Memaksimalkan
Bonus Demografi
Oleh Bimo Joga
Sasongko *)
Kebangkitan Nasional pada 1908
pada hakekatnya adalah era bangkitnya rasa dan semangat persatuan dan
nasionalisme serta kesadaran untuk memperjuangkan cita-cita bangsa. Era ini
ditandai dengan peristiwa penting yaitu berdirinya pergerakan Boedi Oetomo pada
20 Mei 1908.
Kini untuk mewujudkan
kebangkitan nasional kedua, cara yang paling esensial dengan membangkitkan SDM
di perdesaan melalui proses pendidikan yang progresif sesuai tantangan
globalisasi. Serta membangkitkan proses nilai tambah terhadap sumber daya lokal
dengan kapasitas inovasi teknologi.
Saatnya membangkitkan SDM unggul
di perdesaan, khususnya daerah terpencil atau kabupaten yang masih terbelakang.
Perlu terobosan untuk membangkitakn SDM perdesaan lewat pendidikan yang lebih
berkualitas. Terutama pendidikan vokasi yang sesuai dengan tipologi daerah.
Mencetak ilmuwan yang berbasis
perdesaan sejak usia belia atau lulusan SMA/SMK merupakan kredo terwujudnya
kebangkitan nasional yang dimulai dari pinggiran.
Langkah untuk mencetak ilmuwan
berbasis perdesaan telah dicontohkan oleh Presiden Joko Widodo. Yakni
menginstruksikan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pujiastuti agar membuat
program pengiriman para lulusan SMK kejuruan perikanan dari daerah terpencil
untuk kuliah di luar negeri. Seperti belajar di Jepang guna mendalami teknologi
budidaya mutiara dan proses nilai tambahnya. Terobosan memberikan bea-siswa
ikatan dinas bagi siswa berprestasi dari sekolah menengah untuk belajar di luar
negeri patut diapresiasi dan diperbanyak.
Peringatan Harkitnas ke-109
hendaknya bisa mencerahkan publik tentang tahapan atau milestones kebangkitan
nasional yang kedua bagi bangsa. Ini bisa terwujud dengan cepat berkat adanya
Bonus Demografi yang dipersiapkan dengan baik. Yakni struktur kependudukan yang potensial dan bisa didayagunakan negara
sebagai akibat dari besarnya proporsi penduduk produktif (rentang usia 15-64
tahun) dalam evolusi kependudukan yang dialaminya.
Jumlah penduduk Indonesia dari
tahun ke tahun terus meningkat. Bahkan, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional
(Bappenas) memproyeksikan bahwa jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2035
mendatang mencapai 305,6 juta jiwa. Jumlah ini meningkat 28,6 persen dari tahun
2010 yang sebesar 237,6 juta jiwa.
Meningkatnya jumlah penduduk
pada 2035 tersebut menjadikan Indonesia negara kelima dengan jumlah penduduk
terbanyak di dunia. Idealnya era tersebut menjadi momentum kebangkitan nasional
kedua. Peningkatan jumlah penduduk Indonesia tersebut dibarengi dengan
meningkatnya penduduk berusia produktif (usia 15 tahun sampai 65 tahun).
Pada 2010, proporsi penduduk
usia produktif sebesar 66,5 persen. Proporsi ini terus meningkat mencapai 68,1
persen pada tahun 2028 sampai tahun 2031. Meningkatnya jumlah penduduk usia
produktif menyebabkan menurunnya angka ketergantungan, yaitu jumlah penduduk
usia tidak produktif yang ditanggung oleh 100 orang penduduk usia produktif
dari 50,5 persen pada tahun 2010 menjadi 46,9 persen pada periode 2028-2031.
Tetapi angka ketergantungan ini mulai naik kembali menjadi 47,3 persen pada
tahun 2035.
Kontribusi penduduk berusia
produktif menyebabkan peningkatan Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia dengan
catatan adanya peningkatan kompetensi tenaga kerja dan semakin banyaknya SDM
yang berkelas dunia.
Antisipasi dan proyeksi yang
tepat terhadap bonus demografi menyebabkan pertumbuhan ekonomi negara yang
signifikan. Dengan bonus demografi, negara berkembang (antara lain Indonesia,
India, Brasil) mendapat berkah berupa penduduk dengan umur produktif sangat
besar dan usia lanjut yang belum banyak.
Dilain pihak, negara maju,
termasuk Amerika Serikat, justru menghadapi aging population, dengan kondisi
proporsi penduduk usia lanjut yang meningkat tajam.
Kondisi demografi dengan aging
population berdampak negatif pada kinerja perekonomian. Pada saat Indonesia
menginjak bonus demografi dilain pihak data menunjukkan adanya akselerasi aging
population pada negara maju. Seperti yang direlease US Census Bureau
menunjukkan akselerasi peningkatan proporsi penduduk lansia (di atas 60 tahun)
dari 14,1 persen pada tahun 1970 menjadi 24,7 persen pada tahun 2030.
Sedangkan negara maju lainnya,
yakni di kawasan Eropa dan Jepang, akselerasi aging population juga meningkat
tajam dari 16,0 persen pada tahun 1970 menjadi 29,0 persen pada tahun 2030.
Tentunya ini berdampak negatif berupa penurunan produktivitas, ketimpangan
pasar ketenagakerjaan dan pertumbuhan ekonomi yang terganggu.
Tranformasi menjadi negara maju
pada era bonus demografi akan sulit terwujud tanpa disertai dengan mencetak SDM
unggul disegala bidang sebanyak-banyaknya. Sejarah menunjukkan bahwa untuk
mencetak SDM unggul pada era Presiden Soekarno dengan cara mengirim ratusan
pemuda untuk belajar di negara maju guna transfer teknologi.
Begitu juga pada saat BJ Habibie
menjadi Menristek, telah dikirim ribuan lulusan SMA ke berbagai negara maju.
Langkah ini sebagai persiapan untuk menjalankan strategi tranformasi teknologi
dan industri. Sayangnya sejak 1997 berbagai program bea siswa ke luar negeri
yang dirintis oleh BJ Habibie dihentikan dengan alasan yang sangat politis.
Sehingga kesempatan pemuda Indonesia berbakat dari berbagai golongan untuk
kuliah di luar negeri menjadi tertutup.
Data statistik menunjukkan bahwa
di Amerika Serikat lima tahun terakhir menunjukkan bahwa jumlah mahasiswa asal
Cina sekitar 157.000 orang, India 103.000, Jepang 21.000 orang, dan Indonesia
sekitar 5000 – 6000 orang. Di Jerman, mahasiswa asal Indonesia sekitar 2000
orang, namun mahasiswa Cina di Jerman sampai 25.000 orang. Penduduk Cina itu 5
kali lipat penduduk Indonesia, jadi kalau mahasiswa Indonesia di Jerman hanya
2.000 orang artinya mahasiswa Cina di Jerman itu 10.000. Tapi nyatanya
mahasiswa Cina di Jerman sampai 23.000. Begitu juga di Australia, mahasiswa
Indonesia 11.000 orang, sedangkan asal Vietnam 10.000 orang. Padahal penduduk
Vietnam hanya sekitar 90 juta orang.
Artinya kalau penduduk Indonesia
250 juta orang atau sekitar 3 kali Vietnam, idealnya mahasiswa Indonesia di
Australia 30.000 orang, nyatanya hanya 11.000 orang Artinya Indonesia masih
tertinggal dalam mengirimkan mahasiswa Indonesia ke negara-negara maju seperti
Amerika Serikat, Inggris, Jepang, Australia & Jerman.
Selama ini mindset orang
Indonesia adalah ingin sekolah keluar negeri untuk program S2 nya saja, ini lah
yang membuat Indonesia kalah tertinggal dengan negara lain. Kenapa bisa
tertinggal, karena zaman dulu informasi tidak ada, keuangan keluarganya masih
rendah, kuliah S1 di Indonesia masih murah sehingga banyak orang menganggap
bahwa S2 saja keluar negerinya.
Pada era konseptual saat ini, dengan
jiwa muda yang mudah beradaptasi, kemampuan bahasanya lebih cepat untuk
mempelajari bahasa asing, dan untuk S1 diluar negeri kuliah lebih lama mencapai
4 – 5 tahun dibandingkan dengan kuliah S2 hanya 1 – 2 tahun, sehingga proses
adaptasi dan pengenalan budaya di negara tersebut lebih mudah. Dengan alasan
itulah pemerintah bersama pihak swasta dan masyatakat yang mampu harus
menggalakkan kembali pengiriman tamatan SMA ke LN. Termasuk reorientasi program
dari Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) dengan menitikberatkan pembinaan
siswa SMA/SMK berbakat untuk di dikirim kuliah ke negara-negara maju.