Partai politik telah menyerahkan
daftar calon legislatif (caleg) Pemilu 2019 untuk diverifikasi Komisi Pemilihan
Umum (KPU). Seperti sebelumnya postur caleg yang disodorkan banyak dari
kalangan kader partai, artis, pengusaha dan mantan atlet. Parpol mengandalkan
sederet selebritis yang gaya hidupnya super mewah untuk mendulang suara rakyat.
Terjadi juga transaksi atau transfer artis antarpaprpol dengan nilai cukup
tinggi.
Melihat postur caleg yang
disodorkan oleh parpol, terlihat postur legislatif mendatang mengalami kelangkaan legislator cendekiawan. Publik
menyambut dingin daftar caleg dan
merisaukan integritas serta kompetensi para legistrator yang disodorkan parpol.
Kerisauan publik itu pada pemilu legislatif yang lalu juga dinyatakan Dewan
Kehormatan Penyelenggara Pemilu ( DKPP).
Proses penyusunan caleg belum
sesuai dengan harapan rakyat luas. Padahal sosok legistrator yang didambakan
rakyat sangat kontradiktif dengan kepentingan pengurus parpol. Masih kuat dalam
persepsi publik, moralitas, integritas
dan kapasitas legistrator masih jauh dari harapan. Moralitas dan integritas
mereka hingga periode legislatif saat ini masih sarat dengan perilaku korup. Dengan
mata telanjang publik melihat aktifitas dan gaya hidup para anggota DPR/DPRD
masih penuh kemewahan dan boros.
Kompetensi dan kinerja anggota
legislatif yang belum menggembirakan mestinya menjadi perhatian parpol. Sesuai dengan
harapan rakyat, parpol seharunya menekankan pentingnya sosok legislator
cendekiawan nan bersahaja. Mereka adalah figur politisi cendekia yang
artikulatif dan visioner pada zamannya. Pada kapasitas diri mereka telah
bersenyawa antara aktivis politik dan kecendekiawanan secara utuh.
Sejarah negara ini banyak
menghadirkan sosok politisi cendekiawan yang kehidupan pribadinya bersahaja
atau hidupnya penuh keserhanaan, namun kiprah dan pemikirannya luar biasa. Mereka
adalah politisi paripurna yang telah hadir dan menghiasi sejarah bangsanya. Kini
rakyat merindukan sosoknya pada saat ini tengah mengalami kekeringan politisi
cendekiawan.
Rakyat merindukan politisi
cendekiawan seperti Agus Salim, Mohammad Natsir, atau Kasman Singodimedjo.
Mereka itu sosok sederhana yang sikapnya lembut dan toleran, namun dia adalah
cendekiawan dan organisator yang hebat.
Legislator pertama Indonesia
yakni Kasman Singodimedjo menyatakan bahwa memimpin adalah menderita, sesuai
dengan pepatah Belanda ”leiden is lijden”.
Pepatah itu menjadi suatu keharusan jalan pengabdian, bagi mereka yang memahami
bahwa kebahagiaan rakyat lebih utama ketimbang pemimpinnya. Ini sangat tepat
jika kita meneropong sepak terjang para pahlawan bangsa yang notabene
sebenarnya mereka itu adalah politisi cendekiawan.
Seharusnya parpol menjunjung
kewajiban sejarah untuk mencetak dan menemukan kembali sosok-sosok politisi
cendekiawan. Meminjam istilah Presiden ketiga RI BJ Habibie, sosok tersebut
pada saat ini adalah SDM bangsa yang terbarukan dan unggul dalam profesinya. Biasanya
kader pembangunan itu bukan aktivis ataupun pengurus parpol. Karena waktunya
banyak tercurah untuk mengembangkan profesi dan memupuk karyanya. Mereka itu
adalah sosok-sosok professional non partai, tetapi memiliki visi, kompetensi
dan karya inovasi yang sangat berguna bagi pembangunan.
Keniscayaan bagi parpol untuk
memberikan porsi pencalegan kepada kader pembangunan. Namun, pengurus parpol
kurang berminat menarik kader pembangunan agar mereka mau duduk di lembaga
legislatif.
Kinerja yang terukur
Tak bisa dimungkiri, rakyat masih prihatin karena hingga kini negeri ini belum memiliki postur lembaga legislatif yang memiliki integritas dan bobot profesionalitas yang memadai. Tahapan pemilu legislatif semakin tidak kondusif untuk menjaring anak-anak intelektual bangsa agar bersedia menjadi wakil rakyat. Spektrum tahapan pemilu tahun 2019 terlalu luas karena pertama kalinya pemilu legislatif dan presiden dilaksanakan dalam waktu bersamaan.
Tak bisa dimungkiri, rakyat masih prihatin karena hingga kini negeri ini belum memiliki postur lembaga legislatif yang memiliki integritas dan bobot profesionalitas yang memadai. Tahapan pemilu legislatif semakin tidak kondusif untuk menjaring anak-anak intelektual bangsa agar bersedia menjadi wakil rakyat. Spektrum tahapan pemilu tahun 2019 terlalu luas karena pertama kalinya pemilu legislatif dan presiden dilaksanakan dalam waktu bersamaan.
Masyarakat banyak lah yang kuatir terkait dengan kecakapan,
kompetensi dan kejujuran para legislator. Selama ini banyak legislator yang
kurang memiliki kecakapan intelektual dalam membedah berbagai persoalan
nasional dan daerah. Padahal mereka diberi gaji besar dan fasilitas mewah.
Kecakapan intelektual
legislator juga menyangkut manajemen aspirasi yang terkelola secara
manual maupun digital. Hingga saat ini
sistem informasi lembaga legislatif di Indonesia masih belum efektif. Buruknya sistem
informasi legislatif yang ada sekarang ini juga menghambat peningkatan
profesionalitas. Akibatnya, proses check
and balance tidak berjalan baik. Mestinya, sistem informasi legislatif bisa
membantu para politisi untuk mengelola aspirasi. Juga merupakan sarana
komunikasi yang sangat efektif dalam tugas legislasi seperti proses penyusunan
undang –undang atau peraturan daerah, menyusun APBN/APBD dan lainnya.
Di masa mendatang publik terus menuntut adanya ukuran
kinerja dan bobot pekerjaan bagi legislator yang tertata dan terukur dengan
baik. Selama ini kinerja legislator tidak pernah terukur secara benar.
Di negara maju seperti Amerika Serikat dan Jerman, sudah
dirumuskan standar kinerja legislator secara rinci. Perlu dicontoh Amerika
Serikat yang sudah ada standarisasi profesi pekerja politik dan ukuran kinerja
bagi legislator yang setiap tahun selalu diperbaharui sesuai dengan
perkembangan zaman.
Disana juga terdapat lembaga yang melakukan penilaian, yakni
National Standards for Civics and Government. Lembaga tersebut mengukur
kemampuan legislator dalam menjalankan tugasnya. Persaingan sengit untuk
menggapai kursi legislatif dan besarnya ongkos politik yang harus dikeluarkan
selama kampanye menyebabkan ketulusan dalam berpolitik sekarang ini semakin
menipis. Pesta demokrasi berlangsung dengan biaya yang amat tinggi. Baik biaya
yang harus ditanggung oleh negara, parpol, maupun yang dipikul individu
politisi.
Akibatnya legislator cendekiawan semakin sulit terwujud. Risikonya,
kedepan masih banyak legislator yang berkinerja buruk. Karena tingkatan problem
solving para legislator juga masih rendah, utamanya yang menyangkut thinking challenge, yakni kemampuan
berpikir kreatif dan inovatif untuk memecahkan masalah pembangunan.
*Bimo Joga Sasongko, Pendiri Euro Management Indonesia.
*Bimo Joga Sasongko, Pendiri Euro Management Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar