Suka Duka Ramadhan Sambil Kuliah di AS dan Eropa
REPUBLIKA.CO.ID,
JAKARTA -- Pengalaman berpuasa saat berkuliah di negeri orang telah
memberikan kesan berbeda bagi CEO Euro Management, Bimo Sasongko. Pemimpin
lembaga pendidikan bahasa dan misi beasiswa ke luar negeri bagi pelajar ini,
merupakan salah satu penerima beasiswa Habibie pada 1991.
Sebagai
penerima beasiswa Habibie, Bimo mendapatkan kesempatan berkuliah di North
Carolina State University, Amerika Serikat pada 1991 sampai 1996. Dan program
magister di Jerman pada 2001 hingga 2002. Salah satu yang paling berkesan
adalah ketika menjalankan ibadah puasa Ramadhan di AS dan Jerman.
Berbeda
dengan di Indonesia, suasana Ramadhan di AS tentu tidak terlalu terasa seperti
di tanah air. Hal itu juga ia rasakan ketika di Jerman. Ketika di AS pada era
1990an awal, publikasi media terhadap Islam masih sangat minim sehingga
perhatian publik AS terhadap Ramadhan saat itu juga masih minim.
Dari
segi waktu, AS dan Jerman tidak berbeda jauh lama waktu berpuasa dengan
Indonesia. Namun yang membedakan ketika itu waktu-waktu ia kuliah dan berpuasa
masih memasuki musim dingin atau bersuhu dingin.
Namun
Bimo merasakan kehangatan bulan Ramadhan, ketika berkumpul berbuka puasa
bersama mahasiswa muslim dari seluruh dunia di masjid sekitar kampus Nort
Carolina State University. “Di kampus saya saat itu sudah ada masjidnya tapi
dikelola oleh warga Timur Tengah,” ujar Bimo yang juga Sekjen Ikatan Alumni
Program Habibie ini.
Sebagai
Muslim Asia Tenggara, Muslim Indonesia disambut baik bergabung dalam berbagai
kegiatan acara. Bahkan ia pun sempat dipercaya menjadi pengurus di Muslim
Association di sana. “Jadi saya sempat ikut gabung untuk acara berbuka,
menyiapkan makanan dan acara keislaman lain, diluar kesibukan kuliah,” kata
dia.
Kesan
yang mendalam saat itu, sebagai sesama Muslim berbuka, makan berjejer dengan
suhu udara yang masih cukup dingin. Namun berpuasa sambil berkuliah di luar
negeri bukan tanpa hambatan. Saat di AS, terkadang Bimo harus melewatkan
jam-jam berbuka dan shalat maghrib justru di kelas.
Karena
kampus tidak peduli dengan aktivitas keagamaan. Sampai akhirnya ia menyempatkan
keluar membatalkan puasa dengan air mineral, dan masuk lagi ke kelas. Sehingga
makan dan berbuka puasa dilakukan setelah kelas. Parahnya bila kelas berlanjut,
memaksanya membawa sedikit snack atau coklat untuk pengganjal setelah waktu
berbuka.
“Itu
bahkan bisa terjadi berkali-kali,” ujar dia. Terlebih ketika di North Carolina
saat itu, di bulan Ramadhan saat Februari adalah puncak-puncaknya ujian. Karena
jelang Mei dan Juni sudah masuk waktu libur jelang musim panas.
Hal
itu juga ia rasakan ketika beasiswa program magister di Jerman pada 2001 hingga
2002. Saat itu bulan puasa terjadi di November pas saat musim dingin. Di tengah
suasana dingin, kondisi tubuh mudah lapar. Kejadian yang sama sering ia alami,
saat Ramadhan itu jam-jamnya aktif kuliah sehingga kadang buka puasa dilakukan
di kelas.
“Namun
enaknya buka puasa di sana hampir semua gratis,” kata dia. Bahkan Bimo sempat
tidak pernah mengeluarkan uang untuk membeli takjil berbuka. Sebab buka
puasanya di masjid. dan pulang dari masjid mendapatkan bungkusan makanan untuk
sahur.
Kalau
akhirnya berbuka di luar masjid, jika membeli makanan di toko Islam untuk berbuka,
seringkali penjual menggratiskan makanan tersebut. “Seperti kita beli
kebab di jam maghrib waktu berbuka, penjual toko yang muslim tahu kita mau
berbuka, maka kita mendapat gratis,” ujar dia.
Jadi
hampir satu bulan mahasiswa Indonesia di sana itu bisa menjaga pengeluaran.
Namun bedanya saat saya di Jerman minim kegiatan Islam karena aktivitas full
kuliah. Bahkan shalat taraweh pun dijalankan sendiri.
Sesama
mahasiswa Indonesia di Jerman, kita bergabung semua pada waktu buka rata-rata.
Enaknya itu, waktu berkumpul bersama. Terkadang dalam satu kota cuma ada 50an
orang, tapi jarang bertemu. Momentum puasa dan berbuka bersama, justru bisa
mempertemukan mahasiswa muslim Indonesia setiap hari. Terkadang ada beberapa
kegiatan atas undangan keluarga-keluarga Indonesia yang menetap di sana.
Nah
pelajaran selama studi di AS dan Eropa itu juga yang ia ambil ketika memimpin
lembaga studi bahasa dan misi beasiswa ke luar negeri, Euro Management saat
ini. Bimo berharap generasi muda muslim Indonesia bisa semakin maju, mampu
berbahasa asing hingga mengambil studi ke luar negeri.
Inilah
tujuan lembaga Euro Management yang ia pimpin, mencetak satu juta Habibie,
dengan mendorong pelajar mendapatkan beasiswa ke luar negeri. “Saat ini sudah
hampir 2000 orang siswa yang dikirim Euro Management ke luar negeri. Dan
mayoritas mereka adalah muslim,” kata dia.
Kenapa,
karena sebagai negara muslim terbesar sudah menjadi tanggung jawab meningkatkan
harkat martabat generasi muda muslim melalui beasiswa luar negeri. Dan tentu
sebelum mereka berangkat, mereka perlu motivasi dan member pesan ke mereka
sebagai wakil bangsa Indonesia dan umat Islam di Indonesia.
Sehingga
dengan kondisi gambaran Islam saat ini, tercermin Islam khususnya di Indonesia
yang lebih ramah, santun dan toleran. Ini menjadi beban berat bagi mahasiswa
muslim Indonesia sekarang bila dibandingkan pada era 90 dahulu.
Sekarang
jati diri seorang muslim di AS dan Amerika itu benar-benar ditest. Kalau
pelajar Indonesia memiliki karakter baik, motivasi tinggi, santu dan toleran,
itu menjadi gambaran Indonesia di luar negeri. Karena banyak orang sekarang
yang akhirnya malu-malu menunjukkan jatidirinya sebagai muslim di negara barat,
lantaran gambaran buruk terhadap Islam selama ini.
Karena
itu, ia ingin pelajar-pelajar muslim Indonesia di luar negeri mereka tetap
bangga dengan jatidiri keislaman mereka. Sekaligus bangga dengan keindonesiaan
yang memiliki karakter lebih toleran dan santu ke semua orang. Sehingga bisa
merubah paradigma bahwa Islam itu bukan kekerasan dan kejam seperti gambaran
barat selama ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar