"Kapolri dan
Lompatan Katak"
Oleh : Bimo Sasongko
Presiden Joko Widodo mengajukan nama
Kepala Badan Nasional Pemberantasan Terorisme (BNPT) Komjen Tito Karnavian
sebagai calon Kapolri baru. Penunjukkan Komjen Tito merupakan bentuk regenerasi
leapfrogging atau lompatan katak di tubuh Polri. Karena melompati empat
angkatan dan tujuh Jenderal senior.
Kapolri yang baru itu memiliki
tantangan berat terkait dengan postur SDM Polri yang mesti ditransformasikan
dengan lompatan katak sehingga profesionalitas dan kompetensinya bisa meningkat
pesat. Lompatan katak terhadap SDM Polri merupakan keniscayaan karena tantangan
dan kompleksitas kejahatan.
Sistem rekrutmen dan pendidikan
SDM Polri perlu dibenahi karena pelaku dan modus kejahatan semakin canggih dan
memerlukan teknologi dan lintas disiplin ilmu. Prestasi Komjen Tito merupakan
hasil dari sederet pendidikan dan penugasan di luar negeri yang pernah dia
tempuh, antara lain pendidikan di University of Exeter di Inggris yang meraih
gelar MA dalam bidang Police Studies.
Dia meraih PhD di Nanyang
Technological University, Singapura. Hampir seluruh pendidikan dan kursus
kepolisian yang terbaik di dunia pernah diiikutinya.
Tak pelak lagi, kepolisian kini
membutuhkan kerjasama dan pendidikan global bagi para perwira. Jika hanya
mengandalkan pendidikan dan kursus di dalam negeri saja tentunya tidak memadai.
Selain masalah pembenahan
integritas, personil kepolisian juga perlu pengembangan kompetensi dan
profesionalitas untuk 400 ribu personel Polri. Saat ini postur SDM Polri
terkendala oleh komposisi struktur yang 90 persen terdiri dari kepangkatan
bintara kebawah yang memiliki kapasitas dan ketrampilan pemolisian yang minim
dan dengan tingkat kesejahteraan yang kurang memadai.
Ironisnya 10 persen perwira Polri juga belum
memiliki pola pengembangan profesi yang sesuai dengan tantangan jaman. Untuk
mengatasi disritas atau kesenjangan karir dan kompetensi itu perlu sistem
transformasi lompatan katak bagi SDM Polri pada level perwira dengan berbagai
program pendidikan di LN. Untuk itu perlu penguasaan bahasa asing dan memilih
perguruan tinggi di LN yang tepat untuk pendidikan para perwira Polri.
Pembenahan postur SDM kepolisian
perlu empat nilai dasar yang menjadi pedoman berdasarkan universalitas watak
peran dan fungsi dari institusi ini, yakni integritas, akuntabilitas,
legitimasi, dan bisa dipercaya. Empat nilai dasar yang universal tersebut tentu
harus dikontekstualiasikan dengan situasi empirik pemolisian di negeri ini.
Empat kriteria nilai dasar
tersebut untuk mengatasi masalah laten internal Polri yang masih sarat dengan
perilaku korup, budaya kerja kekerasan (pelanggaran HAM), kegamangan menghadapi
tindakan vigilante oleh kelompok massa yang menggunakan identitas komunalisme
(agama/etnik), dan minimnya akuntabilitas untuk praktek penyalahgunaan
kekuasaan.
Kapasitas Komjen Tito yang sarat
pendidikan internasional dan kerjasama global tentunya menjadi modal penting
untuk melakukan leapfrogging atau lompatan katak lembaga Polri. Antara lain
mentransformasikan secara cepat aspek dan teknologi kepolisian untuk menunjang
operasional dan proses penyidikan di tingkat satuan Polsek hingga Mabes Polri.
Lompatan katak bagi bisa memperlancar
proses scanning, analysis, response, dan akses dalam organisasi kepolisian.
Kapolri yang baru juga memiliki
misi yang strategis yakni melakukaan leapfrogging untuk mengatasi
hiperterorisme yang melanda dunia saat ini. Untuk itu perlu memperkuat
keberadaan Jakarta Centre for Law Enforcement Cooperation (JCLEC).Yakni sekolah
internasional yang menyediakan pendidikan bagi para penegak hukum dalam
kerangka penyidikan multi yuridiksi dalam kejahatan transnasional, dengan
memfokuskan pada kegiatan memerangi terorisme.
Kapolri baru juga harus setiap
saat meningkatkan kemampuan Densus 88 yang menjadi ujung tombak personel anti
teroris di Indonesia. Hiperterorisme
harus dihadapi dengan lompatan katak yang mentransformasikan teknologi anti
terorisme secara signifikan sehingga bisa meningkatkan kapasitas bangsa untuk
menanggulangi aksi terorisme. Kerjasama regional dan internasional dalam
berbagai aspek untuk membasmi kelompok teroris sebaiknya ditingkatkan.
Leapfrogging penanganan teroris
juga menyangkut pentingnya standardisasi dan tatakelola peralatan deteksi dini
terhadap obyek vital dan infrastruktur publik. Kenaikan anggaran untuk
menangani terorisme yang dialokasikan untuk BNPT mestinya disertai dengan
pendidikan personel yang sesuai dengan perkembangan dunia.
Penanganan terorisme di negeri
ini sangat membutuhkan kerja sama bilateral dan multilateral. Dalam konteks
global, Kapolri sebaiknya lebih proaktif dalam penguatan dan peningkatan
kerjasama ASEAN National Police (ASEANAPOL) yang merupakan sebuah organisasi
kepolisian ASEAN yang terbentuk pada tahun 1981, terdiri dari 10 negara dan
semenjak 2010 mempunyai sekretariat tetap di Kuala Lumpur.
Kerjasama internasional SDM Polri
perlu diperluas hingga Europol. Europol adalah lembaga penegak hukum Uni Eropa
yang terdiri dari 27 negara anggota.
Markas besarnya di Den Haag Belanda. Europol bertugas mengumpulkan data
kejahatan, menganalisa, men-share informasi dan mengkoordinasikan operasi.
Negara anggota Europol menggunakan informasi yang diberikan Europol untuk
mencegah, mendeteksi dan menyelidiki pelanggaran, dan kemudian melakukan
penyidiki dan mengadili pelaku kejahatan.
Para ahli dan analis dari Europol
mengambil bagian dalam tim investigasi bersama yang membantu kasus kriminal di
negara-negara Uni Eropa. Europol merupakan pusat operasi high security,
berurusan dengan lebih dari 9.000 kasus per tahun, dengan ciri analisis
berkualitas tinggi yang menjamin keberhasilan operasional.
Diharapkan kemampuan ASEANAPOL
bisa mendekati kapasitas Europol. Untuk
mewujudkan ASEANAPOL yang sekuat Europol dibutuhkan komitmen kuat di antara
negara anggota dalam hal SDM kepolisian agar keamanan ASEAN dan pemberlakuan
ASEAN Community bisa berlangsung dengan baik.
*) BIMO JOGA SASONGKO, President
Director & CEO Euro Management Indonesia. Sekjen Pengurus Pusat IABIE
(Ikatan Alumni Program Habibie).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar