Oleh Bimo Joga
Sasongko *)
Presiden Joko Widodo meresmikan pembukaan acara Indonesia
Industrial Summit 2018 di Jakarta Convention Center (JCC). Acara bertema
"Implementasi Industri 4.0 dalam rangka Transformasi Lanskap Industri
Nasional Menuju Top 10 Ekonomi Dunia 2030".
Bersamaan dengan itu Presiden Jokowi juga meluncurkan Making
Indonesia 4.0 sebagai peta jalan dan strategi Indonesia memasuki era
manufakturing digital.
Penerapan Industri 4.0 dipelopori oleh negara Jerman yang
sejak 2015 telah merampungkan kerangka kerja yang akan diterapkan pemerintah
mulai 2020. Ratusan perusahaan di Jerman telah terlibat dalam program nasional
itu dengan total investasi mencapai 140 miliar Euro.
Jenis industri yang sudah siap menerapkan Industri 4.0 ini
adalah industri manufaktur, otomotif, dan industri teknologi informasi dan
komunikasi.
Ekosistem Industri 4.0 ditandai dengan terwujudnya pabrik
cerdas. Ada beberapa persyaratan untuk mewujudkan skenario Industri 4.0. Antara
lain, kemampuan dalam hal Interoperabilitas atau kesesuaian. Yakni Kemampuan
mesin, perangkat sensor, dan tenaga kerja untuk berhubungan dan berkomunikasi
satu sama lain lewat Internet of Thing (IoT).
Kemudian juga kemampuan untuk menciptakan salinan dunia
fisik secara virtual dengan memperkaya model manufakturing digital dengan data
sensor. Prinsip ini membutuhkan pengumpulan dan pengolahan data dari sejumlah
sensor untuk menghasilkan informasi untuk pengambil keputusan.
Merujuk World Economic Forum dalam laporannya yang berjudul
:"The Next Economic Growth Engine Scaling Fourth Industrial Revolution
Technologies in Production". Kita bisa memprediksi bahwa industri
manufakturing global akan totalitas mewujudkan era Industri 4.0 pada 2025.
Making Indonesia 4.0 pada saat ini masih terkendala oleh
indeks konektivitas yang masih rendah. Kondisi digital divide atau ketimpangan
digital di Indonesia timur dan barat menyebabkan peringkat Indonesia tergolong
rendah, yakni indeks konektivitas hanya 4,34. Hal ini berada di urutan 111 dari
176 negara yang disurvei oleh International Telecommunication Union (ITU).
Indeks pembangunan
TIK Indonesia masih kalah dibanding Singapura yang memiliki nilai indeks 8,05,
Malaysia 6,38, Brunei Darussalam 6,75, Filipina 4,67, dan Vietnam 4,43. Dengan
kondisi indeks konektivitas seperti diatas sulit bagi Indonesia untuk
menyongsong era Industri 4.0.
Indonesia harus
mempersiapkan SDM Iptek dan pekerja sektor industri untuk menghadapi era
Industri 4.0 dalam jumlah yang memadai. SDM tersebut untuk menguasai teknologi
pendukung, yakni bidang teknologi Internet of Things (IoT), Cybersecurity,
Cloud Computing, Additive Manufacturing, Augmented Reality, Big Data,
Autonomous Robots, Simulation, dan platform integration.
Bagi kaum pekerja era Industri 4.0 bisa berdampak negatif.
Karena mereduksi beberapa bidang profesi yang pada akhirnya memangkas jumlah
tenaga kerja. Namun begitu kehadiran era itu tidak sepenuhnya berdampak
negatif. Karena akan melahirkan jenis profesi yang baru.
Dalam era tersebut akan terjadi perang untuk memperebutkan
SDM berbakat dan memiliki kompetensi yang tinggi. Perebutan itu dari tingkat
lokal hingga global. Dalam era ini sebagian besar tenaga kerja akan menjadi
pekerja kontrak atau outsourcing. Pola ketenagakerjaan seperti ini tidak bisa
lagi diatur dengan Undang-undang atau peraturan ketenagakerjaan yang ada
sekarang ini. Masalah jam kerja, bobot kerja dan hal-hal normatif pekerja sudah
tidak relevan lagi dengan peraturan yang berlaku selama ini.
Dampak ketenagakerjaan di era Industri 4.0 mulai dirasakan
oleh para pekerja di Jerman. Seperti dirasakan oleh pekerja industri
manufakturing logam, mesin dan elektronika di Jerman yang menyatakan bahwa
industri 4.0 telah menjadikan proses produksi menuntut adanya smart factory dan
smart products.
Hal tersebut menimbulkan masalah baru yakni tuntutan
keterampilan yanag lebih tinggi dan soal jaminan sosial dan kecocokan model
kerja dengan hukum yang berlaku. Hampir semua organisasi pekerja di Eropa
menyatakan bahwa datangnya era diatas menimbulkan lebih banyak hubungan kerja
yanag bersifat freelance dan alih daya.
Menyongsong era Industri 4.0 perlu mentransformasikan
keterampilan tenaga kerja yang terkait jenis teknologi yang menjadi pilar
utama. Hal itu juga sebagai solusi untuk mengatasi pertumbuhan angkatan kerja
di Indonesia. Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan jumlah angkatan kerja
Indonesia pada 2017 sebanyak 131,55 juta.
Sebagian besar atau
sekitar 80 persen di antaranya adalah tenaga kerja yang kurang terlatih.
Penataan kompetensi ketenagakerjaan sebaiknya memproyeksikan periode bonus
demografi hingga 2030. Bonus demografi ditandai dengan jumlah penduduk usia
produktif (15-64 tahun) yang mencapai 70 persen terhadap total angkatan kerja.
Jangan sampai bonus demografi justru menjelma menjadi bencana karena negara
gagal mencetak angkatan kerja yang sesuai dengan kebutuhan indstri dan dunia
usaha.
Diperkirakan mulai 2020 mulai terjadi gelombang pasang
hingga tsunami yang mengganggu lapangan pekerjaan warga dunia. Jika nanti robot
dan artificial intelligence sudah masuk ke dalam industri secara masal, perlu
dipersiapkan sematang mungkin tenaga kerja.
Prediksi Mc-Kinsey Global Institute (MGI) menyatakan bahwa
Indonesia bisa masuk peringkat 7 ekonomi dunia pada tahun 2030 jika mampu
mencetak jutaan tenaga kerja yang sesuai dengan kebutuhan zaman. Celaknya struktur ketenagakerjaan di Tanah
Air hingga saat ini masih didominasi oleh pekerja dengan latar belakang lulusan
SD dan SMP.
Untuk menjadi 10 besar ekononi dunia, Indonesia harus bisa
mencetak sekitar 113 juta tenaga kerja terampil dan ahli supaya bisa menghadapi
era Industri 4.0 dengan baik. Seperti skenario yang dibuat oleh MGI. Para
pekerja itu harus mampu meningkatkan produktivitas secara signifikan di
industri manufaktur yang berbasis Industri 4.0. Jika pemerintah gagal mencetak
ratusan juta tenaga kerja diatas, maka mimpi menjadi tujuh besar ekonomi dunia
bisa bubar.
Skenario Making Indonesia 4.0 dengan melihat kondisi terkini
memang sangat sulit terwujud. Apalagi kekuatan ekonomi Indonesia masih ditopang
oleh faktor konsumsi masyarakat, bukan sektor manufakturing yang tangguh. Modal
Indonesia saat ini untuk memasuki era itu hanyalah faktor bertambahnya konsumen
domestik yang jumlahnya sekitar 90 juta orang hingga tahun 2030.
*) Pendiri Euro Management Indonesia, Ketua Umum IABIE.
Alamat :
c/o Euro Management Indonesia
Gedung Ir.HM. Suseno Jl.R.P.Soeroso No.6, Menteng Jakarta
Pusat 10330.
Nomor HP : 0811 9698 421
Nomor NPWP :
08.779.070.5-003.000
Biodata Singkat :
BIMO JOGA
SASONGKO, BSAE, MSEIE, MBA : Lulus SMAN 3 Bandung tahun 1990. Berhasil
memperoleh beasiswa dari Menristek BJ Habibie untuk kuliah di teknik
penerbangan atau aerospace engineering, di North Carolina State University,
Ralegh, North Carolina, USA. dari tahun 1991 – 1995. Kemudian melanjutkan
program S2 di Amerika Serikat mengambil program master di jurusan industrial
engineering atau teknik industri di Arizona State University. Tahun 1996
penulis kembali ke Indonesia dan berkarir di BPPT.
Pada 2001
melanjutkan studi ke FH. Pforzheim Jerman dengan mengambil program MBA dan
lulus 2003, kemudian bekerja kembali di BPPT sambil mendirikan Euro Management
Indonesia. Saat ini penulis menjabat sebagai Ketua Umum IABIE (Ikatan Alumni
Program Habibie) yaitu ikatan alumni yang terdiri dari para lulusan SMA terbaik
dari seluruh Indonesia yang berjumlah sekitar 1500 orang dari tahun 1982 – 1996
yang menerima bea siswa untuk kuliah di luar negeri lewat program BJ.Habibie.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar