada dalam kontrak.
Padahal Super Tucano masih perlu dikembangkan agar mampu beroperasi di malam hari dengan melengkapi sistem navigasi andal. Salah satunya radar Radar Warning Receiver, Missile Approach Warning System, dan chaff/flare dispenser. Kemampuan melihat obyek dengan sinar infra merah yang andal dengan perlengkapan forward looking infrared tipe Star SAFIRE III seperti digunakan beberapa pesawat tempur canggih di atas kelasnya.
Penulis lulusan aerospace engineering, North Carolina State University, Ralegh, North Carolina, Amerika
http://www.koran-jakarta.com/super-tucano-dan-skema-offset/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar