Memanggil
Ilmuwan Balik Kandang
Di hadapan teladan nasional yang
diundang ke Istana Merdeka dalam rangka Hari Kemerdekaan, Presiden Joko Widodo
menyerukan agar para ilmuwan yang kini bekerja di luar negeri untuk kembali ke
Tanah Air membantu pemerintah. Para ilmuwan memiliki peran yang strategis untuk
membangkitkan bangsa.
Seruan Presiden di atas sebenarnya
adalah lagu lama yang diputar kembali. Sejak pemerintahan Presiden Soeharto
sudah diimbau agar para ilmuwan dan ahli teknik terkemuka yang bekerja di luar
negeri supaya kembali ke Tanah Air untuk mewujudkan kemajuan bangsa. Para
ilmuwan itu sempat berbondong-bondong pulang.
Namun, kondisinya ternyata cukup
memprihatinkan, karena lembaga Iptek dan industri yang ada belum mampu
menyambut kepulangan mereka secara layak. Mereka belum bisa diberi job yang
sesuai dengan keahliannya. Pemerintah saat itu juga belum bisa memberikan
fasilitas kerja dan imbalan gaji yang sesuai dengan permintaan para ilmuwan
yang balik kandang itu.
Kondisinya semakin memprihatinkan
karena anggaran Ristek masih kecil dan adanya kebijakan moneter yang membatasi
kegiatan industry strategis akibat tekanan lembaga internasional. Akibatnya
banyak ilmuwan di atas yang eksodus dari lembaga iptek dan industri strategis.
Mereka kembali lagi bekerja di luar negeri atau terpaksa bekerja di dalam
negeri tetapi tidak sesuai dengan bidang keahliannya.
Pemerintahan Presiden Jokowi
hendaknya tidak sekadar memanggil pulang para ilmuwan yang saat ini sedang
bekerja di luar negeri. Perlu juga menyiapkan infrastruktur dan fasilitas yang
memadai serta penugasan dalam proyek yang jelas dan konsisten.
Selain memanggil ilmuwan untuk balik
kandang, ada hal yang sangat esensial yakni perlunya mencetak ilmuwan sejak
remaja. Untuk membangkitkan Iptek nasional tidak bisa dengan jalan pintas atau
diserahkan begitu saja kepada pasar.
Kebangkitan Iptek harus disertai
dengan menguatkan tradisi ilmiah atau keilmuan bagi kaum remaja. Tradisi
keilmuan sejak remaja, atau sejak sekolah menengah sangat perlu untuk menemukan
siswa-siswa berbakat lalu diberi kesempatan untuk kuliah di perguruan tinggi
yang baik, termasuk mengirimkan mereka ke luar negeri untuk belajar di
perguruan tinggi terkemuka dan memiliki tradisi ilmiah yang unggul.
Saatnya pemerintah memulai kembali
inisiatif BJ Habibie yang telah berhasil mencetak ribuan tenaga ahli kelas
dunia lewat skema Bea Siswa Luar Negeri (BSLN). Tentunya pada saat ini
kondisinya sangat memungkinkan untuk membuat skema yang tidak hanya
mengandalkan anggaran pemerintah pusat.
Untuk mengakselerasi kebangkitan
Iptek Nasional perlu terobosan baru. Terobosan itu antara lain menjaring siswa
SMA yang berbakat untuk mendapatkan kredit beasiswa dari lembaga keuangan atau
korporasi dan pemerintah daerah guna melanjutkan kuliah di perguruan tinggi
terkemuka di luar negeri. Setiap kabupaten atau kota setidaknya setiap tahun
secara rutin bisa mengirimkan minimal sepuluh siswa berbakat.
Pengiriman remaja berbakat untuk
kuliah di perguruan tinggi di luar negeri perlu bekerja sama dengan konsultan
pendidikan internasional yang bisa membimbing siswa untuk menguasai bahasa
asing seperti bahasa Jerman, Perancis, Jepang. Karena pengajaran bahasa
tersebut kini tidak ada lagi di SMA.
Selain itu, konsultan pendidikan internasional
bisa membantu memberikan materi matrikulasi untuk menyesuaikan materi ajar dan
memberikan gambaran tentang budaya dan kondisi sosial dari negara yang akan
dituju. Selain itu, membantu para siswa untuk mendapatkan akomodasi hingga
pendampingan bilamana perlu.
Kebangkitan Iptek nasional bisa
berkelanjutan jika ditopang dengan tradisi ilmiah yang kokoh dari para remaja
yang duduk di sekolah menengah. Oleh sebab itu, kegiatan penelitian ilmiah yang
dilakukan oleh kaum remaja adalah investasi yang sangat besar bagi perjalanan
bangsa ini. Para ilmuwan remaja yang tergabung dalam wadah kelompok ilmiah
remaja (KIR) sekolah menengah adalah calon ilmuwan unggul.
Di antara ribuan remaja anggota KIR
itu, dulu banyak yang mendapatkan beasiswa ikatan dinas dari Menristek
BJ.Habibie untuk kuliah di perguruan tinggi terkemuka dunia. Dan di antara
mereka kemudian berperan dalam rancang bangun Pesawat N-250 yang menjadi ikon
Hakteknas. Juga berperan dalam berbagai proyek infrastruktur dan program Iptek
nasional.
Sebagian besar aktivis kegiatan
ilmiah remaja telah berhasil menyelesaikan pendidikannya dan menggeluti profesi
sebagai peneliti di berbagai lembaga riset pemerintah maupun perusahaan swasta.
Di antara mereka adalah penerima
beasiswa Menristek BJ.Habibie untuk kuliah di luar negeri dan berhasil meraih
gelar master hingga doktor. Mereka kini menjadi ilmuwan, inovator dan pemikir
yang tangguh. Antara lain, Beno Kunto Pradekso, seorang inovator TIK dan ahli
radar. Adi Sudadi Soembagijo ahli robotika, Fahmi Amhar sebagai peneliti utama
Bakorsurtanal, Mikael Satya Wirawan sebagai coordinator proyek rancang bangun
pesawat jet N-2130 PT Dirgantara Indonesia. Dan, sederet ilmuwan lainnya.
Para pemimpin dunia, baik pemimpin
pemerintahan maupun korporasi semakin mengapresiasi dan bersimpati terhadap
kegiatan ilmiah remaja. Beberapa waktu yang lalu kasus Ahmed Mohammed, seorang
pelajar di Amerika Serikat berusia 14 tahun ditangkap polisi serta diborgol di
depan kawan sekolahnya sempat menyentak perhatian dunia. Perbuatan kreatif dan
inovatif Ahmed yang membuat jam digital dalam kotak menimbulkan kecurigaan dari
gurunya yang serta merta melibatkan polisi untuk menginterogasi remaja polos
itu.
Ada pelajaran yang sangat berharga
terkait kasus Ahmed di atas. Kasus Ahmed telah mendapat perhatian luas,
termasuk dari Presiden Barack Obama, CEO Facebook Mark Zuckerberg, Google
hingga Twitter. Hasilnya Ahmed mendapat undangan silih berganti untuk berkunjung
ke Gedung Putih dan ke kantor pusat Facebook, Twitter dan Google. Bahkan,
Presiden Obama menyatakan bahwa Ahmed telah menginspirasi para anak untuk
menyukai ilmu alam.
Pengajaran IPA (Ilmu Pengetahuan
Alam) di sekolah merupakan wahana yang strategis untuk menumbuhkan inovasi
nilai dan teknologi. Pengajaran IPA secara ideal di sekolah merupakan investasi
masa depan yang tiada taranya bagi suatu bangsa. Itulah kredo yang mendasari
pemerintah Amerika Serikat yang begitu getolnya melibatkan entitas pendidik
untuk terlibat aktif dalam berbagai program riset nasional.
Seperti yang terjadi dalam misi
pesawat ruang angkasa Endeavour, di mana salah satu astronotnya adalah seorang
ibu guru IPA Sekolah Dasar yang bernama Barbara Morgan. Sudah beberapa dekade
program tersebut dilakukan. Sesuatu yang sudah biasa, jika lembaga-lembaga
ilmiah di Amerika Serikat selalu memberikan kesempatan kepada para guru sekolah
dasar dan menengah untuk terlibat. Seperti program NASA dengan misi penerbangan
pesawat Vomit Comet hingga penerbangan ruang angkasa pesawat Endeavour.
Keseriusan di atas membuahkan spirit
nasional bangkitnya inovasi dan teknologi secara berkesinambungan.
Bimo Joga Sasongko,
Pendiri Euro Management Indonesia,
Ketua Umum IABIE (Ikatan Alumni Program Habibie)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar