Jumat, 17 Mei 2019

Segitiga Rebana dan Sistem Logistik


Pikiran Rakyat - Segitiga Rebana dan Sistem Logistik
Jum'at, 17 Mei 2019 - Hal 18

Pemerintah Provinsi Jawa Barat berusaha menyinergikan tiga kawasan yaitu Patimban, Kertajati, dan Cirebon, menjadi kawasan khusus yang diberi nama Segitiga Rebana(Cirebon, Patimban, Kertajati).

Gubernur Jawa Barat menyatakan, Bandara Internasional Jawa Barat (BIJB) Kertajati merupakan batas paling selatan segitiga tersebut. Batas utaranya Pelabuhan Patimban dan batas timurnya Pelabuhan Cirebon. Direncanakan, Segitiga Rebana terwujud pada 2021.

Kawasan Sgitiga Rebana yang diproyeksikan menjadi Special Economic Zone atau Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) membutuhkan sistem logistik yang baik. Untuk mewujudkan sistem logistik yang tangguh dan berkelas dunia, dibutuhkan SDM yang ahli dan terampil di bidang logistik.

Penekanan sistem logistik pada pembangunan Segitiga Rebana ini penting mengingat indeks logistik nasional hingga kini belum menggembirakan. Menurut Bank Dunia, peringkat Logistic Performance Index (LPI) 2018 untuk Indonesia berada di Peringkat ke-46.

Sebagai catatan, LPI merupakan indeks kinerja logistik negara-negara di dunia yang dirilis oleh Bank Dunia per dua tahun sekali. Terdapat 160 negara yang masuk penilaian tersebut. Adapun LPI didasarkan pada enam aspek yaitu, efisiensi customs & border management clearance (bea cukai), kualitas infrastruktur perdagangan dan transportasi, kemudahan pengaturan pengiriman internasional, kompetensi dan kualitas jasa logistik, kemampuan melakukan tracking & tracing, dan frekuensi pengiriman tepat waktu.

Pada prinsipnya eksistensi Segitiga Rebana untuk melancarkan proses produksi dan mempermudah ekspor dan impor. Semua itu dalam konteks perdagangan internasional.

Usaha memacu perdagangan sangat tergantung kepada sistem logistik. Perlu ditetapkan produk atau komoditas penggerak utama dalam suatu tatanan jaringan logistik dan rantai pasok, tata kelola, dan tata niaga yang efektif dan efisien.

Saatnya Jawa Barat mengintegrasikan simpul-simpul instruktur logistik, baik simpul logistik (logistics node) pun keterkaitan antarsimpul logistik (logistics link) yang berfungsi untuk mengalirkan barang dari titik asal ke titik tujuan.

Simpul logistik meliputi pelaku logistik dam konsumen, sedangkan keterkaitan antarsimpul meliputi jaringan distribusi, jaringan transportasi, jaringan informasi, dan jaringan keuangan, yang menghubungkan masyarakat perdesaan, perkotaan, pusat pertumbuhan ekonomi, baik antarpulau maupun lintas negara.

Masih rendahnya kinerja sektor logistik nasional dan daerah dipengaruhi oleh keterbatasan infrastruktur pelabuhan, pergudangan, jalan, dan lain-lain yang berdampak pada tingginya biaya operasional pengiriman barang.

Selain itu, hal tersebut dipengaruhi oleh kurang optimalnya implementasi regulasi yang mengatur logistik.

Jika regulasi sistem logistik dijalankan secara konsisten, pengiriman barang dapat lebih murah dan tepat waktu. Oleh karena itu, langkah cepat pemerintah dalam membenahi pelabuhan yang telah eksis dan pembangunan pelabuhan baru teramat penting.

Pembenahan pelabuhan jangan tersendat-sendat terutama dalam penerapan Inaportnet, yakni sistem layanan terpadu atau tunggal yang mengintegrasikan layanan kebutuhan administrasi perkapalan di instansi terkait di pelabuhan.

Inaportnet memungkinkan segala prosedur ekspor-impor lebih cepat. Penerapan Inaportnet di Indonesia diawali dengan penerapan Indonesia National Single Window (INSW) dan ASEAN Single Window (ASW). INSW yang diatur dalam Perpres Nomor 10 Tahun 2008 bertujuan untuk menyederhanakan dan mempercepat izin kepabeanan dan pengeluaran barang dalam sistem informasi yang terintegrasi antareselon, yang implementasinya belum maksimal.

Pelabuhan merupakan faktor penting untuk mendongkrak kinerja logistik nasional,tetapi kondisinya di tanah air masih belum menggembirakan. Hal itu terlihat dengan kondisi pelabuhan yang sudah eksis di Jawa Barat, seperti Pelabuhan Cirebon hingga pelabuhan terbesar di tanah air, yakni Tanjung Priok.

Data menunjukkan, Pelabuhan Tanjung Priok semakin kewalahan menjalankan fungsinya karena terkendala oleh kapasitas dan fasilitas pelabuhan. Kini Tanjung Priok tidak mampu bersaing dengan otoritas pelabuhan negara tetangga seperti Singapura, Malaysia, dan Vietnam.

Tidak mengherankan jika pelayanan dan perizinan ekspor-impor juga masih belum efektif. Kondisi yang menyedihkan itu terlihat dengan indikator antara lain waktu pengurusan barang yang masih lama, serta lead time for container import di pelabuhan itu lebih lambat dibandingkan dengan di Singapura.

Pemerintah telah membuat program gudang terintegrasi dengan nama Rumah Kita. Sayangnya, program ini belum dilakukan secara total. Sistem Logistik Rumah Kita diharapkan bisa memadukan antara kinerja pelabuhan dan armada kapal dengan entitas pasar komoditas lokal yang andal.
Faktor ketangguhan pasar komoditas sangat ditentukan oleh sistem konektivitas perdagangan, insourcing, dan ketersediaan infrastruktur dan SDM logistik dengan kompetensi tinggi. Sistem insourcing termasuk teknologi pengolahan dan pengemasan produk atau komoditas unggulan daerah.


Pemerintah Daerah perlu memikirkan tentang create economies of scale dari berbagai produk lokal, sehingga ketika produk itu bergerak dari satu daerah ke pasar harus ada skala yang ideal. Otoritas logistik perlu mengetahui modelling dari behavior supply and demand, seperti prediksi terhadap pola konsumsi ataupun hasil panen. Contohnya pada momentum emas menjelang hari raya keagamaan, mestinya harus match dengan jadwal masa tanam hingga panen komoditas. Semua itu harus terkelola dengan baik melalui  program lintas eselon.

Bimo Joga Sasongko, Alumnus FH Pforzheim Jerman



Rabu, 08 Mei 2019

Menata Sistem Imbal Beli




Oleh Bimo Joga Sasongko | Rabu, 8 Mei 2019 | 12:24

Pemerintahan mendatang perlu mewujudkan efektivitas belanja negara. Salah satu yang krusial adalah belanja barang ke luar negeri. Sebagai contoh adalah belanja alutsista TNI dan infrastruktur. Masalah belanja barang ke luar negeri perlu segera diatasi dengan menata ulang sistem pengelolaan imbal beli atau offset. Sehingga bisa lebih bernilai tambah dan menguntungkan banyak entitas di dalam negeri.

Pola imbal beli yang diterapkan oleh pemerintah mendatang perlu ditata lebih rinci dengan mewajibkan eksportir negara mitra dagang untuk membeli produk atau jasa dalam negeri. Apalagi pada saat ini ada perlambatan ekspor nasional, sehingga skema imbal beli ini bisa dipergunakan sebagai salah satu instrumen untuk penetrasi produk ekspor. Selain itu, hal ini bisa menjadi salah satu instrumen untuk mengatasi hambatan dan kendala ekspor.

Penataan sistem imbal beli yang cukup terinci terlihat pada imbal beli pengadaan 11 pesawat tempur Sukhoi SU-35 dari Rusia senilai US$ 1,14 miliar dengan barter berbagai komoditas dari Indonesia yang akan diekspor ke Rusia. Kedua negara menunjuk Rostec dan PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI) sebagai pelaksana teknis imbal beli antara pesawat Sukhoi dan berbagai komoditas dari Indonesia, seperti olahan karet, furnitur dan minyak kelapa sawit serta turunannya tersebut. Komoditas dan produk yang diekspor mesti punya nilai tambah yang tinggi.

Sehubungan dengan hal itu, saatnya merombak Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 44/MDAG/ PER/6/2016 tentang Ketentuan Imbal Beli Untuk Pengadaan Barang Pemerintah Asal Impor karena sudah tidak sesuai lagi dengan kepentingan nasional.

Skema imbal beli merupakan suatu cara pembayaran barang yang mewajibkan pemasok luar negeri untuk membeli dan atau memasarkan barang tertentu dari Indonesia sebagai pembayaran atas seluruh atau nilai sebagian barang dari pemasok luar negeri.

Selain imbal beli, skema lain yang bisa dipergunakan oleh pemerintah antara lain offset atau pembelian barang di mana pemasok luar negeri menyetujui untuk melakukan investasi kerja sama produksi dan alih teknologi.

Pemerintahan mendatang perlu membentuk lembaga lintas kementerian untuk mengelola sistem imbal beli utamanya offset terkait dengan berbagai macam belanja ke luar negeri maupun pembangunan infrastruktur. Terutama bagi pembelian dengan jumlah anggaran yang besar, seperti pembelian pesawat terbang untuk penerbangan sipil maupun keperluan militer.

Definisi offset secara umum dapat diartikan sebagai mekanisme timbal balik. Kalau kita membeli pesawat terbang senilai “X” dari negara lain, maka kita meminta timbal balik senilai “Y” dari nilai pembelian tersebut. Ketentuan, jenis dan nilai Y tersebut didetailkan oleh lembaga pengelola offset di negeri ini.

Bisa saja jenis offset berupa alih teknologi lewat pengiriman sumber daya manusia (SDM) untuk belajar keluar negeri maupun produksi bersama terkait barang yang dibeli.

Lembaga offset sebaiknya diisi oleh para ahli yang mengerti tentang alih teknologi, konsultan pendidikan internasional, serta ahli tentang bisnis dan nilai tambah industri. Lembaga offset harus mengerti betul tujuan ekonomis dari offset yang bisa memperluas lapangan kerja dan mengoptimalkan devisa ke luar negeri.

Selanjutnya, lembaga offset juga harus memahami betul tujuan alih teknologi di berbagai tingkatan. Idealnya lembaga offset dibentuk oleh Presiden dan harus mampu berkoordinasi lintas kementerian. Sehingga belanja kementerian dan lembaga negara lain ke luar negeri dengan jumlah nominal tertentu, misalnya senilai di atas Rp 300 miliar, harus ditempuh dengan mekanisme offset yang sebaikbaiknya. Begitu juga ada ketentuan offset tersendiri bagi perusahaan patungan swasta dan pemerintah, atau swasta murni, bagaimana pemberlakuan offset yang ideal.

Lembaga offset harus mampu menjalankan fungsi strategisnya yakni inventarisasi potensi yang bisa dikembangkan terkait offset. Kemudian memiliki database yang akurat terkait perusahaanperusahaan dalam negeri yang mampu menerima offset. Kemudian melakukan monitoring dan pengawasan terhadap pelaksanaan offset serta mengatasi jika ada hambatan di lapangan.

Penerapan sistem imbal beli menentukan ekonomi pertahanan suatu bangsa. Masalah yang menghambat penguatan pertahanan negara seperti pengadaan alutsista TNI pada prinsipmya disebabkan adanya distorsi ekonomi pertahanan. Hambatan tersebut perlu segera diatasi dengan memperbarui cetak biru ekononi pertahanan, mengingat geopolitik global terus berubah.

Menurut Britannica Encyclopedia, ekonomi pertahanan adalah manajemen ekonomi nasional yang terkait dengan dampak ekonomi dari belanja militer. Implikasi yang terkait dengan ekonomi per tahanan antara lain tingkat belanja pertahanan, dampak pengeluaran pertahanan terhadap produk dan lapangan kerja di dalam dan luar negeri, pengaruh belanja pertahanan dengan perubahan teknologi, serta efek stabilitas nasional dan global.

Adanya cetak biru ekonomi pertahanan yang sesuai dengan kondisi terkini sangat membantu industrialisasi bangsa. Menghadapi persaingan global yang makin sengit serta ancaman perang terbuka yang berlatar perebutan sumber daya alam (SDA) perlu konsep ekonomi pertahanan yang berbasis industri alutsista dalam negeri. Industri alutsista ini tidak sekadar merakit bersama dengan negara lain yang lebih maju. Harus ada nilai tambah yang riil, disertai dengan penguasaan teknologi dan proses industri oleh SDM lokal.

Oleh karena itu, dibutuhkan SDM yang menguasai teknologi pertahanan untuk menerapkan kemandirian industri pertahanan di Indonesia. Mereka mesti memiliki kapasitas dan kapabilitas tinggi, sehingga mampu mendukung tercapainya kemajuan teknologi alat peralatan pertahanan dan keamanan sesuai dengan perkembangan zaman.

Bimo Joga Sasongko, Pendiri Euro Management Indonesia, Alumnus FH Pforzheim Jerman.