Oleh Bimo Joga
Sasongko | Jumat, 22 Februari 2019 | 9:42
Mewujudkan profesionalitas guru vokasional atau kejuruan
merupakan keniscayaan bangsa yang tengah memasuki era industri 4.0. Kebutuhan
terhadap guru produktif untuk meneguhkan industrialisasi nasional perlu
terobosan. Guru produktif tidak mesti dilahirkan dari bangku universitas
kependidikan. Mereka bisa saja berlatar belakang ahli teknik, inovator, bahkan
juga para start-up atau pengusaha rintisan.
Mayoritas sekolah kejuruan di Tanah Air, postur tenaga
pengajarnya masih didominasi oleh kategori guru nomatif-adaptif atau guru umum
yang mengajar mata pelajaran seperti Agama, PPKn, Matematika, bahasa Indonesia,
dan lain-lain. Sedangkan kategori guru produktif yang mengajar anak-anak sesuai
dengan bidang keahlian yang dipilih persetasenya masih kecil, di bawah 30%.
Untuk mencetak guru produktif yang sesuai dengan
perkembangan zaman tidak mudah. Perlu terobosan dan program yang massif di
seluruh daerah. Desentralisasi pendidikan dan mengalirnya sebagian besar
anggaran pendidikan nasional ke daerah menuntut kepala daerah untuk mencetak
guru produktif dalam jumlah yang cukup untuk menggerakkan dan mengembangkan
potensi daerah masing-masing. Pemerintah daerah jangan kepalang tanggung dalam
mencetak guru produktif.
Terobosan mesti segera dilakukan. Antara lain dengan
memberikan bea siswa kepada masyarakat yang berprestasi untuk belajar ke luar
negeri sesuai dengan kategori dan bidang guru produktif yang diperlukan.
Apalagi berbagai bidang teknologi dan produksi belum bisa diajarkan di
perguruan tinggi dalam negeri. Atau masih terbatas sekali kapasitasnya, di lain
pihak kebutuhan industri yang sangat besar sudah di depan mata.
Keniscayaan, pemda perlu membuat skema beasiswa ikatan
dinas belajar di luar negeri untuk memenuhi kebutuhan guru produktif setiap
tahunnya. Universitas di negara maju telah melengkapi program studi hingga
mencakup bidang yang sesuai dengan perkembangan industri kreatif dan proses
produksi yang sesuai dengan revolusi Industri 4.0.
Sementara kondisi universitas di Tanah Air prodinya masih
stagnan. Itulah mengapa Presiden Jokowi dalam kunjungannya ke beberapa
perguruan tinggi selalu meminta dibuka prodi baru yang lebih relevan dengan
semangat zaman. Pemerintah daerah yang telah diguyur anggaran pendidikan
nasional dalam jumlah yang besar mestinya bisa mengalokasikan anggaran untuk
mengatasi deficit guru produktif.
Jika kondisi deficit tersebut terlambat diatasi maka
Indonesia kehilangan momentum untuk mencetak sumber daya manusia (SDM) yang
mumpuni penggerak industrialisasi. Mencetak guru produktif sekaligus bisa
membangkitkan SDM di perdesaan, khususnya daerah terpencil atau kabupaten yang
masih terbelakang.
Perlu terobosan untuk membangkitakn SDM perdesaan lewat
pendidikan. Seperti yang pernah diinstruksikan oleh Presiden Joko Widodo kepada
Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pujiastuti, agar mengirim guru SMK kejuruan
perikanan dari daerah terpencil untuk kuliah di Jepang guna mendalami teknologi
budidaya dan proses nilai tambahnya. Terobosan memberikan beasiswa ikatan dinas
bagi siswa berprestasi dari sekolah menengah untuk belajar di luar negeri patut
diapresiasi dan diperluas.
Mencermati struktur APBN tahun 2019 terlihat bahwa
tanggung jawab dan distribusi anggaran pendidikan telah dilimpahkan kepada
daerah, baik provinsi maupun kabupaten dan kota. Sayangnya pelimpahan tersebut
belum disertai dengan kesiapan daerah dalam mengelola anggaran sehingga tepat
sasaran dan bisa mendorong program unggulan.
APBN tahun 2019 mencapai Rp 2.461,1 triliun. Sebanyak 20%
dari anggaran tersebut atau sebesar Rp 492,5 triliun diperuntukkan bagi sektor
pendidikan. Dari anggaran sektor pendidikan tersebut, sebesar Rp 308,38 triliun
atau 62,62% ditransfer ke daerah.
Sisanya, didistribusikan kepada 20 kementerian/ lembaga
yang melaksanakan fungsi pendidikan. Kemendikbud terus menambah skema ser
tifikasi kompetensi bagi guru dan tenaga kependidikan jenjang SMK. Tahun ini,
Kemendikbud menetapkan sebanyak 81 kompetensi keahlian bagi guru produktif.
Skema sertifikasi mengikuti Kerangka Kualifikasi Nasional
Indonesia (KKNI) yang diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2012.
Payung hukum ini mencantumkan sertifikasi profesi terdiri atas sertifikat satu
hingga Sembilan pada jenis profesi. Skema ini berlaku secara nasional dan
direncanakan berlaku secara baku bagi lingkup internasional.
Revitalisasi dan reorientasi vokasional kini menjadi
agenda penting pendidikan nasional. Apalagi Presiden Joko Widodo menekankan
perlu langkah perbaikan yang konkret terhadap sistem pelatihan atau program
vokasional utamanya yang ada di pelosok Tanah Air.
Kepada menteri terkait Presiden memerintahkan dengan
segera revitalisasi vokasional. Dengan cara menyiapkan sekolah atau pelatihan
kejuruan sesuai dengan kebutuhan industri dan dunia usaha. Khususnya vokasional
yang terkait sektor unggulan seperti maritim, pariwisata, pertanian dan
industry kreatif.
Persaingan global dan regional semakin mempertegas tak
ada kata atau kalimat lain yang lebih penting, selain memperbaiki secara
totalitas produktivitas dan nilai tambah lokal. Sektor pertama yang mesti
dibenahi adalah sektor industri pengolahan agar bisa memainkan peran yang lebih
besar dalam perekonomian Indonesia.
Saatnya sektor industri pengolahan berkontribusi untuk
mendongkrak perekonomian dan menyediakan sumber pekerjaan yang berkualitas bagi
angkatan kerja.
Saatnya bagi pemerintah daerah bersinergi dengan para
guru produktif untuk merancang sebaikbaiknya link and match antara lembaga
pendidikan kejuruan dan sektor industri. Dengan langkah itu daerah bisa
mengembangkan tenaga kerja serta portofolio kompetensi dan profesi yang cocok
bagi warganya. Khususnya portofolio yang berbasis sumber daya lokal.
Bimo Joga Sasongko,
Lulusan FH Pforzheim Jerman. Pendiri Euro
Management Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar