Hapus Stigma
Mahalnya Kuliah di Luar Negeri
Bagi sebagian orang, kuliah di luar negeri masih
dianggap mewah dan mahal. Bagi Bimo Sasongko, itu tidak sepenuhnya betul. Lahir
dari keluarga sederhana, ia mampu melewati tes program beasiswa kuliah di luar negeri
gagasan mantan Presiden Habibie. Ini menginspirasinya mnedirikan Euro
Management, lembaga pendidikan internasional yang memfasilitasi lulusan SMA
yang ingin kuliah di luar negeri. Ia juga menginisiasi ‘Gerakan Mencetak Sejuta
Habibie’ untuk beasiswa bahasa asing, beasiswa studi sarjana ke luar negeri dan
beasiswa belajar bahasa asing untuk seribu wartawan.
Sejumlah
kertas menumpuk di meja kerja Bimo Sasongko, pria berusia 44 tahun itu sudah 13
tahun memimpin Euro Management Indonesia, lembaga konsultasi pendidikan
internasional yang memfasilitasi lulusan Sekolah Menengah Atas (SMA) yang
berniat kuliah di luar negeri.
Sejumlah
karyawan, datang silih berganti, membawa berkas yang hendak ia tanda tangani,
Senin (18/7) siang. Meski menjabat kursi CEO dan direktur, meja kerja Bimo, tak
terlalu istimewa.
Jika
sebagian besar ruang kerja CEO atau direktur terletak di ruang tertutup, rapat
dengan akses ketat, lain hal dengan ruang Bimo. Posisi mejanya justru berada di
ruang tengah dan terbuka, bersinggungan dengan lalu lintas karyawan.
“Walau
pernah kuliah di luar, saya terbuka dan open
minded, ngapain harus ditutup-tutupin. Supaya mudah tatap muka (dengan
karyawan)” ujarnya. Sambil mengurai senyum, mengomentari meja kerjanya yang
‘tak biasa’, di kantornya di Jalan RP Soeroso, Menteng, Jakarta Pusat.
Dengan gaya
ceplas-ceplos dan humoris, ia menceritakan awal mula membangun lembaga yang
terkait dengan pengalaman masa lalu. Jika anak seusianya masih berpikir lurus,
Bimo remaja sudah berpikir jauh ke depan. Saat duduk di kelas satu SMA di
Bandung, ia sudah bercita-cita kuliah di luar negeri. Selama tiga tahun
sekolah, ia giat belajar untuk menembus jalur beasiswa. Sebelumnya, sempat
kuliah di Teknik Informatika di ITB Bandung, sejak Agustus-Desember 1990. Suatu
ketika, ia melihat informasi surat kabar, ada program beasiswa yang digagas
BPPT dan Habibie, Menteri Riset dan Teknologi saat itu.
Lolos Beasiswa
Setelah
mengikuti sejumlah tes di Stadion Senayan (sekarang Gelora Bung Karno), ia
lolos bersama 100 siswa lainnya. Saat itu, ada 200 ribu siswa yang mengikuti
tes. Sementara yang apply ada satu juta orang.
Setelah
terpilih, ia melanjutkan S-1 Aerospace
Engineering di North Carolina University, USA, tahun 1991-1995. Lalu ke Advanced Quality Control and Reliability di
Arizona State University, Tempe, Arizona, USA, pata 1995-1996. Terakhir
menempuh pendidikan S-3 di Fachhochschule Pforzheim, Jerman, tahun 2001-2003.
Bimo tak
menyangka bisa lolos tes. “Engga terbayang, saya lahir dari keluarga miskin dan
enggak mampu. Ibu seorang Ibu rumah tangga dan ayah tentara. Tapi saya mau maju
dan memperbaiki diri.
Sebelumnya
saya suka baca buku dan melihat keajaiban dunia, ingin melanglang buana. Level
(kuliah) di Bandung sudah bukan target saya waktu itu,” tambahnya. Praktis,
selama kuliah di negeri Paman Sam dan Panser, ia hanya menganggng biaya hidup.
Menurutnya, biaya hidup di Jerman bisa lebih ringan jika mahasiswa bisa nyambi
part time.
Mendirikan Kantor
Lulus kuliah
2003, ia kembali ke Indonesia dan bergerak. Menyewa kantor kecil di Jakarta dan
mencetak brosur untuk dibagikan ke SMA dan
tempat lain, sebagai inisiasi lembaga ini. Pernah merasakan program
beasiswa ke luar negeri, ia menyadari pentingnya menyerap ilmu pengetahuan
Negara-negara maju.
Ia satu di
antara empat ribu orang yang pernah dikirim Habibie untuk kuliah S-1 di bidang
sains dan teknologi di Sembilan Negara maju dunia. Seperti Jerman, USA,
Prancis, Belanda, Inggris, Australia, Kanada, Austria dan Jepang.
“Ini (Euro
Management) adalah nazar saya. Saya mau, bukan cuma saya yang bisa kuliah ke
luar, tapi orang lain juga,” ungkapnya.
Sejak
merintis 2003, lembaga ini sudah mengirim lebih dari 2000 siswa ke luar negeri.
Dengan akumulasi, 100-150 siswa per tahun yang dikirim ke Eropa, khususnya
Eropa dan Amerika Serikat.
Selama enam
bulan, siswa lulusan SMA dilatih sejumlah hal. Mulai dari mental, bahasa,
budaya, motivation building, hingga
bahasa. Termasuk pembuatan tiket, paspor, visa, aplikasi, hingga penjemputan di
bandara Negara tujuan.
Awal mula,
ia sempat merasakan beberapa komentar miring jika kuliah di luar negeri mewah
dan mahal. “Kata siapa kuliah di luar mahal dan mewah? Ada beberapa Negara di
Eropa, seperti Prancis dan Jerman yang gratis” ujarnya.
Manfaat Kuliah di Luar Negeri
Sekjen
Ikatan Alumni Program Habibie menyatakan, banyak manfaat didapat jika kuliah di
luar. Seperti mental teruji, mandiri, berani dan percaya diri. Namun ia tak
bermaksud mengatakan jika kuliah di dalam negeri tak penting ketimbang di luar.
“tapi kalau dibandingkan, Indonesia masih kalah dalam hal fasilitas dan system.
Enggak aka nada lingkungan asing yang bisa dibeli saat kuliah di Indonesia.
Enggak cuma dapat ilmu pengethauna, tapi bersaing di tingkat global. Semakin
tinggi pendidikan, SDM akan maju untuk bangun negeri.” Ujarnya.
Dari
catatannya, orang Indonesia yang kuliah di luar negeri masih terbatas dan
baru mencapai 60 ribu orang. Ia
membandingkan saat Habibie masih menjadi menteri, ribuan pelajar dikirm ke luar
negeri. Lalu berkurang, sejak program tersebut distop tahun 1996 pasca krisis
ekonomi.
“Harusnya
pemerintah ikut membantu dan terlibat. Banyak ormas, parpol, pemda dan lembaga
resmi lain yang punya dana lebih yang bisa diharapkan untuk member program
beasiswa ke luar negeri. Rasanya enggak cukup kalau (Euro) sendiri,” tukasnya.
Sejuta Habibie
Tak ingin
menyiakan impian Habibie, ia turut menginisiasi ‘Gerakan Mencetak Sejuta
Habibie’. Gerakan ini menyiapkan beasiswa untuk bahasa asing dan persiapan
studi sarjana ke luar negeri bagi 1000
lulusan terbaik SMA/SMK di tanah air. Bahkan ia ikut peduli dengan
mengirimkan beasiswa karyawannya yang berprestasi.
Tak hanya
siswa SMA, beasiswa juga menyasar kalangan wartawan. Enam bulan terakhir,
lembaga ini memberikan beasiwa gratis belajar bahasa asing bagi 1000 wartawan
di Indonesia selama dua semester. Khususnya Inggris, Prancis, Jerman, Belanda
dan Jepang serta TOEFL, IELTS, SAT, GMAT dan GRE periode 2016-2017.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar