Kirim 2000 Mahasiswa Ke Jantung Dunia
Bimo Saongko BSAE, MSEIE, MBA terlahir dari
keluarga sederhana. Ayahnya seorang tentara dan ibunya adalah ibu rumah tangga
biasa. Namun keinginannya yang kuat untuk bisa sukses membuatnya ulet belajar
sejak kecil dan dekat dengan buku. Salah satu mimpinya adalah bisa studi di
luar negeri. Masa kecilnya dihabiskan di Tanjung Priok, lokasi yang cukup keras
di Jakarta. Karena itulah, selesai bangku SMP, Bimo lalu dikirim ke kota
Bandung untuk melanjutkan studi SMA. “Saking saya inginnya bisa belajar di luar
negeri, saya SMA tidak mau di Jakarta. Akhirnya saya pilih untuk sekolah di
Bandung, ikut saudara disana. Jadi saya memang sudah bisa mandiri dan jauh dari
orang tua sejak SMA,” katanya.
Masa kecilnya dihabiskan di Tanjung Priok,
Jakarta dengan kondisi dengan kondisi lingkungan yang tak terlalu baik. Demi
menjaga dirinya dari pergaulan buruk, lalu orangtuanya mengirimkannya untuk
belajar di salah satu SMA di Bandung. Keinginan kuat untuk bisa belajar
di luar negeri dibuktikannya, sekitar tahun 1990-an ia diterima untuk
belajar di Amerika Serikat. Sepulang dari Amerika Serikat dengan menggondol
gelar S1 dan S2, lalu ia kembali mengulik ilmu di Jerman. Pulang kembali dan
mendirikan Euro Management Indonesia, lembaga konsultasi pendidikan untuk luar
negeri yang saat ini telah memberangkatkan 2000 orang ke Eropa.
Selepas SMA pada tahun 1990, lalu ia masuk ke
ITB. Namun baru sebulan kuliah, Bimo pun dierima untuk kuliah program beasiswa
Menristek Habibie kala itu, dan ia pun berangkat ke Amerika Serikat di tahun
itu. Untuk mendapatkan beasiswa ini bukanlah pekerjaan mudah, ia melakukan
serangkaian tes hingga 6 kali sampai akhirnya dinyatakan lulus dan
diberangkatkan ke AS. Di Amerika, dirinya kuliah dengan mengambil jurusan
TEknik Penerbangan di North Carolina University yang kemudian dilanjutkan
dengan menamatkan S-2 di Arizona State University. Pria kelahiran tahun 1972
ini mengakui jika di masa-masa awal kuliah di luar negeri memang cukup berat,
terlebih jauh dari keluarga. “Yang paling utama adalah factor bahasa, meski di
Indonesia sudah belajar bahasa, pada praktiknya tetap saja bahasanya berbeda.
Budaya juga, saya masih malu kalau bicara. Praktis, selama 2,5 tahun saya hanya
bisa dengar dan tak mengerti bahasa mereka. Setelah itu baru saya bisa lancar
berbahasa dan sudah seperti hidup di Tanah Air saja. Tak ada kendala lagi.”
Katanya.
Setelah menamatkan jenjang S1 selama 4 tahun,
Bimo pun langsung mengambil jenjang S2 dengan tanpa beasiswa. Selama di sana
pun, berbagai pekerjaan pernah dicoba olehnya dari mulai kerja di perpustakaan
kampus ataupun di kantor pos universitas. Dari pekerjaan tersebut dirinya
dibayar hingga 100 euro per minggu. Tamat S2 pada 1997 lalu Bimo pulang ke
Indonesia dan langsung bekerja di BPPT. Selain di BPPT ia juga bekerja di salah
satu perusahaan dan membuatnya bisa mendapatkan banyak uang. Dari pekerjaan
tersebut ia sudah bisa membeli rumah dan mobil. Tapi karena keinginannya untuk
bisa kembali kuliah belum padam, semua asetnya kemudian dijual. Dengan bekal
dana 6000 euro hasil menjual semua asetnya, Bimo pun berangkat ke Jerman. “Saya
kemudian ambil lagi S2 untuk mengambil gelar MBA di Fachhochschule (University
of Applied Sciences) Pforzheim, Jerman. Saat di Jerman inilah saya sempat
membawa serta anak istri saya. Tapi karena biaya hidup yang cukup berat, akhirnya
mereka kembali ke Indonesia sebelum saya menamatkan pendidikan. Di Indonesia
saya nol kembali, karena semua asset sudah saya jual,” sebut Bimo.
Namun dari Jerman inilah mimpinya untuk membangun
sebuah bisnis di bidang pendidikan mulai muncul. Diakuinya, kala itu sebelum
pulang ke Indonesia, di Jerman dirinya sudah membuat business plan,
namun pada kenyataanya sangat sulit untuk direalisasikan. “Saat saya kemabli ke
Indonesia dua tahun berikutnya, saya malah bingung harus memulai dari mana,
karena kantor tidak ada , uang pun tidak ada. Akhirnya saya kembali melamar
pekerjaan, tapi tidak ada perusahaan yang menerima juga. Karena tak ada yang
mau menerima, saya pilih kembali ke BPPT. Saat itu saya digaji Rp. 1,5 juta
sebulan. Saya nikmatin saja lah, “akunya.
Tapi karena ide bisnisnya belum hilang, sambil
bekerja di BPPT Bimo pun membuat brosur kursus bahasa Inggris yang kemudian ia
bagi-bagikan ke sekolah-sekolah SMA. Di tahun 2002, ia mendirikan institusi
konsultan pendidikan untuk membantu calon mahasiswa/I yang ingin melanjutkan
kuliah di Eropa, yang diberi nama Euro Management Indonesia. Setelah tiga bulan
berjalan, ternyata ada beberapa orang tua yang merespon dan langsung mendaftar.
Bimo sendiri awalnya tak percaya, karena banyak orang tua siswa yang percaya
terhadapnya. Singkat cerita di tahun pertama itulah ia berhasil mendapatkan 20
orang yang akan melanjutkan kuliah ke luar negeri dan mengikuti program
pembekalan Bahasa di lembaganya. “Dari 20 orang itu saya bias dapatkan dana
sekitar Rp. 600 juta, saya berkewajiban untuk membimbing mereka selama satu
tahun sampai ke proses pemberangkatan, pembelian tiket, dan tempat tinggal di
negera tujuan, “imbuhnya.
“Saat saya belajar di Jerman, saya merasakan
sekali bahwa kuliah di sana biayanya tidak besar bahkan gratis”
Tahun berikutnya, jumlah pendaftar melonjak
menjadi 50 orang, tahun 2005 ada 70 orang dan tahun 2006 berjumlah 90 orang.
“Sejujurnya saya tak menduga perkembangan Euro Management Indonesia saya
dirikan dengan tujuan memberikan kesempatan yang seluas-luasnya bagi calon
mahasiswa Indonesia untuk dapat melanjutkan studinya baik program S1, S2 maupun
S3 di Eropa. Saat saya belajar di Jerman, saya merasakan sekali bahwa kuliah di
sana biayanya tidak besar bahkan gratis, dan saya berangan-angan nanti kalua
pulang ke Indonesia akan membuat institusi pendidikan yang tahu persis kondisi
Eropa, terutama Jerman & Prancis, “ungkapnya lagi.
Ayah dari lima anak dan suami dari Ibu Dwireka
Novitria ini merasakan sendiri nilai plus saat kuliah di Jerman dan Prancis.
Biaya pendidikan gratis di Jerman dan Prancis berlaku untuk semua tingkat
pendidikan. Sehingga mahasiswa hanya perlu menanggung biaya hidup dan jumlahnya
lebih kurang sama dengan di negara-negara lain, termasuk Indonesia bahkan bisa
lebih kecil.
“Biaya hidup selama kuliah di Jerman dan Prancis
pun sebenarnya bisa lebih ringan jika mahasiswa mau mencari pekerjaan part time yang
banyak tersedia. Misalnya kalua bekerja maksimal 20 jam perminggu selama masa
kuliah, kita bisa mendapatkan 325 Euro perbulan.
Bahkan mahasiswa berhak mendapatkan pekerjaan full time selama
masa liburan 3 bulan, 40 jam perminggu, dengan rata-rata pendapatan antara
750-1000 Euro per bulan. Selama itu, universitas di Jerman dan Prancis juga
mewajibkan mahasiswa untuk mengikuti magang selama masa program kuliah di
berbagai perushaan Jerman dan Prancis, minimal dua semester penuh dengan
pendapatan antara 300 hingga 1000 Euro per bulan, “tuturnya.
Di lembaganya tersebut, para peserta didik Euro
Management sudah mendapatkan fasilitas-fasilitas berupa kursus Bahasa Jerman
dan Prancis selama 6 bulan dengan pengajar local dan native speaker, pengurusan
dokumentasi-dokumentasi (passport dan lain-lain) dan cultural workshop. “Memang
tidak ada jaminan bahwa setiap peserta didik di Euro Management akan diterima
kuliah di Jerman atau Prancis tapi tidak perlu khawatir karena syarat
penerimaan mahasiswa di Jerman dan Prancis itu sangat mudah. Pada prinsipnya di
Jerman dan Prancis siapapun boleh mengenyam pendidikan. Yang paling penting
hanya lulus dalam tes matematika dasar, “ucapnya.
Diakuinya, saat ini dirinya telah memberangkatkan
sekitar 2000 mahasiswa ke luar negeri, khususnya ke negara-negara di Eropa
seperti Jerman dan Prancis yang paling banyak diminati. Tak hanya Eropa, dalam
jumlah kecil dirinya juga mengurus para mahasiswa yang akan belajar ke Amerika,
Jepang, Australia, Inggris dan Negara lainnya.
Kini Euro Management Indonesia telah berkembang
pesat menjadi sebuah konsultan pendidikan internasional terbesar di Indonesia
yang secara terpadu dan terintegrasi membantu calon siswa-siswi Indonesia yang
ingin melanjutkan sudinya ke berbagai perguruan tinggi terbaik dan ternama di
Negara-negara Eropa, khususnya di Jerman, Prancis, Amerika Serikat, Belanda,
Inggris, Australia dan Jepang. Saat ini dalam setahun dirinya tidak kurang
menerima sekitar 150 orang yang mendaftar. Dalam pelayanannya ia baru membuka
di Jakarta dengan alasan agar lebih focus, meski sebelumnya pernah juga membuka
di Bandung dan Yogyakarta tapi karena perkembangan yang tidak maksimal, dua
cabang tersebut akhirnya ditutup. Lalu bagaimana dengan omzet yang bisa diraih
dari bisnis ini? “Setahun omzetnya bisa sampai 7,5 miliar dengan laba bersih
sekitar 10% dari omzet,” pungkas Bimo. (Doddy Handoko,
foto: dok.pri)