Sistem Kesempatan Kerja dan Bonus Demografi
Oleh : Bimo Joga
Sasongko
Langkah
Kementerian Ketenagakerjaan yang menerapakan aplikasi online informasi
kesempatan kerja bertajuk "Sistem Informasi 10 Juta Kesempatan Kerja"
patut diapresiasi. Melalui sistem tersebut semua pihak terkait bisa
terintegrasi secara self assessment dan dapat berkontribusi dalam
mengelola kesempatan kerja secara sistemik.
Sistem
Informasi 10 Juta Kesempatan Kerja melibatkan 34 Kementerian, 34 Lembaga
pemeritnah Non Kementerian (LPNK), 121 Badan Usaha Milik Negara (BUMN), 15
pengelola kawasan industri, Kadin, Apindo, JICA, ILO dan jajaran internal
Kemenaker, untuk berkordinasi dengan seluruh pihak agar dapat bersama-sama
mendata dan mengelola kesempatan kerja yang tersedia.
Konstitusi
menyatakan bahwa negara bertanggung jawab menyediakan lapangan kerja yang layak
bagi seluruh rakyat. Pendataan dan bursa kesempatan kerja sebaiknya juga
terkait dengan antisipasi era bonus demografi yang akan terjadi di Indonesia.
Karena pada tahun 2020 hingga 2030 terjadi fenomena bonus demografi dimana usia
produktif penduduk Indonesia mencapai puncaknya. Bonus demografi harus
dipersiapkan dengan berbagai program pengembangan SDM bangsa.
Bonus
Demografi adalah struktur kependudukan yang potensial dan bisa didayagunakan
negara sebagai akibat dari besarnya proporsi penduduk produktif (rentang usia
15-64 tahun) dalam evolusi kependudukan yang dialaminya. Jumlah penduduk
Indonesia dari tahun ke tahun terus meningkat. Bahkan, Badan Perencanaan Pembangunan
Nasional (Bappenas) memproyeksikan bahwa jumlah penduduk Indonesia pada tahun
2035 mendatang mencapai 305,6 juta jiwa. Jumlah ini meningkat 28,6 persen dari
tahun 2010 yang sebesar 237,6 juta jiwa.
Peningkatan
jumlah penduduk pada 2035 menjadikan Indonesia negara kelima dengan jumlah
penduduk terbanyak di dunia. Idealnya, era tersebut menjadi momentum
kebangkitan nasional kedua. Peningkatan jumlah penduduk Indonesia tersebut
meningkatnya penduduk berusia produktif (usia 15 tahun sampai 65 tahun)
Pada 2010,
proporsi penduduk usia produktif sebesar 66,5 persen. Proporsi ini terus
meningkat mencapai 68,1 persen pada 2028-2031. Meningkatnya jumlah penduduk
usia produktif menyebabkan menurunnya angka ketergantungan, yaitu jumlah
penduduk usia tidak produktif yang ditanggung oleh 100 orang penduduk usia
produktif dari 50,5 persen pada tahun 2010 menjadi 46,9 persen pada periode
2028 sampai 2031. Namun, angka ketergantugan ini mulai naik kembali menjadi
47,3 persen pada 2035.
Kontribusi
penduduk berusia produktif menyebabkan peningkatan Produk Domestik Bruto (PDB)
Indonesia dengan catatan adanya peningkatan kompetensi tenaga kerja dan semakin
banyaknya SDM yang berkelas dunia. Antisipasi dan proyeksi yang tepat terhadap
bonus demografi akan mendorong pertumbuhan ekonomi negara yang signifikan.
Kondisi demikian terjadi di Tiongkok, Korea Selatan, Taiwan, Brasil,
Rusia, Thailand dan India. Khusus untuk Thailand, Tiongkok, Taiwan dan Korea
Selatan bonus demografi di sana berkontribusi dengan pertumbuhan ekonomi antara
10-15 persen.
Penyediaan data penciptaan 10 juta lapangan pekerjaan sebagai satu
program prioritas nasional yang berkelanjutan sebaiknya juga memperhatikan
faktor tenaga kerja asing dan tren bisnis dunia yang mengedepankan sistem outsourcing.
Kasus lima pekerja Tiongkok yang ditahan karena
melakukan kegiatan ilegal di Lanud Halim Perdana Kusuma merupakan indikasi
serbuan tenaga kerja asing. Selama ini banyak penyimpangan kompetensi TKA,
sehingga jenis-jenis pekerjaan teknisi rendahan saja dicaplok oleh para TKA
yang berasal dari Tiongkok. Hal itu terlihat pada megaproyek infrastruktur
ketenagalistrikan yakni PLTU. Hal serupa juga terjadi di proyek infrastruktur
kereta cepat, bendungan, telekomunikasi dan transportasi. Ironisnya, peran
tenaga kerja Indonesia (TKI) dalam berbagai proyek infrastruktur justru hanya
sebatas jenis pekerjaan kasar saja seperti sopir, satpam, cleaning service dan tenaga kasar non teknis lainnya.
Publik sangat kecewa dengan pemerintah, khususnya terhadap
Kementerian BUMN yang menyebabkan tukang ngebor tanah untuk proyek
infrastruktur saja harus didatangkan dari Tiongkok. Padahal banyak teknisi
dalam negeri yang mampu mengerjakan soil
test dan sebagainya.
Peningkatan jumlah tenaga TKA yang merambah berbagai sektor di
negeri ini membuat berbagai pihak menjadi gusar. Namun, kegusaran tersebut
hendaknya tidak memicu kekacauan tetapi harus diantisipasi secara fair dan langkah yang sistemik untuk
meningkatkan kompetensi dan daya saing tenaga kerja lokal.
Pemberlakuan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)
menyebabkan TKA ke Indonesia semakin meningkat. Data Badan Pusat Statistik
(BPS) menunjukan, selama Januari 2016 menyebutkan bahwa dari warga negara asing
(WNA) yang melakukan kunjungan khusus sebanyak 37.900 kunjungan, jumlah WNA
bekerja paruh waktu mencapai 25.200 kunjungan. Jumlah WNA yang bekerja paruh
waktu itu meningkat 69.3% dibandingkan Januari 2015.
Tak bisa dimungkiri bahwa perluasan lapangan kerja
yang sering dinyatakan oleh pemerintah merupakan jenis profesi yang rentan dan
kurang memiliki prospek dan daya saing gobal. Jika dikaji lebih mendalam lagi,
ternyata pala kepala daerah kurang mampu merencanakan portofolio profesi yang
harus dikembangkan di daerahnya. Dimana ada jenis profesi kerja yang sudah
usang dan jenuh terus diperhatikan. Sedangkan jenis-jenis profesi kerja yang
menjadi kebutuhan dunia pada masa depan belum dipersiapkan secara baik.
Perlu belajar dari India untuk mencetak angkatan
kerja yang berkualitas dunia dan banyak diminati oleh perusahaan multinasional.
Hingga kini tenaga kerja dari India paling banyak diminati dan dicari oleh
perusahaan-perusahaan multinasional. Seperti Mcrosoft yang memiliki lebih dari
2.000 karyawan yang berasal dari India. Begitu juga Intel Corp yang memiliki
1.200 karyawan berasal dari lulusan perguruan tinggi di India. Tenaga kerja
ahli dari India juga banyak mengisi tempat di perusahaan-perusahaan teknologi
di Korea Selatan ataupun Taiwan. Sekedar catatan, India merupakan negara yang
menghasilkan jumlah insinyur paling banyak di dunia melampaui Tiongkok.
Persoalan kesempatan kerja dan kondisi hubungan
industrial yang masih bermasalah dan kemorosotan portofolio kompetensi di
kalangan pekerja Indonesia harus segera diatasi. Pemerintahan Jokowi dituntut
lebih efektif dan sistemik mengatasinya.
Dibutuhkan segera postur aparatur sipil negara
(ASN) sektor ketenagakerjaan yang ahli dan kredibel terkait outsourcing. Postur ASN ketenagakerjaan
di daerah harus memiliki pengetahuan yang memadai terkait proses bisnis di
dunia sekarang ini yang telah mencapai tingkat efektivitas yang luar biasa.
Tingkatan itu bisa diraih salah satunya karena faktor outsourcing. Tak pelak lagi outsourcing
lintas negara pada saat ini bisa dianalogikan sebagai potensi ekonomi
globalisasi yang sangat besar dan sedang diperebutkan oleh berbagai negara yang
memiliki SDM yang tangguh. Terkait dengan postur ASN, pemerintah daerah
sebaiknya mulai mengirimkan para pemuda lulusan SMA untuk kuliah di negara
maju. Para pemuda itu sejak dini diproyeksikan menjadi andalah untuk meraih beragam
jenis outsourcing global untuk
daerahnya.
Namun, dalam mengejar potensi dan berkah
globalisasi itu, sebaiknya memiliki sistem dan regulasi yang baik disertai
dengan pengembangan SDM sejak dini khususnya sejak dibangku sekolah mengengah
diperkenalkan dengan bidang-bidang andalan outsourcing
global. Para mahasiswa yang belajar di perguruan tinggi luar negeri biasanya
lebi adaptif dan cukup waktu menguasai potensi berbagai jenis outsourcing dari perusahaan
multinasional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar