Pemerintah membuka pintu lebar masuknya perguruan tinggi
asing (PTA). Langkah pemerintah itu menimbulkan polemik hebat. Pro dan kontra
mencuat tanpa ruang lingkup yang jelas. Itu terjadi karena tujuan pemerintah
membuka cabang PTA belum terdefinisi detail.
Pemerintah baru sebatas menyatakan, PTA hanya akan membuka program studi
yang terkait science, technology, engineering, and mathematics(STEM).
Itu pun belum disertai karakteristik STEM seperti apa yang dibutuhkan.
Juga belum jelas seperti apa keterkaitan prodi PTA dengan kebutuhan
pembangunan nasional saat ini dan mendatang. Mestinya, prodi STEM yang akan
menjadi fokus PTA terkait dengan penguasaan iptek dalam dimensi systems,
process, dan product.
Dengan demikian, prodi yang dijalankan tidak hanya mencetak SDM yang hanya
mengusaai kulitnya teknologi saat ini, tetapi bisa menguasai kuning telurnya
teknologi terkini. Jadi, prodi tersebut bisa langsung kompatibel dengan
peningkatan kapasitas inovasi nasional yang pada saat ini telah tertinggal.
Penguasaan teknologi perlu ruang imajinasi yang ditunjang laboratorium
yang sesuai dengan perkembangan zaman. Seharusnya, misi prodi STEM mampu
meningkatkan daya kreatif bangsa untuk menciptakan bermacam inovasi. Jika
Indonesia ingin menjadi bangsa yang unggul, menurut Steve Jobs, harus "be
hungry and foolish in mastering technology".
Menurut BJ Habibie, penguasaan STEM bisa melalui beberapa jalur. Jalur
pertama adalah akuisisi teknologi melalui proyek transformasi berupa program bertahap
di lapangan kerja. Jalur ini akan melahirkan insinyur profesional yang lahir
sebagai produk pembudayaan dalam lapangan kerja. Ujiannya bukan berupa tes
tulisan, melainkan desain dan produk nyata.
Jalur kedua adalah lewat pendidikan, untuk kemudian menguasai teknologi
melalui sekolah menengah kejuruan (SMK), universitas, S-1, S-2, dan S-3 yang
didukung dengan laboratorium dan bengkel inovasi. Dua jalur tersebut, menurut
BJ Habibie, memiliki peran strategis untuk membangun SDM terbarukan, manusia bersumber
daya iptek secara berkesinambungan. Sesuai dengan filosofi sekumpulan Burung
Bangau yang terbang bersama menembus rintangan alam.
Mereka harus terbang maju bersama dalam kondisi alam seperti apa pun.
Filosofi itu analog dengan akuisisi untuk menguasai teknologi mesti secara
berjenjang dan maju bersama berkesinambungan. Filosofi di atas harus menjadi
pedoman jika ingin mencetak SDM bidang STEM lewat perguruan tinggi.
Sebetulnya, ada alternatif atau pilihan yang lain yang lebih praktis dan
efektif, yakni pengiriman besar-besaran pemuda Indonesia langsung kuliah di
luar negeri (LN) pada perguruan tinggi terkemuka yang diawali dengan program
supermatrikulasi dan pelatihan bahasa asing.
Kemudian, dilakukan tes masuk perguruan tinggi LN bertempat di Jakarta.
Alternatif di atas membutuhkan metode khusus yang dirumuskan oleh mereka yang
pernah sukses belajar di LN.
Mereka juga perlu memahami bahwa tradisi ilmiah dan keunggulan ristek di
universitas terkemuka dunia yang sudah tumbuh ratusan tahun, tidak mungkin
dicangkok atau dipindah secara instan ke Indonesia. Karena, hal itu sudah
berakar kuat dengan budaya bangsanya. Juga, sudah bersenyawa dengan karakter
dan etos kerja bangsa maju itu.
Pemerintah perlu mengkaji secara teliti terkait pilihan warga negara apakah
mereka sebaiknya kuliah langsung di LN atau cukup masuk PTA yang beroperasi di
Indonesia.
Saatnya pemerintah membantu masyarakat membuat perbandingan yang akurat
tentang prospek dan biaya untuk dua pilihan di atas. Bisa jadi biaya kuliah PTA
justru lebih mahal ketimbang kuliah langsung ke LN.
Apalagi, beberapa PT terkemuka di Eropa hingga kini telah membebaskan
biaya kuliah bagi mahasiswanya. Mereka hanya mengeluarkan biaya hidup selama
belajar.
Pemerintah menyatakan tidak akan mengontrol atau membatasi besaran atau
tarif biaya kuliah yang dipasang PTA, berbeda dengan besaran uang kuliah di
PTN, yang tetap ada jatah insentif 20 persen untuk mahasiswa yang kurang mampu.
Dengan demikian, besaran uang kuliah PTA nuansanya sangat liberal dan
tentunya sangat mahal. Polemik beroperasinya PTA di Indonesia sebaiknya
disertai dengan solusi alternatif yang bisa menjadi pertimbangan bagi
masyarakat untuk melakukan pilihan terbaik.
Perlu pengkajian yang mendalam antara memasukkan pemuda ke PTA dengan
biaya yang lebih mahal dari PTS yang sudah eksis ataukah lebih baik mendorong
pemuda Indonesia langsung kuliah di LN dengan biaya yang relatif sama dengan
kalau mereka masuk PTA di dalam negeri.
Jika mereka langsung belajar di LN, lebih banyak nilai tambah dan lebih
adaptif dengan kemajuan zaman. Karena, para lulusan SMA secara psikologis masih
sangat idealis dan mudah melakukan revolusi mental saat belajar ke luar negeri.
Begitu pun dari segi rentang usia, lulusan SMA memiliki waktu yang cukup
untuk mendalami iptek secara komprehensif. Keunggulan untuk mencetak SDM unggul
dengan mengirimkan ke LN karena sistem pendidikan di sana yang menekankan
sistem lab based education (LBE).
Sistem LBE adalah pendidikan yang dikaitkan dengan proyek riset atau tugas
akhir di laboratorium canggih. LBE tidak maungkin bisa dicabut atau dipindahkan
secara instan oleh PTA yang beroperasi di Indonesia. Karena, sistem LBE ini
juga terkait akar budaya ilmiah dan mentalitas atau karakter yang melekat pada
sebuah bangsa maju.
Pengiriman mahasiswa ke luar negeri lebih menjangkau tantangan masa depan.
Hal ini searah dengan paradigma global brain circulation, seperti yang
dikemukan oleh Paul Krugman, penerima hadiah Nobel bidang ekonomi.
Mereka yang belajar di luar negeri sejak lulus SMA lebih mudah menjadi
sosok versatilis. Sosok itu telah menjadikan kompetensi dan pengalaman sewaktu
kuliah dan magang kerja di LN sebagai modal penting untuk memecahkan berbagai
persoalan bangsa.
Mereka juga mampu menyerap nilai dan karakter unggul sebuah bangsa maju
serta memahami transformasi sosial dan adanya disrupsi teknologi yang tentunya
hadir lebih dulu di negara maju ketimbang di Tanah Air.
sumber :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar