Program Vokasional
Indonesia
adalah Negara besar dengan potensi sumber daya yang luar biasa, tetapi belum
digarap secara total. Juga belum menampilkan performa sesungguhnya. Ibarat
pabrik yang memiliki nilai tambah raksasa yang berbasis lokalitas tetapi masih
tertidur sehingga kapasitas yang idle atau belum didayagunakan masih sangat
besar.
Masih
tertidurnya nilai tambah raksasa karena pembangunan SDM untuk mencerdaskan
bangsa masih belum optimal, bahkan pada segmen tertentu telah mengalami krisis.
Hal tersebut ditunjukan dengan indeks pembangunan manusia yang masih
memprihatinkan.
Untuk
mengatasi hal itu, Presiden Joko Widodo menekankan pentingnya pembangunan SDM
lewat program pendidikan vokasional. Sayangnya, program prioritas tersebut
belum dirumuskan secara detail sehingga sulit diaplikasikan di tingkat bawah
dalam rangka mencetak tenaga terampil menengah skill labour.
Perlu
menggalakkan program vokasional atau kejuruan yang berbasis apprentice untuk membangunkan nilai
tambah raksasa yang tertidur. Esensi nilai tambah lokal adalah berbagai aspek produksi atau jasa yang
berlangsung di tanah air di mana pengolahannya menggunakan teknologi dan
inovasi sehingga memiliki harga yang lebih tinggi atau berlipat ganda jika
dibandingkan dengan harga bahan mentahnya dan bisa memperluas lapangan kerja. Dengan
prinsip nilai tambah yang genuine (asli),
bangsa Indonesia tidak sudi lagi mengimpor bahan mentah tanpa diolah secara
signifikan terlebih dahulu.
Program
vokasional berbasis apprentice adalah
kunci suksesnya industrialisasi di Negara maju. Sementara itu, di Indonesia
juga pernah diterapkan system apprentice untuk
memenuhi kebutuhan SDM industri dalam durasi yang singkat. BUMN industry strategis,
seperti industri pesawat terbang PT Di pernah mencetak puluhan ribu teknisi
ahli yang direkrut dari lulusan SMA dan SMK menjadi SDM industri yang spesifik
dan sesuai dengan kebutuhan.
Mencerdaskan
kehidupan bangsa merupakan kewajiban konstitusional yang harus diwujudkan oleh
seluruh komponen bangsa. Kini Indonesia dibayang-bayangi masalah laten yakni
masih rendahnya kualitas manusia Indonesia yang tergambar dalam IPM (Indeks
Pembangunan Manusia). Dan paradox pengelolaan sumber daya alam karena terus
menerus ekspor bahan mentah dan terjadi salah urus kekayaan Negara.
Terpuruk
Masih
terpuruknya IPM di Indonesia terungkap dalam laporan Program Pembangunan
Perserikatan Bangsa-Bangsa. Berdasarkan laporan UNDP, IPM Indonesia berada di
peringkat ke-110 dari 188 negara dengan besaran 0,684 atau sama dengan tahun
sebelumnya.
Berdasarkan
pengukuran indikator IPM Indonesia pada tahun 2014, angka harapan hidup 68,9
tahun, harapan tahun bersekolah 13, serta rata-rata waktu sekolah yang dijalani
individu berusia 25 tahun ke atas adalah 7,6 tahun. IPM Indonesia masih tampak
stagnan. Esensi peningkatan IPM adalah untuk meningkatkan kapabilitas manusia.
Penyelenggaraan
program vokasional nonformal itu sebaiknya terkait dengan penyediaan lapangan
kerja dengan prinsip link and match dengan
potensi sumber daya local. Perlu merumuskan sistem pendidikan vokasional
nonformal yang menekankan produktivitas dan kreativitas.
Organisasi
pendidikan nonformal di tingkat kecamatan yang selama ini disebut Pusat Kegiatan
Belajar Masyarakat (PKBM) dan di tingkat kabupaten/kota yang disebut Sanggar
Kegiatan Belajar (SKB) tidak mampu beradaptasi dengan kemajuan jaman. Perlu revitalisasi
PKBM dan SKB dengan muatan vokasional yang sesuai dengan perkembangan
teknologi.
Selain
untuk memenuhi kebutuhan pasar tenaga kerja dan industry, sistem apprentice juga bisa meningkatkan daya
inovasi dan kreativitas masyarakat sesuai dengan visi para pendiri bangsa. Seperti
yang pernah dirumuskan oleh tokoh pendidikan nasional Ki HAjar Dewantara.
Masyarakat harus terus menerus menghasilkan inovasi untuk mendapatkan nilai
tambah dengan metode 3N (niteni, neroke, nambahi).
Metode 3N yang dirumuskan oleh Ki
Hajar Dewantara sangatlah relevan untuk membentuk karakter SDM bangsa terkait
dengan kemajuan zaman yang sangat ditentukan oleh kapasitas inovasi. Metode 3N
yang memakai istilah bahasa Jawa tersebut sangat relevanuntuk meningkatkan
kapasitas inovasi dan nilai tambah lokal bagi masyarakat hingga dunia usaha.
Masyarakat diharapkan selalu memperhatikan unsur N yang pertama, yakni
"niteni" atau mengamati kemajuan teknologi atau perkembangan produk.
N yang kedua adalah "neroke" atau menirukan kemajuan teknologi atau
perkembangan produk. Lalu unsur N yang ketiga adalah "nambahi" atau
menambahkan (modifikasi).
Apprenticeship
dalam istilah bahasa Indonesia bisa
disederhanakan artinya menjadi pemaganganApprenticeship
adalah bentuk unik dari pendidikan
kerja yang mengombbinasikan pelatihan di tempat kerja dengan pembelajaran
berbasis di sekolah, terkait kompetensi dan proses kerja yang ditentukan secara
khusus.
Durasi pemaganagan biasanya lebih
dari satu tahun, bahkan di beberapa Negara berlangsung selama empat tahun.
Pendekatan Organisasi Buruh Sedubia (ILO) untuk pemagangan adalah mekanisme
pembelajaran canggih atas dasar saling percaya dan kerjasama antar pemangku
kepentingan yaitu kaum muda, otoritas ketenagakerjaan dan pendidikan serta
pengusaha dan pekerja.
Mengembangkan sistem apprenticeship di tanah air pada saat
ini adalah saat yang tepat. Apalagi para pemimpin pemerintahan dabn bisnis di Negara
anggota G-20 telah menekankan pentingnya
Apprenticeship
yang bermutu dalam mengatasi masalah
pengangguran di kalangan muda. G-20 Leaders’ Summit telah member penekanan
lebih jauh tentang Apprenticeship.