Rasionalisasi ASN dan Layanan Elektronik
Oleh: Bimo Sasongko
Polemik tentang program nasionalisasi bagi Aparatur Sipil Negara (ASN) belum menyentuh akar masalah yang esensial. Justru menimbulkan kontra produktif bagi bangsa. Melihat postur dan kinerja ASN hingga saat ini maka rasionalisasi adalah keniscayaan.
Presiden Joko Widodo menyatakan bahwa rasionalisasi ASN dilaksanakan secara alamiah. Tentunya hal itu masih perlu disertai dengan sistem informasi dan rekrutmen. Serta, seperti ap kebutuhan aktual oleh kementerian, lembaga negara, dan pemerintah daerah. Kebutuhan aktual tersebut tentunya harus sesuai dengan tantangan terkini dan benar-benar sesuai dengan daya saing global.
Tujuan rasionalisasi ASN tidak sekadar untuk menghemat anggaran negara yang selama ini tersita untuk gaji birokrasi. Rasionalisasi ASN harus bisa mewujudkan integritas ASN yang tangguh dan kompetensi berdaya saing global serta bisa melayani masyarakat secara paripurna. Sekadar gambaran, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2016 tersedot untuk belanja ASN hingga Rp. 347,5 triliun. Jumlah tersebut terlalu tinggi, memakan porsi 16,5 persen dari total pagu belanja.
Dari simulasi, jumlah PNS idealnya sekitar 1,5 persen dari jumlah penduduk, sehingga pelayannya cukup memadai, apalagi jika dengan bantuan teknologi. Dari total penduduk Indonesia, hanya dibutuhkan sekitar 3,5 juta PNS. Sekarang, PNS kita ada 4,5 juta orang. Maka, secara simulasi kelebihan satu juta orang. Untuk mengurangi ASN dilakukan dengan kebijakan rasionalisasi dan redistribusi (PNS).
Rasionalisasi alamiah dijalankan dengan cara mengatur laju jumlah ASN yang pensiun tidak disertai dengan jumlah rekrutmen pegawai baru yang jumlahnya lebih kecil. Dengan demikian, terjadi penyusutan sesuai dengan jumlah yang diinginkan. Tapi kondisi ini merupakan solusi di permukaan. Masih ada persoalan yang lebih esensial dan rumit terkait postur dan kompetensi yang ideal pada setiap kementerian. Dari postur ASN yang eksis saat ini, sasaran rasionalisasi difokuskan pada jabatan fungsional umum dengan pendidikan SMA, SMP dan SD.
Persoalan serius terkait dengan
pelaksanaan rasionalisasi ASN adalah belum adanya sistem informasikepegawaian
yang baik di setiap instansi. Hal itu menyebabkan berbagai penyelewengan,
antara lain adanya kasuspuluhan ribu ASN fiktif dan pemakan gaji buta yang
tersebar di pusat dan sejumlah daerah. Karena tidak adanya sistem informasi
yang baik, maka sulit dilakukan evaluasi dan tindakan cepat terhadap ASN.
Terkait dengan sistem informasi
birokrasi perlu belajar dari Singapura. Di Singapura pejabat memiliki mekanisme
yang jelas secara reguler untuk mengevaluasi setiap orang di bawahnya. Misalnya
kalau Eselon I bisa mengevaluasi kinerja Eselon II sampai ke bawah, evaluasi di
masukkan ke dalam sistem informasi.
Di Indonesia hal itu belum terwujud.
Sebagai gambaran, yang paling mendapat perhatian dan sistem remunerasi yang
tinggi adalah Di lingkungan Ditjen Pajak. Ternyata hingga kini jumlah ASN di Ditjen Pajak yang berjumlah
sekitar 33 ribu orang juga belum ada sistem informasi yang mampu menyajikan
integritas dan kinerja pegawai secara komprehensif dan bisa dimonitor secara
real time. Sistem yang ada masih parsial dan hanya terbatas untuk keperluan
administrasi yang kurang esensial untuk pengembangan kompetensi dan peningkatan
produktivitas ASN.
Sistem perpajakan pada saat ini sudah
terbantu oleh teknologi informasi dan komunikasi. Mestinya aspek
profesionalitas pegawai pajak harus terukur secara obyektif dengan
standardisasi job establisment and grade system yang berlaku secara ketat.
Usaha untuk meningkatkan profesionalisme dan peningkatan integritas pegawai
pajak dengan cara menerapkan sistem remunerasi yang memberikan gaji yang tinggi
ternyata belum membuahkan hasil yang optimal. Dan justru menimbulkan
kecemburuan oleh ASNdari kementerian lain.
Untuk mewujudkan birokrasi
pemerintahan yang bersih dan kinerja
yang efektif perlu sistem yang berbasis
layanan elektronik. Layanan elektronik sebenarnya merupakan tuntutan jaman
untuk mencapai efektifitas pemerintahan. Berbagai sistem layanan eletronik
seperti e-Gov, e-Procurement, e-Education, e-Health dan sebagainya di negara
maju terbukti efektif untuk melayani publik.
Hingga kini manfaat layanan elektronik
masih belum optimal dan justru menimbulkan korupsi baru. Diharapkan kepada
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan investigasi berbagai proyek
infrastruktur layanan elektronik yang
sarat mark-up. Demikian juga modus penunjukan satu produk vendor (
monopoli ) untuk semua proyek layanan elektronik yang selama ini sangat
merugikan ekosistem pengembanagan TIK di Indonesia.
Jika kita mau menengok kota-kota di
negara maju, terlihat bagaimana penggunaan e-Procurement begitu efektifnya,
meskipun tanpa campur tangan pemerintah pusat. Misalnya kota besar di Uni
Eropa, seperti Bremen, Amsterdam, Paris dan lain-lain. Tengok saja kinerja kota
Bremen yang telah membangun portal BOS (Bremen Online Service) yang merupakan
portal informasi dan transaksi layanan pemerintah untuk masyarakat. BOS tidak
sekedar portal informasi, dengan teknologi keamanan dan enkripsi yang maju
memungkinkan masyarakat luas dan pelaku bisnis bisa melakukan berbagai
transaksi elektronik melalui portal itu secara mudah. Layanan online service
yang diberikan ada ratusan jenis. Mulai dari perijinan, pembayaran pajak,
hingga pengajuan berbagai aplikasi.
Kinerja birokrasi semakin efektif jika
dikembangkan hubungan kolaboratif antar dinas atau karyawan dengan sistem
virtual working. Masalahnya ASN di Indonesia hingga kini belum mampu
mendayagunakan infrastruktur e-Goverment seefektif mungkin sesuai dengan
tatakelola dan standar global.
Dengan memanfaatkan kemampuan kolaborasi
virtual berbagai jenis pekerjaan dan tugas ASN bisa dijalankan secara cepat dan
efisien. Perlu transformasi budaya kerja lewat kolaborasi secara virtual
menggunakan berbagai perangkat lunak pendukung di dalam sebuah jaringan
komputer. Hal ini dimungkinkan tidak saja karena adanya perangkat lunak utama
untuk berkolaborasi, tapi juga infrastruktur pendukung seperti sistem
otentikasi di dalam jaringan.
Untuk mewujudkan budaya kerja virtual
bagi birokrasi di negeri ini diperlukan platform perangkat lunak yang memiliki
empat pilar utama. Pertama, pilar yang mampu menghadirkan solusi komunikasi
yang terintegrasi yang dapat memudahkan akses komunikasi kapan saja dengan
berbagai mekanisme komunikasi yang ada.Pilar diatas membutuhkan platform yang
ekstensibel yang memungkinkan komunikasi yang aman.
Kedua, bersifat “Empower Teams Through
Workspaces” yakni pilar yang menghadirkan solusi workspace yang menghadirkan
komunikasi team dalam bekerja secara terdistributif dan berkolaborasi bersama
melalui ruang kerja virtual, seperti melalui blogs, wiki, atau team workspaces.
Ketiga, bersifat “Connect People,
Process, dan Information” yakni pilar yang menghadirkan solusi akses informasi
data korporasi atau pemerintahan mulai dari informasi umum hingga notifikasi
event.
Keempat, bersifat “Enable Work Anywhere
yakni pilar yang menekankan pada kebebasan ruang dalam bekerja. Setiap kegiatan
dan aplikasi yang terkait dapat dikerjakan secara mobile baik terkoneksi dan
tidak terkoneksi.
*)
BIMO JOGA SASONGKO, President Director & CEO Euro Management Indonesia.
Sekjen Pengurus Pusat IABIE (Ikatan Alumni Program Habibie).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar