Oleh Bimo Joga
Sasongko | Rabu, 8 Mei 2019 | 12:24
Pemerintahan mendatang perlu mewujudkan efektivitas
belanja negara. Salah satu yang krusial adalah belanja barang ke luar negeri.
Sebagai contoh adalah belanja alutsista TNI dan infrastruktur. Masalah belanja
barang ke luar negeri perlu segera diatasi dengan menata ulang sistem
pengelolaan imbal beli atau offset.
Sehingga bisa lebih bernilai tambah dan menguntungkan banyak entitas di dalam
negeri.
Pola imbal beli yang diterapkan oleh pemerintah mendatang
perlu ditata lebih rinci dengan mewajibkan eksportir negara mitra dagang untuk
membeli produk atau jasa dalam negeri. Apalagi pada saat ini ada perlambatan
ekspor nasional, sehingga skema imbal beli ini bisa dipergunakan sebagai salah
satu instrumen untuk penetrasi produk ekspor. Selain itu, hal ini bisa menjadi
salah satu instrumen untuk mengatasi hambatan dan kendala ekspor.
Penataan sistem imbal beli yang cukup terinci terlihat
pada imbal beli pengadaan 11 pesawat tempur Sukhoi SU-35 dari Rusia senilai US$
1,14 miliar dengan barter berbagai komoditas dari Indonesia yang akan diekspor
ke Rusia. Kedua negara menunjuk Rostec dan PT Perusahaan Perdagangan Indonesia
(PPI) sebagai pelaksana teknis imbal beli antara pesawat Sukhoi dan berbagai
komoditas dari Indonesia, seperti olahan karet, furnitur dan minyak kelapa
sawit serta turunannya tersebut. Komoditas dan produk yang diekspor mesti punya
nilai tambah yang tinggi.
Sehubungan dengan hal itu, saatnya merombak Peraturan
Menteri Perdagangan Nomor 44/MDAG/ PER/6/2016 tentang Ketentuan Imbal Beli
Untuk Pengadaan Barang Pemerintah Asal Impor karena sudah tidak sesuai lagi
dengan kepentingan nasional.
Skema imbal beli merupakan suatu cara pembayaran barang
yang mewajibkan pemasok luar negeri untuk membeli dan atau memasarkan barang
tertentu dari Indonesia sebagai pembayaran atas seluruh atau nilai sebagian
barang dari pemasok luar negeri.
Selain imbal beli, skema lain yang bisa dipergunakan oleh
pemerintah antara lain offset atau
pembelian barang di mana pemasok luar negeri menyetujui untuk melakukan
investasi kerja sama produksi dan alih teknologi.
Pemerintahan mendatang perlu membentuk lembaga lintas
kementerian untuk mengelola sistem imbal beli utamanya offset terkait dengan berbagai macam belanja ke luar negeri maupun
pembangunan infrastruktur. Terutama bagi pembelian dengan jumlah anggaran yang
besar, seperti pembelian pesawat terbang untuk penerbangan sipil maupun
keperluan militer.
Definisi offset secara
umum dapat diartikan sebagai mekanisme timbal balik. Kalau kita membeli pesawat
terbang senilai “X” dari negara lain, maka kita meminta timbal balik senilai
“Y” dari nilai pembelian tersebut. Ketentuan, jenis dan nilai Y tersebut
didetailkan oleh lembaga pengelola offset
di negeri ini.
Bisa saja jenis offset
berupa alih teknologi lewat pengiriman sumber daya manusia (SDM) untuk
belajar keluar negeri maupun produksi bersama terkait barang yang dibeli.
Lembaga offset sebaiknya
diisi oleh para ahli yang mengerti tentang alih teknologi, konsultan pendidikan
internasional, serta ahli tentang bisnis dan nilai tambah industri. Lembaga offset harus mengerti betul tujuan
ekonomis dari offset yang bisa
memperluas lapangan kerja dan mengoptimalkan devisa ke luar negeri.
Selanjutnya, lembaga offset
juga harus memahami betul tujuan alih teknologi di berbagai tingkatan. Idealnya
lembaga offset dibentuk oleh Presiden
dan harus mampu berkoordinasi lintas kementerian. Sehingga belanja kementerian
dan lembaga negara lain ke luar negeri dengan jumlah nominal tertentu, misalnya
senilai di atas Rp 300 miliar, harus ditempuh dengan mekanisme offset yang sebaikbaiknya. Begitu juga
ada ketentuan offset tersendiri bagi
perusahaan patungan swasta dan pemerintah, atau swasta murni, bagaimana
pemberlakuan offset yang ideal.
Lembaga offset
harus mampu menjalankan fungsi strategisnya yakni inventarisasi potensi yang
bisa dikembangkan terkait offset.
Kemudian memiliki database yang akurat terkait perusahaanperusahaan dalam
negeri yang mampu menerima offset.
Kemudian melakukan monitoring dan pengawasan terhadap pelaksanaan offset serta mengatasi jika ada hambatan
di lapangan.
Penerapan sistem imbal beli menentukan ekonomi pertahanan
suatu bangsa. Masalah yang menghambat penguatan pertahanan negara seperti
pengadaan alutsista TNI pada prinsipmya disebabkan adanya distorsi ekonomi
pertahanan. Hambatan tersebut perlu segera diatasi dengan memperbarui cetak
biru ekononi pertahanan, mengingat geopolitik global terus berubah.
Menurut Britannica
Encyclopedia, ekonomi pertahanan adalah manajemen ekonomi nasional yang
terkait dengan dampak ekonomi dari belanja militer. Implikasi yang terkait
dengan ekonomi per tahanan antara lain tingkat belanja pertahanan, dampak
pengeluaran pertahanan terhadap produk dan lapangan kerja di dalam dan luar
negeri, pengaruh belanja pertahanan dengan perubahan teknologi, serta efek
stabilitas nasional dan global.
Adanya cetak biru ekonomi pertahanan yang sesuai dengan
kondisi terkini sangat membantu industrialisasi bangsa. Menghadapi persaingan
global yang makin sengit serta ancaman perang terbuka yang berlatar perebutan
sumber daya alam (SDA) perlu konsep ekonomi pertahanan yang berbasis industri
alutsista dalam negeri. Industri alutsista ini tidak sekadar merakit bersama
dengan negara lain yang lebih maju. Harus ada nilai tambah yang riil, disertai
dengan penguasaan teknologi dan proses industri oleh SDM lokal.
Oleh karena itu, dibutuhkan SDM yang menguasai teknologi
pertahanan untuk menerapkan kemandirian industri pertahanan di Indonesia.
Mereka mesti memiliki kapasitas dan kapabilitas tinggi, sehingga mampu
mendukung tercapainya kemajuan teknologi alat peralatan pertahanan dan keamanan
sesuai dengan perkembangan zaman.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar