Mencetak SDM Pengelola Industri
Oleh : Bimo Joga Sasongko *)
Saatnya Indonesia memacu industrialisasi manufaktur untuk memenuhi
kebutuhan domestik dan ekspor. Sayangnya negeri ini kekurangan tenaga ahli dan
terampil untuk berbagai sektor industri. Ketika industri manufaktur memasuki
tahap yang lebih bernilai tambah, SDM yang tersedia tidak mampu mengikuti
kecepatan perubahan industri.
Laporan McKinsey Global
Institute tentang Indonesia menyatakan bahwa sebagian besar pemilik industri
mengalami kesulitan mendapatkan SDM ahli untuk mengelola industri.
Kajian McKinsey juga menyatakan
bahwa potensi Indonesia agar ekonominya mampu tumbuh 6% pertahun maka harus
mencetak SDM yang memiliki kemampuan yang andal dalam mengelola industri yang
bernilai tambah tinggi. SDM tersebut untuk berbagai lini, dari level manajemen
hingga tenaga kerja dilapangan yang dididik secara spesifik. Pada 2030
diproyeksikan kebutuhan SDM diatas hingga mencapai 113 juta orang.
Hal yang senada juga dinyatakan
oleh Bank Dunia yang mendapatkan fakta bahwa 84% pemberi kerja di sektor
manufaktur kesulitan mendapatkan karyawan untuk posisi manajerial dan 69% pemberi
kerja mengaku kesulitan mendapatkan tenaga kerja terampil.
Tahun 2017 sektor industri di
negeri ini perlu totalitas membenahi industri pengolahan atau manufacturing
industry dari skala industri besar hingga UMKM. Dalam konteks industri
pengolahan, keunggulan itu berupa peningkatan nilai tambah ekonomi lokal secara
signifikan dan dirasakan langsung oleh rakyat luas. Masalah ini tidak hanya
menjadi beban pemerintah pusat, pemerintah daerah juga harus berpikir dan
berusaha keras terhadap industri di daerahnya.
Kebijakan pengetatan impor harus
terus dilakukan oleh pemerintah untuk berbagai jenis komoditas. Hal itu bertujuan agar produk impor semakin sulit
masuk ke Indonesia sehingga mendorong investasi untuk membangun pabrik dan
tumbuhnya industri-industri yang mampu mensubstitusi produk impor.
Berdasarkan data Badan Pusat
Statistik (BPS), total nilai impor Indonesia pada November 2016 mencapai US$
12,66 miliar atau naik 10% dibandingkan bulan sebelumnya, demikian juga jika
dibandingkan November 2015 (year on year/yoy) naik 9,88%. Dari sisi negara asal
barang impor nonmigas pada Januari-November 2016, Tiongkok menduduki posisi
teratas dengan nilai US$ 27,55 miliar dan pangsa pasar 26,04%, Jepang US$ 11,84
miliar (11,20%), dan Thailand US$ 7,95 miliar (7,52%). Sedangkan impor nonmigas
dari Asean mencapai pangsa pasar 21,57%, sementara dari Uni Eropa 9,18%.
Data menunjukkan bahwa terjadi
penurunan kemampuan industri nasional menyeimbangkan neraca nilai impor ekspor
secara signifikan. Secara makro ketidak seimbangan ini disebabkan oleh masalah
efisiensi dan masalah produktivitas. Perlu merumuskan kembali strategi dasar
pelaku industri. Seperti strategi biaya produksi rendah (low cost leadership strategy), strategi segmentasi pasar (focus strategy) dan strategi
diferensiasi produk (differentiated
product strategy).
Pada era sekarang ini faktor
kegesitan atau agilitas industri merupakan keniscayaan. Untuk mewujudkan
kegesitan industri nasional dibutuhkan SDM yang mampu mengembangkan
fleksibilitas dan kapabilitas manufaktur.
Ada pergeseran paradigma dalam
industri manufaktur yang meliputi beberapa tahap, Pertama, Craft Production, yakni penyelesaian kerja secara individual dengan
basis job by job. Kedua, Mass Production,
yakni produksi dilaksanakan untuk memproduksi barang dalam jumlah yang besar,
variasi produk minimal dan meningkat ketika ada peningkatan waktu. Ketiga, Lean Production, yakni penerapan prinsip
JIT dan mengurangi kegiatan yang sia-sia untuk meminimalkan biaya produksi.
Keempat, Agile Manufacture, yakni
menekankan pada upaya untuk mengurangi waktu yang didukung oleh kemampuan SDM.
Pemerintah menekankan perlunya
memperkuat pendidikan vokasional untuk memenuhi kebutuhan industri. Perlu
sinergi yang detail antar kementerian juga dengan perusahaan yang bisa
mewujudkan link and match. Untuk mewujudkan itu perlu kerjasama antara ikatan
sekolah kejuruan, dunia usaha atau industri yang diwakili oleh KADIN serta
praktisi atau ahli teknologi yang memiliki pengalaman tentang transformasi
industri dan teknologi di negara maju. Konsep link and match pernah dirumuskan oleh Wardiman Djojonegoro yang
pernah menjadi Mendikbud Kabinet Pembangunan VI. Pada saat ini konsep tersebut
masih relevan.
Perspektif link menunjukkan proses. Yang berarti bahwa proses pendidikan
selayaknya sesuai dengan kebutuhan pembangunan, sehingga hasilnya pun cocok (match) dengan kebutuhan tersebut. Baik
dari segi jumlah, mutu, jenis, kualifikasi maupun waktunya. Sistem pendidikan
nasional sejak Indonesia merdeka hingga kini belum mampu memenuhi tuntutan
dunia usaha dan industri.
Revitalisasi dan reorientasi
pendidikan vokasional telah menjadi agenda penting. Presiden Joko Widodo
menekankan perlu langkah cepat terhadap vokasional utamanya yang ada di pelosok
Tanah Air. Dengan cara menyiapkan sekolah atau pelatihan kejuruan sesuai dengan
kebutuhan industri dan dunia usaha. Khususnya vokasional yang terkait sektor
industri unggulan.
Langkah pemerintah yang berusaha
meningkatkan produktivitas nasional lewat revitalisasi program pendidikan
vokasional sebaiknya dilakukan secara komprehensif. Utamanya dengan menambah
jumlah guru kejuruan dan meningkatkan kompetensinya. Dengan cara mengirimkan
guru-guru SMK ke negara maju yang memiliki industri yang kuat dan mendunia.
Program vokasional berbasis apprentice adalah kunci suksesnya
industrialisasi di negara maju. Sedangkan di Indonesia juga pernah diterapkan
sistem Apprentice untuk memenuhi kebutuhan SDM industri dalam durasi yang
singkat. BUMN industri strategis, seperti PT Dirgantara Indonesia (PT DI), PT
PAL, PT Krakatau Stel pernah mencetak ribuan teknisi ahli yang direkrut dari
lulusan SMA dan SMK menjadi SDM industri yang spesifik dan sesuai dengan
kebutuhan.
Apprenticeship dalam istilah bahasa Indonesia bisa disederhanakan
artinya menjadi pemagangan. Apprenticeship
adalah bentuk unik dari pendidikan kerja, yang mengkombinasikan pelatihan di
tempat kerja dengan pembelajaran berbasis di sekolah, terkait kompetensi dan
proses kerja yang ditentukan secara khusus.
Durasi apprenticeship biasanya lebih dari satu tahun dan bahkan di
beberapa negara berlangsung selama empat tahun. Pendekatan organisasi buruh
sedunia ILO untuk apprenticeship
adalah mekanisme pembelajaran canggih atas dasar saling percaya dan kerjasama
antar pemangku kepentingan.
Pemagangan berbasis link and match sebaiknya menekankan
prinsip desentralisasi. Ini bisa sukses dengan catatan pemerintah daerah harus
benar-benar siap secara teknis maupun kelembagaan. Desentralisasi juga menjadi
momentum untuk membenahi standardisasi sekolah menengah, terutama SMK.
Standardisasi sekolah kejuruan sangat beragam dan tidak sama setiap daerah.
Perlu dana yang cukup besar
untuk menata pendidikan vokasional yang notabene akan memperluas portofolio
kompetensi ketenagakerjaan di Tanah Air. Hal itu sebagai solusi untuk mengatasi
pertumbuhan angkatan kerja di Indonesia yang sekitar 2,9 juta per tahun,
sebagian besar atau sekitar 80% di antaranya adalah tenaga kerja yang kurang
terlatih.
Sektor industri pengolahan
saatnya memiliki kontribusi yang signifikan bagi perekonomian Indonesia.
Tercatat bahwa kontribusi sektor pengolahan dalam perekonomian Indonesia
mencapai puncaknya pada 2004 ketika kontribusi sektor tersebut mencapai kisaran
28%. Meskipun begitu, secara komparatif angka itu bisa dikatakan masih
tergolong rendah jika dibandingkan dengan negara lain. Sebagai contoh, puncak
dari kontribusi sektor pengolahan di Jepang adalah sekitar 36%, di Uni Eropa
sekitar 32% dan di negara-negara industri maju sekitar 30%.
Saatnya bagi pemerintah daerah
untuk merancang sebaik-baiknya link and match antara lembaga pendidikan
kejuruan dan sektor industri. Dengan itu Pemda bisa mengembangkan tenaga kerja
serta portofolio kompetensi dan profesi yang cocok bagi warganya. Khususnya
portofolio yang berbasis sumber daya lokal.
*) BIMO JOGA SASONGKO, Ketua Umum IABIE. Pendiri
Euro Management Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar