Pilkada
serentak merupakan momentum untuk menjaring sosok kepala daerah yang mampu
mendongkrak produktivitas di daerahnya. Dibutuhkan kepala daerah yang memahami
cara yang tepat untuk meningkatkan produktivitas. Sekaligus, memiliki gagasan segar maupun
inovasi tepat guna yang terkait dengan faktor bagi produktivitas masyarakat.
Tahapan pilkada
serentak sebaiknya menjadi pasar gagasan oleh calon kepala daerah. Untuk
menunjukkan sejauh mana kapasitas dan kompetensinya demi memajukan daerah.
Rakyat membutuhkan sosok kepala daerah yang bisa mewujudkan faktor tipping point terkait produktivitas.
Pada prinsipnya
fenomena tipping pointbisa terjadi,
jika seseorang memiliki gagasan atau inisiatif hebat yang bisa menyebar seperti
virus ganas dan mampu menduplikasi secara deret ukur.
Rakyat membutuhkan
kepemimpinan yang transformatif. Yakni, tidak sekedar kepemimpinan politik,
tetapi juga cara untuk menggenjot produktivitas maupun daya
kreativitas.Kepemimpinan transformatis harus mampu mendefinisikan kembali
orientasi dan strategi pembangunan daerah yang berhasil melakukan leapfrogging atau lompatan katak terkait
produktivitas.
Menurut Murphy
istilah leapfrogging pada mulanya
digunakan untuk menunjukkan betapa cepatnya dua negara yang kalah perang, yakni
Jerman dan Jepang dalam mengejar kemajuan teknologi dan industri dengan cara
mengggenjot produktivitas.
Dalam konteks
lompatan di atas, sebaiknya sosok calon kepala daerah yang bertarung dalam
pilkada, kelak bisa membebaskan kakinya dari beban dan jeratan partai politik.
Agar dirinya bisa memperbaiki hasil terdahulu dan mampu melakukan lompatan
besar untuk kemajuan daerah.
Mestinya calon
kepala daerah harus mampu menyusun konsep dan dokumen pembangunan sesuai dengan
lompatan katak. Di era globalisasi, kecepatan menjadi tuntutan utama terhadap
pemerintahan. Jika kita cermati ada sederet kelemahan yang mendasar dalam Perda
RPJPD DAN RPJMPD yang dibuat oleh hampir semua pemerintah daerah dan lembaga
legislatif. Kita lihat isinya belum menekan secara tegas akan pentingnya faktor
kecepatan dam belum tampak milestones
pembangunan secara sistematik untuk mendongkrak produktivitas daerah.
Ada baiknya kita
simak kekhawatiran Presiden Joko Widodo terkait angka pengangguran usia muda
yang cukup tinggi. Sehingga menyebabkan produktivitas nasional bermasalah.
Ironisnya, ditinjau dari latar belakang pendidikan, pengangguran terbesar
justru adalah lulusan SMK (9,84%). Angka itu lebih tinggi dari pengangguran
lulusan SMA (6,95%), SMP (5,76%) dan sd (3,44%), dari total 7,56 juta
pengangguran terbuka mencapai 20,76%.
Strategi untuk
meningkatkan produktivitas tidak cukup dengen membangun berbagai macam
infrastruktur. Paling mendesak untuk dibenahi adalah produktivitas terkait
aspek luas ketenagakerjaan. Hakekat produktivitas ketenagakerjaan adalah
tingkat kemampuan pekerja dan birokasi pemerintahan dalam menghasilkan produk
maupun jasa.
Dibandingkan negara
lain, produktivitas tenaga kerja dan birokasi di Tanah Air masih lebih rendah
dari rata-rata negara anggota Asian Productivity Organization (APO) atau
organisasi produktivitas Asia. Singapura memiliki tinglat produktivitas
tertinggi di dunia pada tahun 2015, yaitu sekitar U$ 121,9. Sementara Indonesia
hanya skitar U$ 21,9. Posisi Indonesia pada 2015, jiga masih berada di bawah
Malaysian dan Thailand, bahkan Sri Lanka.
Di Indonesia tertinggi
terjadi di sektor pertambangan yakni sekitar Rp 137,1 juta per tenaga kerja per
tahun, sedangkan terendah terjadi di sektor pertanian, skitar Rp8,7 juta. Bisa
dilihat per daerah, tingkat produktivitas tertinggi ada di provinsi DKI
Jakarta, yaitu sekitar RP 102,2 juta per
tenaga kerja per tahun, diikuti oleh Kalimantan Timur sbesar RP 76 juta per
tenaga kerja per tahun. Produktivitas tenaga kerja paling rendah terdapat di
Provinsi NTT, yaitu hanya sebesar Rp 7 per tenaga kerja per tahun, diikuti
dengan Provinsi Gorontalo sebesar Rp 7,9 juta per tenaga kerja per tahun.
Sungguh prihatin
melihat fenomena gap produktivitas (productivity gap analysis) antara Korea
Selatan, Malaysia dan Indonesia. Produktivitas Korea Selatan lebih tinggi sekitar 6,35 kali (635%) dari
produktivitas Indonesia. Produktivitas Malaysia lebih tinggi sekitar 2,93 kali
(293%) dari produktivitas Indonesia. Produktivitas Korea Selatan lebih tinggi
sekitar 2,17 kali (217%) dari produktivitas Malaysia.
Ada korelasi antar
kebijakan pembangunan ekonomi dengan kemajuan pembangunan sumber daya manusia
(SDM). Angka produktivitas di Korea Selatan dan Malaysia ternyata hasil dari
percetakan SDM unggul secara besar-besaran. Terutama percetakan SDM dengan cara
mengirimkan para remajanya untuk belajar ke luar negeri, terutama ke pusat
IPTEK dan peradaban unggul dunia. Kemajuan yang di raih Korea Selatan dan
Malaysia selama masa pembangunan 1960-2015 mengandalkan pada peningkatan
produktivitas dan menggenjot kualitas sumber daya manusia. Bukan mengandalkan
pada kepemilikan sumber daya alam (SDA).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar