Membangun SDM Infrastruktur
Oleh Bimo Joga Sasongko, BSAE, MSEIE, MBA
Kebijakan Presiden Joko Widodo memacu pembangunan infrastruktur
memerlukan dukungan banyak sumber daya manusia (SDM) ahli teknis maupun
pembiayaan agar program terwujud dengan kualitas baik dan berlanjut
tanpa kendala di waktu mendatang. Instruksi Presiden kepada Kementerian
Energi dan Sumber Daya Manusia (ESDM), Kementerian BUMN dan Perusahaan
Listrik Negara (PLN) untuk mempercepat pelaksanaan proyek 35 ribu
megawatt juga perlu penyediaan SDM ahli audit teknologi dan mengatasi
dampak sosial proyek PLTU. Jangan sampai megaproyek untuk mengatasi
defisit pasokan listrik Jawa- Bali sebesar 21 ribu MW justru menimbulkan
dampak negatif generasi mendatang.
Keputusan Jokowi melanjutkan beberapa proyek mangkrak seperti PLTU
Batang (Jawa Tengah) senilai 56,7 triliun rupiah, sarana olah raga
Hambalang dan lima ruas jalan tol senilai 48,8 triliun rupiah mengandung
risiko kegagalan pembiayaan dan struktural jika tidak dikaji mendalam.
Tak pelak lagi, Indonesia kini perlu SDM ahli infrastruktur yang mampu
merumuskan skema pembiayaan fleksibel karena anggaran berubah-ubah
sebagai dampak pemangkasan 50 triliun rupiah dalam APBN 2016 agar
defisit tak melebar.
Ini berimbas pada Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat
(PUPR). Jumlah proyek yang dipangkas lebih dari 1.000 paket. Total
anggaran Kementerian PUPR dipangkas 8,4 triliun meliputi Direktorat
Jenderal Bina Marga (5 triliun). Kemudian Direktorat Jenderal Sumber
Daya Air (SDA) 1,9 triliun, Direktorat Jenderal Cipta Karya 1 triliun,
dan Direktorat Jenderal Perumahan 325 miliar.
Strategi pembangunan infrastruktur pemerintahan sebaiknya belajar
dari pengalaman Brasil yang terpuruk karena masalah fiskal 10,6
persenterhadap Produk Domestik Bruto (2015). Padahal ambang batas aman 2
persen-3 persen. Brasil terlalu bernafsu membangun infrastruktur,
utamanya untuk persiapan tuan rumah olimpiade. Ambisi Presiden Jokowi
membangun infrastruktur besar-besaran bisa menghadapi hambatan serius
dari sisi penerimaan APBN. Tahun lalu APBN defisit 2,5 persen. Akibatnya
tahun ini pemerintah memangkas belanja 50 triliun yang belum tentu bisa
mengatasi APBN.
Visi kebangkitan nasional pemerintahan Jokowi terartikulasi dalam
bentuk pembangunan berbagai infrastruktur secara progresif. Sayang,
proyek tersebut kurang terkonsep dengan baik dan terlihat tergesa-gesa
tanpa disertai strategi transformasi teknologi sserta persiapan SDM.
Akibatnya beberapa proyek infrastruktur kurang bermanfaat
sebesar-besarnya bagi industri lokal dan perluasan kesempatan kerja.
Bahkan pembiayaan infrastruktur yang bertumpu pada utang itu terlihat
tidak disertai pengawasan kualitas bangunan dan kinerja struktur secara
baik.
Pada era persaingan global saat ini perlu mencetak SDM ahli yang mampu m e n d u k u n g milestones pembangunan
sebagai perangkat pengendalian. Sistem canggih dibuat atas kerangka
kerja fakta dan jawaban terhadap situasi pembangunan infrastruktur yang
sudah dianalisasis secara valid dan terstandarisasi. Konteksnya rencana
pembangunan wilayah atau infrastruktur biasanya berupa visualisasi
digital rencana pengembangan.
Visualisasi tersebut dalam dunia otomotif atau industri pesawat terbang biasa disebut moc up. Perkembangan perangkat lunak seperti Catia berkemampuan solid modeling bisa membantu pembuatan digital mockup untuk proyek infrastruktur. Dengan digital muckup berbagai
macam perubahan desain dan pembiayaan bisa direvisi serta disimulasikan
dengan cepat. Mestinya seluruh proyek infrastruktur pemerintahan
disertai sistem canggih seperti Beijing Municipality Planning
Exhibition. Masyarakat bisa mengetahui secara detail kondisi Beijing
beberapa tahun ke depan. Jadi, ada integrasi pembangunan.
Hingga kini pembangunan infrastruktur pusat maupun daerah banyak
mengandung sederet masalah teknis, sosiologis, dan tidak berkualitas.
Pemerintah harus mengantisipasi berbagai kasus proyek infrastruktur
berkualitas rendah. Tapi, negeri ini juga kekurangan SDM berkompetensi
bidang quantity surveyor yang mampu menghitung dan menganalisis biaya proyek.
Komponen Lokal
Selain itu pembangunan berbagai proyek infrastruktur kurang
melibatkan aspek audit teknologi yang bertujuan untuk mengendepankan
kepentingan komponen lokal dan melibatkan seluas-luasnya tenaga kerja
lokal. Pemerintah hendaknya tidak member cek kosong begitu saja kepada
pengusaha asing untuk memilih dan menentukan sendiri spesifikasi
teknologi yang akan diterapkan di sini.
Ambisi Tiongkok baik pengusaha swasta maupun BUMN untuk terlibat
pembangunan infrastruktur skala besar di Indonesia seperti proyek tenaga
listrik, bendungan, kereta cepat dan lain-lain perlu pengawasan ketat.
Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) sebagai lembaga clearing house technology harus memiliki kewibawaan untuk mengaudit teknologi produk atau proyek yang masih dalam perencanaan maupun berlangsung.
Selama ini pemerintah memberikan begitu saja konsesi kepada perbankan
Tiongkok, yakni Bank Exim China dan China Export and Credit Insurance
Corporation (Sinosure) untuk membangun beberapa proyek pembangkit
listrik. Namun tidak disertai persiapan SDM ahli yang terlibat aktif
sebagai assessment technology dan menghitung biaya eksternal yang
timbul. Akibatnya beberapa pembangkit, seperti PLTU Suralaya 625 MW,
PLTU Paiton Baru 660 MW, PLTU Labuan 3 x 330 MW, dan PLTU Indramayu 3 x
300 MW sering bermasalah karena kerap rusak dan menimbulkan biaya
eksternal tinggi di kemudian hari.
Biaya eksternal antara lain dihitung dengan menganalisis penyebaran dampak dari emisi atau impact pathway analysis.
Biaya eksternal pembangkit listrik yang telah eksis seperti PLTU
Suralaya rata-rata sebesar 0,65 cents dollar AS/kWh. Dengan adanya biaya
eksternal, ongkos pembangkitan akan membengkak sekitar 15 persendi
kemudian hari. Biaya eksternal tersebut merupakan biaya yang ditanggung
masyarakat dan lingkungan yang selama ini tidak dimasukkan dalam
perhitungan baik produsen maupun konsumen tenaga listrik.
Penulis President Director & CEO Euro Management Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar