Kamis 3/5/2018 | 01:00
Oleh Bimo Joga Sasongko
Peringatan Hari Buruh sedunia atau May Day pada 1 Mei baru
lewat. Nasib buruh kini ditentukan perkembangan bisnis global yang sangat
dinamis dan ditandai dengan terjadinya disrupsi teknologi yang serbadigital.
Perkembangan bisnis global juga diwarnai migrasi tenaga kerja antarnegara. Daya
saing tenaga kerja asing (TKA) yang lebih kompetitif memaksa pekerja lokal
meningkatkan kompetensi dan kemampuan berbahasa asing.
Saat ini, organsiasi buruh sedang menentang Perpres 20/ 2018 tentang Penggunaan TKA. Pasal-pasal dalam Perpres dinilai merugikan SDM nasional. Perpres juga dianggap bertentangan dengan UU Nomor 13/2013 tentang Ketenagakerjaan. Beberapa pasal yang dianggap merugikan antara lain tentang Rencana Penggunaan TKA (RPTKA) dan izin yang sangat longgar. Pasal itu dibuat agar pemberi kerja/pengusaha bisa seenaknya merekrut TKA kapan pun dan dari mana pun.
Sebaiknya terkait RPTKA harus benar-benar dievaluasi dan dinilai secara ketat dan melibatkan organisasi profesi seperti buruh dan perguruan tinggi. Pasal mengenai kententuan tentang TKI pendamping TKA mestinya diatur supaya hasilnya lebih efektif. Kewajiban alih teknologi dan keahlian kepada TKI pendamping harus terukur. Misalnya, mesti ada tes khusus terhadap TKA untuk mengukur tingkat keahlian. Dengan demikian, TKA yang hadir di Indonesia benar-benar kredibel, bukan tenaga kasar yang dibungkus label tenaga ahli.
Pemerintah harus membatasi serbuan TKA terutama pada proyek infrastruktur. Selama ini banyak penyimpangan kompetensi TKA, sehingga jenis-jenis pekerjaan kasar juga diambil TKA. Meningkatnya jumlah TKA yang merambah berbagai sektor negeri ini membuat berbagai pihak gusar. Namun, kegusaran tersebut hendaknya tidak memicu kekacauan, tetapi harus diantisipasi secara adil dan langkah sistemik untuk meningkatkan kompetensi serta daya saing tenaga kerja lokal.
Buruh sebaiknya menekankan pembahasan masa depan terkait
daya saing. Persoalan perburuhan masih menjadi bom waktu sosial yang siap
meledak. Sebab hubungan industrial masih sering buntu. Posisi advokasi dan
peraturan perburuhan masih compang-camping. Portofolio kompetensi di kalangan
buruh terus merosot dan kualitas hak-hak normatif buruh makin tipis.
Pemerintahan dituntut lebih efektif dalam meningkatkan daya saing buruh. Apalagi pada era 2020 hingga 2030 bakal ada banyak penduduk baru (bonus demografi) sebagai puncak usia produktif penduduk Indonesia. Situasi ini harus dipersiapkan dengan berbagai program pengembangan SDM terutama kaum buruh.
Tak bisa dimungkiri gerakan buruh kini mudah eskalatif.
Semua itu karena masih ada masalah ketenagakerjaan krusial yang tengah
mengadang perjuangan mereka. Misalnya, soal outsourcing. Istilah outsourcing
atau biasa disebut alih daya mengacu pada UU Ketenagakerjaan Pasal 65 dan 66
mengenai penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya.
Hal ini tidak boleh menyebabkan pekerja kehilangan jaminan atas kelangsungan
kerja.
Lintas Negara
Perlu pengawas ketenagakerjaan yang kredibel dan
berintegritas dalam menyikapi outsourcing. Selama ini personel pengawas
ketenagakerjaan yang nota bene aparatur sipil negara (ASN) daerah kurang
optimal kinerjanya. Pengawas ketenagakerjaan juga harus memiliki pengetahuan
yang memadai terkait proses bisnis sekarang yang efektif luar biasa. Tingkatan
ini bisa diraih, salah satunya, dengan faktor outsourcing.
Tak pelak lagi outsourcing lintas negara saat ini bisa dianalogikan sebagai potensi ekonomi global yang sangat besar dan sedang diperebutkan berbagai negera pemilik SDM tangguh seperti India yang menyiapkan SDM dengan baik. Utamanya dengan cara spesialisasi ketenagakerjaan dan penguasaan bahasa asing.
Untuk mengejar potensi dan berkah globalisasi Indonesia sebaiknya memiliki sistem disertai pengembangan SDM sejak sekarang. Sejak bangku sekolah menengah para pelajar diperkenalkan dengan bidang-bidang andalan outsourcing global. Biasanya para mahasiswa yang belajar di perguruan tinggi luar negeri lebih adaptif dan menguasai potensi outsourcing perusahaan multinasional.
Presiden Joko Widodo memberi perhatian serius terhadap pengusaha alih daya atau outsourcing. Pemerintah menyiapkan program untuk mengembangkan lebih luas industri jasa, termasuk outsourcing sebagai salah satu program unggulan tahun ini. Pelaku usaha outsourcing hendaknya menjalankan bisnis sesuai dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan. Saatnya Asosiasi Bisnis Alih Daya Indonesia membenahi standar kualifikasi perusahaan. Mereka perlu membentuk regulasi persyaratan pengguna perusahaan outsourcing, membuat regulasi standarisasi manajemen fee, dan teknis lainnya.
Dengan demikian, sistem outsourcing Indonesia berkeadilan bagi karyawan maupun perusahaan demi meningkatkan kesejahteraan bersama. Pemerintah bersama asosiasi dan organisasi buruh perlu membentuk program cepat untuk mengembangkan business process outsourcing agar tidak kalah dari tetangga seperti Filipina. Negara ini mampu mendapat peluang usaha tersebut hingga mencapai 25 miliar dollar AS setahun.
Publikasi UNDP terkait tingkat kesejahteraan buruh di negeri ini ternyata lebih rendah dari kesejahteraan buruh negara tetangga. Hal itu dilihat dari aspek pendapatan perkapita berdasarkan Purchasing Power Parity atau kemampuan daya beli dan GNP. Dinamika perburuhan Tanah air kini terfragmentasi ke dalam bentuk pragmatis. Aksi buruh setelah gerakan reformasi daya dobraknya makin kuat, tetapi kurang efektif ditilik dari aspek tujuan kesejahteraan bersama.
Banyak yang tidak sadar bahwa aksi atau demonstrasi buruh
dengan jumlah massa banyak memakan biaya sangat besar. Biaya itu mestinya bisa
untuk menambah dana pembangunan perumahan buruh dan pemberian beasiswa
anak-anak.
Penulis Lulusan North Carolina State University
Tidak ada komentar:
Posting Komentar