Hardiknas
dan Visi Kebangsaan
Oleh : Bimo Joga Sasongko
Esensi Hari Pendidikan Nasional
(Hardiknas) yang diperingati setiap 2 Mei terkait erat dengan visi kebangsaan
menjadi negara maju. Peringatan Hardiknas 2017 bertema Percepat Pendidikan
yang Merata dan Berkualitas. Tema tersebut menyiratkan upaya besar agar
SDM bangsa ini memiliki daya saing dan nilai tambah yang tinggi untuk mendukung
suksesnya Visi Indonesia 2045.
Cita-cita pendiri bangsa dan
konstitusi negara menekankan pentingnya mencerdaskan kehidupan bangsa. Untuk
itu tentunya melalui sistem dan infrastruktur pendidikan yang terbaik.
Visi kebangsaan 2045 terwujudnya
Indonesia sebagai negara maju sangat tergantung kepada hasil pendidikan
nasional. Visi kebangsaan tersebut sebenarnya memiliki alasan yang
obyektif. Seperti digambarkan oleh lembaga riset Internasional, McKinsey
Global Institute. Yang telah memproyeksikan dengan tingkat pertumbuhan
ekonominya yang stabil serta rasio usia produktif yang dikelola dengan sistem
pendidikan yang paripurna dalam rentang bonus demografi (tahun 2020-2035). Maka
Indonesia bisa mewujudkan diri sebagai negara maju dan unggul pada 2045.
Prasyarat utama terwujudnya visi
adalah menyempurnakan sistem pendidikan nasional. Serta membangun infrastruktur
pendidikan secara besar-besaran sesuai dengan tantangan era gelombang keempat
atau era konseptual. Orientasi konten atau kurikulum pendidikan harus
mengedepankan daya kreatif dan inovatif untuk memacu kekuatan ekonomi bangsa.
Kini
perkembangan sistem pendidikan dunia mengarah kepada pendekatan kontekstual
atau Contextual Teaching and Learning (CTL). Dimana CTL merupakan konsep
belajar yang menuntut para guru dan dosen mampu mengaitkan antara materi yang
diajarkannya dengan situasi aktual. Konsep diatas juga mengharuskan guru dan
dosen lebih banyak berperan sebagai pendorong daya inovasi dan kreatifitas para
siswa. CTL akan membuat sektor pendidikan klop dengan sektor industri.
Meneropong visi kebangsaan ada
kendala besar terkait postur SDM yang eksis pada saat ini. Postur itu tergambar
dalam data ketenagakerjaan 2016 yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS),
dimana jumlah angkatan kerja mencapai 127,67 juta orang. Dari jumlah
angkatan kerja tersebut sebesar 47,37 persen masih didominasi oleh lulusan SD
dan SD ke bawah, berpendidikan SMTP sebesar 18,57 persen dan SMTA beserta SMK
sebesar 25,09 persen. Sedangkan lulusan diploma ke atas (DI, DII, DIII dan
Universitas) hanya berjumlah 8,96 persen. Komposisi jumlah angkatan kerja
diatas tentunya tantangan berat untuk bisa bersaing secara global.
Dengan kondisi postur SDM diatas
perlu totalitas program unggulan nasional terkait pendidikan yang dikelompokkan
menjadi tiga kategori. Kategori pertama, adalah program penjaringan siswa
lulusan SMA yang berbakat dan memiliki prestasi akademis yang bagus untuk
diberi kesempatan dan dipacu agar menjadi tenaga ahli atau ilmuwan kelas dunia.
Jumlah siswa lulusan SMA berbakat setiap tahun meningkat dan tidak sebanding
dengan daya tampung atau kapasitas perguruan tinggi terbaik di Tanah Air.
Bahkan untuk prodi tertentu sangat tidak sebanding dengan jumlah lulusan SMA
berbakat.
Dengan
kondisi tersebut perlu terobosan dengan membuka kesempatan lulusan SMA berbakat
untuk belajar ke luar negeri. Agar mampu menembus perguruan tinggi ternama di
LN. Mereka diarahkan hingga diberi insentif lewat bea siswa atau kredit
mahasiswa. Perlu program matrikulasi, penguasaan bahasa asing beserta aspek
budayanya, tangguh menghadapi proses seleksi masuk perguruan tinggi, serta
mendapatkan program pendampingan agar lancar sewaktu belajar di LN.
Sebaiknya setiap pemerintah
daerah bekerja sama dengan LPDP (Lembaga Pengelola Dana Pendidikan) membuat
program pengiriman kaum belia lulusan SMA terbaik di daerahnya untuk diberi
beasiswa kuliah di LN. Apalagi studi di negara maju seperti di Jerman dan
Prancis biaya kuliahnya gratis. PT di sana tergolong universitas terbaik
di dunia.
Kedua, adalah ketegori program
vokasional berbasis link and match yang harus digenjot secara totalitas.
Penekanan program adalah mengembangkan sistem apprenticeship seluas-luasnya di
Tanah Air. Apalagi para pemimpin pemerintahan dan bisnis di negara anggota G-20
telah menekankan pentingnya apprenticeship yang bermutu dalam mengatasi masalah
ketenagakerjaan bagi lulusan SMTA atau SMK.
Ketiga, adalah ketegori program
pendidikan informal untuk segmen masyarakat berpendidikan rendah, lulusan SD
atau tidak tamat SD serta lulusan SMP. Pendidikan informal bisa mereduksi
masalah sosial khususnya di perdesaan. Tahap pertama untuk program ini adalah
membenahi organisasi pendidikan nonformal yang ada. Baik di tingkat desa atau
kecamatan yang biasa disebut Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM ) dan di
tingkat Kabupaten/Kota yang disebut Sanggar Kegiatan Belajar (SKB). Organisasi
ini harus dimodernisasi prasarananya serta kurikulumnya disesuaikan dengan kemajuan
jaman.
Jika ketiga kategori program
unggulan nasional diatas berhasil dilaksanakan maka pada saat bonus demografi
bangsa berlangsung, SDM bangsa bisa terkelola dengan baik. Sekedar catatan,
rasio sederhana bonus demografi dapat digambarkan bahwa disetiap 100 penduduk
Indonesia, terdapat 64 orang yang berusia produktif, sisanya 46 orang adalah
usia anak-anak dan lansia. Rasio usia produktif di atas 64 persen sudah cukup
bagi Indonesia untuk bergerak menjadi negara maju. Itu adalah rasio usia
produktif terbaik Indonesia yang berlangsung dari 2020 dan akan berakhir pada
2035. Suksesnya program unggulan terkait pendidikan akan mengamini prediksi
McKinsey Global Institute yang menyatakan Indonesia menjadi negara dengan
kekuatan ekonomi tujuh besar dunia pada 2030.
Peringatan Hardiknas 2017
merupakan momentum untuk meneguhkan milestone pengembangan SDM nasional agar
bisa bersaing secara global. Dalam lintasan abad, kita bisa menyimak
sejarah perkembangan bangsa-bangsa di dunia. Perjalanan dari negara kurang maju
sampai menjadi maju terlihat siklusnya semakin pendek. Pada era peradaban Mesir
kuno perlu beberapa ribu tahun, Peradaban Romawi dan Yunani dalam order kurang
dari seribu tahun, Era Renaisance dan Peradaban Islam sepanjang 700-an tahun,
Eropa kurang dari 400 tahun, Amerika Serikat perlu sekitar 200-an tahun, Jepang
kurang dari seratus tahun, dan kemajuan naga Asia seperti Korea Selatan
dan Tiongkok adalah fenomena yang menarik karena butuh waktu efektif
kurang dari lima puluh tahun untuk mewujudkan kemajuan.
*) BIMO SASONGKO BSAE, MSEIE, MBA, Presdir & CEO Euro Management Indonesia, Ketua Umum IABIE, Wakil Sekjen ICMI.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar