Rabu, 27 Juni 2018

“Anak Juni” Presiden RI

Rabu 27/6/2018 | 01:00

Oleh Bimo Joga Sasongko

Bulan Juni sangat istimewa bagi Bangsa Indonesia. Juni sebagai bulan Pancasila karena lahirnya dasar negara, juga sangat istimewa karena empat dari Presiden RI lahir di bulan Juni, yYakni Soekarno, Soeharto, BJ Habibie, dan Joko Widodo. Presiden RI ketujuh, Joko Widodo, lahir Rabu, 21 Juni 1961.

Presiden pertama Soekarno lahir di Surabaya, Jawa Timur, pada 6 Juni 1901. Presiden kedua, Soeharto, pun lahir pada bulan Juni, tepatnya 8 Juni 1921 di Desa Kemusuk, Argomulyo, Bantul, Yogyakarta. Lalu, presiden ketiga, Bacharuddin Jusuf Habibie, dilahirkan pada 25 Juni 1936 di Parepare, Sulawesi Selatan. Menggantikan Soeharto yang mengundurkan diri dari jabatan presiden pada 21 Mei 1998.

BJ Habibie menjabat selama 2 bulan 7 hari sebagai wakil presiden dan hanya 1 tahun 5 bulan menjabat presiden. Namun begitu, pemerintahan BJ Habibie yang singkat itu berhasil menumbuhkan demokratisasi segala bidang di Tanah Air. Hal itu terungkap dalam diskusi dan orasi yang diselenggarakan pada 24 Juni 2018 di The Habibie Center yang bertajuk Demokratisasi tak boleh henti dalam rangka 82 tahun BJ.Habibie.

Dalam usia yang ke-82, BJ Habibie masih bersemangat memikirkan masalah SDM bangsa. Presiden RI ketiga itu lebih senang dipanggil dengan sebutan Eyang Habibie. Itu sebagai manifestasi bahwa regenerasi bangsa merupakan keniscayaan dan harus dikelola penuh totalitas.

Meskipun fisiknya semakin melemah, namun jika berbicara tentang SDM bangsa, Eyang Habibie terpompa semangatnya dan mampu bicara lantang dan runtun selama berjam-jam. Sepanjang kariernya, Eyang Habibie telah mempersiapkan berbagai wahana industrialisasi dan pusat iptek serta mencetak ribuan SDM unggul untuk menjalankan berbagai bidang pembangunan.

Begitu detailnya mencetak SDM unggul untuk pembangunan nasional. Ketika menjabat Menristek, para penerima bea siswa luar negeri maupun bea siswa dalam negeri yang menjadi programnya mendapat perhatian setiap saat. Bahkan, Eyang Habibie selalu membaca dan membubuhkan tanda tangan dan memberikan catatan kaki pada setiap laporan semester dari para mahasiswa anak didiknya. Hal itu merupakan fenomena luar biasa mengingat kesibukan dirinya sebagai seorang menteri yang merangkap puluhan jabatan penting lainnya.

Dengan berbagai cara pembiayaan, Eyang Habibie berusaha mencetak SDM kelas dunia. Betapa ngototnya Eyang Habibie untuk mendapatlan pembiayaan dari APBN hingga pembiayaan dengan caranya yang unik yakni melalui cara offset atau timbal balik bagi perusahaan asing yang mendapatkan proyek di Tanah Air. Selain offset produksi di dalam negeri, juga dilakukan dalam bentuk pendidikan dan pelatihan bagi putera-puteri bangsa ke luar negeri.

Film tentang Presiden

Kisah para Presiden RI telah diangkat dalam layar lebar. Salah satunya kisah tentang Presiden ketiga, BJ Habibie. Masyarakat luas telah menyaksikan film Rudy Habibie yang merupakan sekuel dari Habibie & Ainun. Film ini mengandung banyak pesan kebangsaan dan nilai perjuangan anak bangsa dalam menggapai cita-cita. Saat kuliah di RWTH Aachen, Jerman, kehidupan Habibie muda yang biasa dipanggil Rudy dalam kondisi penuh keprihatinan.

Di sana, dirinya tidak hanya belajar tentang teknologi penerbangan, tetapi juga mendalami arti cinta, persahabatan, dan mengkaji persoalan bangsanya bersama dengan para mahasiswa Indonesia lainnya yang tergabung dalam Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) di Eropa.

Sejak PPI Jerman didirikan pada 1956, sebagai pengurus, Rudy memiliki obsesi dan visi pembangunan yang detail. Menurutnya, PPI sebaiknya jangan terlalu berpolitik praktis, tetapi harus mulai menyiapkan wahana bangsa diberbagai bidang. Seperti bidang kedirgantaraan, maritim, ketenagalistrikan, dan wahana industrialisasi lainnya. Wahana merupakan sarana dan prasarana yang strategis untuk pembangunan bangsa yang bertumpu kepada prinsip kemandirian.

Rudy memulai perjuangannya dari Kota Bandung sejak 1950 ketika masih duduk di bangku SMA.Rudy meninggalkan Fakultas Teknik Universitas Indonesia di Bandung, lalu berjuang keras menjadi mahasiswa RWTH Aachen (Rheinisch Westfalische Technische Hochschule Aachen). Merupakan perguruan tinggi yang tertua di Jerman yang didirikan untuk menunjang tahapan revolusi industri di negeri tersebut.

Jika bangsa Indonesia konsisten menjalankan pengembangan iptek dan melakukan industrialisasi sesuai yang telah digariskan oleh Eyang Habibie dalam strategi dan transformasi, niscaya negeri ini setara dengan Korea Selatan dan Tiongkok.

Indonesia telah memiliki strategi transformasi teknologi dan industri yang dirancang oleh Menristek BJ Habibie dengan membentuk sembilan wahana industrialisasi nasional serta Pusat Pengembangan Iptek (Puspiptek) di Serpong. Strategi itu boleh dibilang kongruen atau sebangun dengan langkah bangsa Korsel dan Tiongkok. Namun, dalam perjalanannya strategi transformasi di Indonesia menjadi stagnan dan teralienasi akibat kondisi politik dan tidak adanya garis besar haluan negara menuju kemajuan yang sistemik dan terkonsep secara detail.

Saatnya Pemerintahan Presiden Jokowi menggalakkan kebijakan lokalisasi komponen oleh perusahaan multinasional yang memenangkan proyek infrastruktur sehingga prosentase Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) komponen elektronika terus meningkat dan diproduksi oleh industri nasional.

Kepemimpinan Transformatif

Warisan Eyang Habibie yang berupa wahana industri dan kader intelektual juga sangat berguna untuk menyelesaikan program nasional kelistrikan 35 ribu MW yang kini menjadi perhatian besar Presiden Jokowi. Wahana tersebut berupa PT Nusantara Turbin dan Propulsi (PT NTP) yang SDM-nya memiliki kemampuan setara dengan industri terkemuka dunia. Yakni General Electrics (GE) yang selama ini memproduksi berbagai turbin untuk pembangkit listrik, industri dan turbin gas untuk mesin pesawat terbang.

Eyang Habibie menekankan perlunya langkah improvisasi dramatis atau dikenal dengan istilah lompatan katak. Indonesia membutuhkan kepemimpinan yang transformatif. Yakni kepemimpinan yang tidak sekedar kepemimpinan politik, tetapi juga kepemimpinan yang memiliki kapasitas, pembangkit kreativitas dan daya inovasi.

Kepemimpinan transformatif harus mampu mendefinisikan kembali orientasi dan strategi pembangunan agar sesuai dengan semangat zaman. Perlu strategi pembangunan yang progresif dan transformatif yang disebut dengan istilah leapfrogging atau lompatan katak. Istilah tersebut diadopsi oleh Eyang Habibie dari kondisi dua negara yang kalah perang, yakni Jerman dan Jepang. Setelah kalah perang ternyata dua negara tersebut mampu dengan cepat mengejar kemajuan teknologi dan industri lewat lompatanlompatan yang sangat berarti.

Dalam hal daya saing SDM bangsa, sejak awal 80-an Eyang Habibie telah melakukan investasi bangsa yang sangat berharga yakni pemberdayaan kapasitas otak manusia Indonesia.

Penulis Lulusan Aerospace Engineering, North Carolina State University, Raleigh, North Carolina, USA







Selasa, 26 Juni 2018

Pilkada Serentak dan Visi Indonesia 2030


Oleh Bimo Joga Sasongko | Selasa, 26 Juni 2018 | 9:53

Pemungutan suara Pilkada serentak 2018 di 171 daerah yakni kabupaten, kota dan provinsi dilaksanakan pada 27 Juni. Pemerintah menetapkan hari pemungutan suara tersebut sebagai hari libur nasional.

Pilkada jangan sekadar mekanisme untuk rebutan kekuasaan di daerah. Tetapi harus menjadi spirit dan pendorong untuk meningkatkan kualitas kepemimpinan daerah. Bagi generasi muda empunya semangat zaman dan calon pemimpin masa depan hendaknya memetik spirit Pilkada dan jangan golput.

Generasi muda sebaiknya memilih pemimpin daerah yang memiliki mentalitas disiplin yang tinggi, ulet dan memiliki agilitas atau kegesitan meskipun menghadapi bermacam rintangan dan hambatan. Pilkada adalah pesta demokrasi yang harus dalam kondisi suka cita. Bukan kondisi yang penuh ketegangan dan saling curiga.

Kemenangan dalam Pilkada seyogianya menjadi kolektivitas kebangsaan yang mampu meraih kemenangan bangsa dalam bentuk konkret menjadi negara maju berpendapatan tinggi pada tahun 2030. Para cendekiawan dan beberapa lembaga dunia yakin dengan skenario Indonesia 2030 yang berhasil menjadi negara maju dengan pendapatan perkapita mencapai US$ 15 ribu.

Skenario itu berhasil jika segenap bangsa Indonesia mampu mewujudkan disiplin yang tinggi, pikiran yang cemerlang dan etos kerja yang hebat. Pelaksanaan Pilkada harusnya disertai dengan makna silaturahmi untuk merawat jiwa besar Persatuan Indonesia yang telah digariskan para pendiri bangsa. Dengan silaturahmi, tercipta hubungan personal maupun sosial yang lebih baik.

Dibutuhkan semangat dan nilai baru yang lebih relevan dengan perkembangan zaman. Kemajuan bangsa bisa terwujud dengan mentalitas kerja keras dan terus menerus berpikir cerdas. Semua itu demi berhasilnya skenario Indonesia 2030.

Kita perlu berpikir keras, dan terus berinovasi sembari terus melakukan tinjauan perekonomian Indonesia hingga 2030. Untuk mewujudkan skenario di atas memang sangat sulit dan berat. Betapa beratnya mewujudkan tatanan kemajuan Indonesia 2030. Kita bisa mengkaji data dari Badan Pusat Statistik (BPS) yang menyatakan tahun 2016 Produk Domestik Bruto (PDB) atas dasar harga berlaku mencapai Rp 12.406,8 triliun.

Sementara pendapatan per kapita baru mencapai Rp 47,96 juta atau US$ 3.605. Kemudian dalam rilis BPS berikutnya, perekonomian Indonesia 2017 yang diukur berdasarkan produk domestik bruto (PDB) atas dasar harga berlaku mencapai Rp 13.588,8 triliun dan PDB perkapita mencapai Rp 51,89 juta atau US$ 3.876.

Menurut kaedah yang dianut internasional, Indonesia akan menjadi negara maju pada 2030 jika memiliki klasifikasi sebagai negara berpendapatan tinggi (High Income Country/HIC) dengan pendapatan perkapita US$ 15 ribu. Untuk itu dibutuhkan SDM bangsa yang mampu mewujudkan pertumbuhan ekonomi yang stabil tinggi dengan sumber pertumbuhan yaitu sektor manufaktur yang tangguh dan bernilai tambah tinggi.

Ada sementara pihak yang kurang yakin dengan skenario Indonesia 2030 bisa terwujud karena melihat data yang mustahil bisa dicapai. Mengingat butuh keajaiban untuk mewujudkan per tumbuhan ekonomi rata-rata sebesar 13% guna mencapai pendapatan perkapita US$ 15 ribu dengan pertimbangan depresiasi rupiah 0,8% dan pertumbuhan penduduk 1,1%.

Kalangan yang pesimis menyatakan bahwa angka-angka di atas mustahil atau sulit diwujudkan. Namun sebagai bangsa pejuang yang dilandasi dengan keimanan yang tinggi kita harus yakin terhadap skenario kemajuan Indonesia 2030.

Untuk itu segenap bangsa harus bekerja keras dan memeras pikiran agar Indonesia tidak terjebak sebagai negara berpendapatan menengah (Middle Income Trap/MIT) yang menyebabkan tidak bisa masuk sebagai negara industri maju berpendapatan tinggi. Karena kehilangan sumber dan power yang mampu mendorong pertumbuhan ekononi lebih cepat dari laju inflasinya.

Untuk lepas dan terbebas dari jebakan MIT tidak ada jalan selain menyiapkan SDM bangsa yang inovatif dan berdaya saing Iptek. SDM bangsa tesebut harus mampu mewujudkan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang bersumber pada industri manufaktur dengan mesin penggerak produktivitas yang tinggi. Platform nilai tambah produksi yang tinggi dan terwujudnya UMKM berorientasi ekspor, itu merupakan keniscayaan untuk mewujudkan skenario Indonesia 2030.

Spirit Pilkada menjadi pembaruan tata kelola diri, organisasi dan pemerintahan ke depan untuk lebih maju dari sebelumnya. Spirit Pilkada juga menjadi pendorong untuk meningkatkan kualitas kecendekiawanan, baik kecendekiawanan birokrasi, keluarga, hingga para pelajar dan mahasiswa yang kelak akan menjadi pemimpin masing-masing di bidangnya.

Makna Pilkada juga sangat penting untuk memperbarui program reformasi pendidikan di daerah. Meskipun anggaran pendidikan nasional sudah mencapai 20% dari APBN, tetapi belum menghasilkan postur ideal SDM nasional yang berdaya saing global. Karena kemampuan pejabat dan SDM daerah masih belum sesuai dengan standar tata kelola pendidikan. Reformasi pendidikan adalah kunci kebangkitan suatu bangsa.

Kebangkitan nasional bisa diwujudkan, seperti prediksi lembaga internasional PricewaterhouseCoopers (PwC) yang merupakan konsultan dan jasa profesional terbesar di dunia saat ini. PwC pada tahun 2017 mengeluarkan hasil kajian dan prediksi bahwa Indonesia berdasarkan Market Exchange Rate (MER) diproyeksikan pada tahun 2030 akan menjadi peringkat ke-9 PDB terbesar di dunia atau menjadi peringkat ke-8 berdasakan Purchase Power Parity (PPP).

Prediksi PwC tersebut bisa menjadi kenyataan dengan syarat jika bangsa Indonesia memiliki strategi pembangunan yang tepat yang didukung oleh tersedianya jumlah SDM terbarukan berdaya saing Iptek.

SDM tersebut tidak hanya berprofesi sebagai birokrat, tetapi yang lebih penting SDM unggul tersebut juga mau terjun secara total sebagai pengusaha atau wiraswasta berbasis lokal. Sesuai dengan teori pakar ekonomi David Mike Dallen yang menyatakan bahwa suatu negara akan bangkit dan terwujud kemakmuran bila jumlah pengusaha cukup tinggi.

Pada saat ini jumlah pengusaha Indonesia baru 3,10% dari total jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 225 juta. Sebagai pembanding, jumlah pengusaha di Singapura telah mencapai 7,2%, Malaysia 5%, dan Thailand 4,5%.

Dengan demikian untuk mencapai kebangkitan dan kemakmuran di Indonesia perlu meningkatkan sepuluh kali lipat atau mencetak lagi sekitar 8 juta start-up atau perusahaan rintisan selama tiga tahun ke depan.

Bimo Joga Sasongko, Ketua Umum IABIE. Pendiri Euro Management Indonesia.





Sabtu, 23 Juni 2018

Revitalisasi Pelayaran Rakyat



Bimo Joga Sasongko
Ketua Umum IABIE, Pendiri Euro Management Indonesia
Musibah tenggelamnya kapal motor (KM) Sinar Bangun di perairan Danau Toba menimbulkan duka seluruh bangsa. Ada hikmah yang besar dari musibah tersebut, yakni perlu segera revitalisasi pelayaran rakyat (Pelra).
Kondisi Pelra kini didera berbagai persoalan krusial. Perlu program revitalisasi yang tidak hanya membutuhkan dana besar, tetapi juga persiapan SDM kompeten terhadap pengadan dan peremajan kapal rakyat.
Sebenarnya sudah banyak SDM ahli perkapalan yang dimiliki bangsa Indonesia. Mereka lulusan dalam dan luar negeri yang mampu mendesain berbagai jenis kapal yang cocok untuk Pelra.
Kesulitan aspke desain, produksi dan bahan baku yang selama ini menjadi kendala sebenarnya sudah ada solusinya. Bahan baku konstruksi kapal rakyat dari kayu pilihan selama ini merupakan kendala terbesar.
Namun, kini sudah ada solusinya dengan material baru yang lebih feasible dan mudah diproduksi. Selain masalah desain dan produksi, pelayaran rakyat juga dihadang masalah kompetensi para pelaut.
Perlu program aksi masif untuk memberikan pendidikan bagi SDM pelayaran yang selama ini beroperasi tanpa pengetahuan pelayaran memadai. Satnya memberikan pelatihan gatis bagi puluhan ribu pelaut.
Ini untuk meningkatkan kompetensi pelaut di Pelra agar mereka bisa berlayar lebih aman dan paham ilmu pelayaran.
Pembenahan Pelra yang pernah dirancang oleh Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) kini masih tersendat. Perlu akselerasi karena kondisi Pelra semakin rawan kecelakaan fatal.
Revitalisasi juga bisa meningkatkan konektivitas laut di Tanah Air menjadi lebih efisien dan efektif. Operasional dan layanan Pelra selama ini tidak terjadwal dengan baik. Pelayaran masih berdasarkan pesanan.
Implikasi negatifnya banyak, antara lain tidak adanya manifest penumpang dan barang. Kalau terjadi kecelakaan seperti kasus KM Sinar Bangun, sulit ditangani dengan cepat. Dalam operasionalnya, Pelra mengalami dilemma okupansi dan pemborosan bahan bakar.
Masalah ini sama dengan yang dialami perusahaan kapal niaga nasional dan BUMN, yakni kapal dalam perjalanan kembali dalam kondisi kosong setelah mengantar penumpang dan barang.
Untuk itu, pemerintah juga harus memberikan insentif atau subsidi beban operasional karena kapal pulang kososng tanpa muatan. Perlu cetak biru bagi pelayaran rakyat sesuai karakter daerah. Selama ini, cetak biru Pelra belum jelas bentuk ataupun gambar desainnya.
Implikasinya, kalau gambar desainya tidak ada, tidak ada perusahaan asuransi yang mau menjamin jika terjadi kecelakaan atau tenggelam.
Berdasarkan Undang- Undang Nomor 17/2008 tentang Pelayaran PAsal 15 ayat 1 dan 2, perusahaan Pelra pada umumnya identik dengan konstruksi kapal kayu yang dioperasikan pelaut tradisional atau bakat alami dengan model manajemen yang sangat sederhana.
Sedangkan menurut Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 93/2013 tentang penyelenggaraan angkutan laut yang menggunakan kapal layar tradisional yang sepenuhnya digerakkan  tenaga angin, kapal layar motor berukuran sampai 500 GT (gross tonnage) yang digerakkan  tenaga angin sebagai pengerak utama dan motor sebagai tenaga penggerak bantu, serta kapal motor dengan ukuran antara 7 GT sampai 35 GT.
Menurut pengurus organisasi pelayaran rakyat, eksistensi kapal Pelra kian tersingkir dan dieliminasi dari aktivitas logistic. Akibatnya, jumlah kapal kian menyusut. Dalam tiga tahun terakhir, menyusut hingga 50 persen karena krisis permodalan dan dipinggirkan sebagai moda angkutan dan usaha logistik.
Langkah pertama program revitalisasi Pelra adalah menetapkan standar nasional kapal pelayaran rakyat dengan bobot yang sesuai kondisi alam, jalur pelayaran, serta operasional mereka sebagai feeder kapal  niaga nasional khususnya untuk angkutan perbatasan, daerah perairan pedalaman, dan program rintisan.
Adapun bobot kapal yang perlu standarisasi dan penataan ulang supaya tidak timbul konflik kepentingan dengan kapal niaga nasional adalah maksimal 174 GT untuk angkutan antarpulau ( dibawah bobot kapal niaga nasional) atau maksimal 35 GT untuk angkutan perairan pedalaman atau sesuai level air.
Perlu peningkatan jumlah serta kualitas SDM sesuai kompetensi standar keselamatan dan keamanan transportasi. Proyeksi kebutuhan SDM pelayaran hingga 2019 mencapai 1,3 juta orang.
Tingginya kebutuhan SDM pelayaran, baik untuk memenuhi kebutuhan perhubungan laut nasional maupun asing memerlukan dukungan peningkatan kualitas serta kapasitas Sekolah Tingi Ilmu Pelayaran, Politeknik Ilmu Pelayaran, dan lainnya.
Perlu link and match antara lembaga pendidikan dan riset dengan industri transportasi , serta regulator untuk mendukung terwujudnya sistem pelayaran nasional berkelas dunia. Perlu SDM shiping and ship building dan perombakan diklat pelaut.
Sebagai negara maritim, Indonesia perlu mengembangkan SDM bidang kemaritiman ahli. BPPT sebaiknya konsolidasi kompetensi dan merangkul kembali SDM ahli yang pernah disekolahkan di luar negeri.
Banyak ahli kemaritiman dan teknik perkapalan yang pernah diberikan beasiswa ke luar negeri oleh Menristek BJ Habibie pada era 80-an. Tentunya, mereka pada saat ini kompetensinya sudah sangat mumpuni.
Dengan demikian, mereka sangat tepat membantu revitalisasi Pelra dan program nasional kemaritiman yang lain. Dibutuhkan pula, penyiapan infrastruktur pendidikan dan tenaga pendidik yang ahli dalam bidang kemaritiman.
Selain itu, wahana pengembangan dan pemberdayaan pendidik dan tenaga kependidikan bidang kelautan. Ada beberapa faktor yang masih menjadi masalah pelik dalam pengembangan pendidikan kemaritiman.
Masalah yang krusial adalah pemenuhan guru produktif serta perbaikan infrastruktur pendidikan maritim.
Saat ini, banyak guru di SMK kemaritiman yang sejatinya bukan guru produktif, melainkan dikaryakan menjadi  guru produktif.
Selain itu, SMK kemaritiman di Indonesia juga masih kekurangan laboratorium dan peralatan praktik. Ini tentu mempengaruhi kompetensi lulusan SMK di bidang kemaritiman di dunia kerja.
Peralatan seperti simulator kapal untuk praktik siswa bisa diadakan melalui kerjasama dengan BPPT dan industry strategis, seperti PT LEN, PT DI, dan PT PAL.
Simulator yang digunakan dalam pembelajaran di SMK bidang kemaritiman sesuai standar kinerja yang sudah disusun BPSDM Kemenhub dalam hal penggunaan simulator dalam pembelajaran.