Senin, 27 Februari 2017

Kunjungan Raja Salman dan Investasi



Kunjungan Raja Salman dan Investasi
Oleh  :  Bimo Joga Sasongko  *)

Kunjungan Raja Salman bin Abdulaziz Al Saud dari Arab Saudi membuka lebar pintu investasi. Butuh kejelian dan strategi investasi agar bisa menangkap peluang tersebut.
Kunjungan Raja Salman berlangsung pada 1-9 Maret 2017. Raja akan menetap di Jakarta selama tiga hari kemudian mengunjungi Pulau Bali. Presiden Joko Widodo juga akan menganugerahkan bintang kehormatan tertinggi Republik Indonesia kepada Raja Salman.
Perlu intelijen investasi agar proposal yang disodorkan cocok dengan arah baru pembangunan yang tertuang dalam Visi 2030 Arab Saudi.
Peran intelijen investasi sesuai dengan tekad Presiden Jokowi agar BUMN dan swasta bisa menerobos pasar nontradisional atau pasar yang baru di berbagai belahan dunia. Termasuk peluang yang telah disodorkan oleh rombongan Raja Salman.
Tidak mudah merebut peluang, apalagi investor Saudi selama ini kebanyakan bukan jenis investor yang agresif. Indonesia perlu memperbanyak SDM intelijen investasi.
Tindakan investasi pada prinsipnya membutuhkan analisis menyeluruh untuk menjamin keamanan dana pokok dan mampu memberikan keuntungan yang memadai. Tindakan yang tidak memenuhi persyaratan diatas berarti tindakan spekulasi.
SDM intelijen investasi haruslah sosok yang mumpuni dan mengerti secara detail peluang investasi disuatu negara. Biasanya yang cocok dengan spesifikasi diatas adalah para diaspora Indonesia yang menjadi pelaku investasi atau telah bekerja pada perusahaaan internasional.
Mereka juga bisa dari kalangan teknolog, peneliti atau kalangan mahasiswa Indonesia di luar negeri. Kini Arab Saudi tidak lagi mengedepankan sektor minyak dan gas semata, tetapi menekankan pentingnya diversifikasi perekonomian.
Arab Saudi ingin menjadi hub logistik tiga benua, yakni Asia, Afrika dan Eropa. Untuk itu sedang gencar membangun infrastruktur pelabuhan laut dan udara yang paling maju di kawasan.
Salah satu diversifikasi ekonomi yang dilakuan pemerintah Saudi adalah pengembangan sektor pariwisata. Pada April 2016 lalu Pangeran Sultan Bin Salman, Ketua Komisi Pariwisata dan Warisan Nasional (SCTH) Arab Saudi telah  meluncurkan Program Pasca Umroh.
Sebuah inisiatif yang memungkinkan jamaah umrah untuk mengkonversi visa mereka ke visa turis. Sektor pariwisata sangat cocok menjadi kerjasama investasi unggulan antara Indonesia dengan Arab Saudi.
Apalagi dalam lawatan kali ini Raja Salman melakukan liburan wisata yang cukup lama di Pulau Bali dan destinasi wisata disekitarnya. Saatnya proposal investasi yang diajukan oleh Indonesia Incorporated tidak didominasi sektor migas saja.
Sebenarnya Presiden Joko Widodo telah membentuk menteri penghubung untuk melancarkan kerja sama dan investasi dari luar negeri. Sepuluh orang menteri Kabinet Kerja dan dua kepala badan (BKPM dan Bekraf) diberi tugas mengatasi hambatan investasi.
Namun langkah tersebut belum efektif karena kurangnya jumlah SDM intelijen investasi. Ada gagasan agar pegawai Kementerian Luar Negeri ditransformasikan menjadi intelijen investasi, namun belum memenuhi spesifikasi yang diharapkan.
Idealnya intelijen investasi masing-masing bertanggung jawab terhadap kawasan tertentu. Pembagian kawasan yang sangat beragam tersebut tentunya membutuhkan banyak tim intelijen investasi yang setiap saat bekerja secara detail.
Peran menteri penghubung investasi kurang optimal dan sulit bertindak detail tanpa didukung oleh tim expert yang tangguh dan kredibel. Untuk menarik investor dari luar negeri tidak cukup hanya dengan mengatasi hambatan birokrasi dan perijinan.
Perlu pendekatan nilai dan laporan hasil riset yang ditujukan kepada investor potensial. Untuk merebut peluang investasi ditentukan oleh kemampuan tim untuk memahami konsep value investment diberbagai negara.
 Pakar investasi gobal Benjamin Graham yang juga dijuluki sebagai bapak value investing menyatakan bahwa investasi membutuhkan analisis yang komprehensif terkait dengan rasio investasi, metodologi valuasi serta mencari nilai untuk menjustifikasi spekulasi.
SDM intelijen investasi harus mampu mengeksplorasi beragam jenis metode valuasi investasi untuk menangkap peluang bisnis dan investasi. Mereka harus memahami dan akrab dengan para fund manager top dunia.
Williaam Browne salah satu super investor global dari Tweedy Browne Company menyatakan bahwa investasi itu adalah ilmu sosial untuk menemukan bisnis yang memiliki probabilitas tinggi untuk bertahan di pasar.
Untuk itu Browne menyatakan dibutuhkan banyak intelijen investasi sebagai analis yang bertugas mencari ide-ide investasi. Setiap anggota memiliki dimensi dan latar belakang yang berbeda serta fokus kajian pada negara yang berbeda.
Apalagi perkembangan teknologi informasi mendorong terbentuknya perdagangan frekuensi tinggi dan ETF ( exchange traded funds) yang menyebabkan lebih banyak likuiditas ke pasar dan meningkatkan spread saham. Tentunya hal ini harus dikuasai.
          SDM intelijen investasi sebaiknya juga direkrut dari warga negara yang memiliki kompetensi hi-tech dan karya inovasi yang bisa dijadikan start-up nations dan secara periode waktu sepak terjangnya sudah mengalamaai fase maturitas.
Mereka itu antara lain adalah para penerima beasiswa Menristek BJ Habibie yang pada era tahun 80-an dikirim negara untuk kuliah di luar negeri. Selain itu juga ada sejumlah teknolog dan para mantan pengelola BUMN industri strategis yang sarat hi-tech yang kini banyak bekerja di luar negeri.
Ada baiknya SDM intelijen investasi mencontoh  kehebatan SPARX Group yang merupakan perusahaan holding manajemen aset di Jepang. SPARX adalah singkatan dari Strategic Portfolio Analysis Research eXperts (Ahli Riset Analisis Portofolio Strategis) yang dirintis oleh Shuhei Abe.
Perusahaan ini memiliki metode yang sangat bagus untuk melahirkan ide-ide investasi yang spektakukler dan sangat menguntungkan. SPARX menghasilkan banyak riset tentang investasi yang sangat kredibel dan berpengaruh dalam tataran global.
Salah satu laporan riset yang terkenal berjudul “ Takeover Opportunities in Japan”. Laporan riset tersebut berhasil menggaet banyak investor ke Jepang.
Selama ini Shuhei Abe berhasil mengembangkan investasi yang luar biasa di sektor logistik, perkeretaapian dan properti di Jepang. Kunci sukses SPARX adalah mengirimkan banyak laporan riset hasil kerja intelijen investasi. Laporan tersebut memancarkan  ide-ide investasi yang hebat pada waktu yang tepat.

 *) BIMO JOGA SASONGKO, Lulusan North Carolina State University. Ketua Umum IABIE. Wakil Sekjen ICMI.



Rabu, 22 Februari 2017

Mencetak SDM Pengelola Industri



Mencetak SDM Pengelola Industri
Oleh  :   Bimo Joga Sasongko   *)

         Saatnya Indonesia memacu industrialisasi manufaktur untuk memenuhi kebutuhan domestik dan ekspor. Sayangnya negeri ini kekurangan tenaga ahli dan terampil untuk berbagai sektor industri. Ketika industri manufaktur memasuki tahap yang lebih bernilai tambah, SDM yang tersedia tidak mampu mengikuti kecepatan perubahan industri.
Laporan McKinsey Global Institute tentang Indonesia menyatakan bahwa sebagian besar pemilik industri mengalami kesulitan mendapatkan SDM ahli untuk mengelola industri.
Kajian McKinsey juga menyatakan bahwa potensi Indonesia agar ekonominya mampu tumbuh 6% pertahun maka harus mencetak SDM yang memiliki kemampuan yang andal dalam mengelola industri yang bernilai tambah tinggi. SDM tersebut untuk berbagai lini, dari level manajemen hingga tenaga kerja dilapangan yang dididik secara spesifik. Pada 2030 diproyeksikan kebutuhan SDM diatas hingga mencapai 113 juta orang.
Hal yang senada juga dinyatakan oleh Bank Dunia yang mendapatkan fakta bahwa 84% pemberi kerja di sektor manufaktur kesulitan mendapatkan karyawan untuk posisi manajerial dan 69% pemberi kerja mengaku kesulitan mendapatkan tenaga kerja terampil.
Tahun 2017 sektor industri di negeri ini perlu totalitas membenahi industri pengolahan atau manufacturing industry dari skala industri besar hingga UMKM. Dalam konteks industri pengolahan, keunggulan itu berupa peningkatan nilai tambah ekonomi lokal secara signifikan dan dirasakan langsung oleh rakyat luas. Masalah ini tidak hanya menjadi beban pemerintah pusat, pemerintah daerah juga harus berpikir dan berusaha keras terhadap industri di daerahnya.
Kebijakan pengetatan impor harus terus dilakukan oleh pemerintah untuk berbagai jenis komoditas. Hal  itu bertujuan agar produk impor semakin sulit masuk ke Indonesia sehingga mendorong investasi untuk membangun pabrik dan tumbuhnya industri-industri yang mampu mensubstitusi produk impor.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), total nilai impor Indonesia pada November 2016 mencapai US$ 12,66 miliar atau naik 10% dibandingkan bulan sebelumnya, demikian juga jika dibandingkan November 2015 (year on year/yoy) naik 9,88%. Dari sisi negara asal barang impor nonmigas pada Januari-November 2016, Tiongkok menduduki posisi teratas dengan nilai US$ 27,55 miliar dan pangsa pasar 26,04%, Jepang US$ 11,84 miliar (11,20%), dan Thailand US$ 7,95 miliar (7,52%). Sedangkan impor nonmigas dari Asean mencapai pangsa pasar 21,57%, sementara dari Uni Eropa 9,18%.
Data menunjukkan bahwa terjadi penurunan kemampuan industri nasional menyeimbangkan neraca nilai impor ekspor secara signifikan. Secara makro ketidak seimbangan ini disebabkan oleh masalah efisiensi dan masalah produktivitas. Perlu merumuskan kembali strategi dasar pelaku industri. Seperti strategi biaya produksi rendah (low cost leadership strategy), strategi segmentasi pasar (focus strategy) dan strategi diferensiasi produk (differentiated product strategy).
Pada era sekarang ini faktor kegesitan atau agilitas industri merupakan keniscayaan. Untuk mewujudkan kegesitan industri nasional dibutuhkan SDM yang mampu mengembangkan fleksibilitas dan kapabilitas manufaktur.
Ada pergeseran paradigma dalam industri manufaktur yang meliputi beberapa tahap, Pertama, Craft Production, yakni penyelesaian kerja secara individual dengan basis job by job. Kedua, Mass Production, yakni produksi dilaksanakan untuk memproduksi barang dalam jumlah yang besar, variasi produk minimal dan meningkat ketika ada peningkatan waktu. Ketiga, Lean Production, yakni penerapan prinsip JIT dan mengurangi kegiatan yang sia-sia untuk meminimalkan biaya produksi. Keempat, Agile Manufacture, yakni menekankan pada upaya untuk mengurangi waktu yang didukung oleh kemampuan SDM.
Pemerintah menekankan perlunya memperkuat pendidikan vokasional untuk memenuhi kebutuhan industri. Perlu sinergi yang detail antar kementerian juga dengan perusahaan yang bisa mewujudkan link and match. Untuk mewujudkan itu perlu kerjasama antara ikatan sekolah kejuruan, dunia usaha atau industri yang diwakili oleh KADIN serta praktisi atau ahli teknologi yang memiliki pengalaman tentang transformasi industri dan teknologi di negara maju. Konsep link and match pernah dirumuskan oleh Wardiman Djojonegoro yang pernah menjadi Mendikbud Kabinet Pembangunan VI. Pada saat ini konsep tersebut masih relevan.
Perspektif link menunjukkan proses. Yang berarti bahwa proses pendidikan selayaknya sesuai dengan kebutuhan pembangunan, sehingga hasilnya pun cocok (match) dengan kebutuhan tersebut. Baik dari segi jumlah, mutu, jenis, kualifikasi maupun waktunya. Sistem pendidikan nasional sejak Indonesia merdeka hingga kini belum mampu memenuhi tuntutan dunia usaha dan industri.
Revitalisasi dan reorientasi pendidikan vokasional telah menjadi agenda penting. Presiden Joko Widodo menekankan perlu langkah cepat terhadap vokasional utamanya yang ada di pelosok Tanah Air. Dengan cara menyiapkan sekolah atau pelatihan kejuruan sesuai dengan kebutuhan industri dan dunia usaha. Khususnya vokasional yang terkait sektor industri unggulan.
Langkah pemerintah yang berusaha meningkatkan produktivitas nasional lewat revitalisasi program pendidikan vokasional sebaiknya dilakukan secara komprehensif. Utamanya dengan menambah jumlah guru kejuruan dan meningkatkan kompetensinya. Dengan cara mengirimkan guru-guru SMK ke negara maju yang memiliki industri yang kuat dan mendunia.
Program vokasional berbasis apprentice adalah kunci suksesnya industrialisasi di negara maju. Sedangkan di Indonesia juga pernah diterapkan sistem Apprentice untuk memenuhi kebutuhan SDM industri dalam durasi yang singkat. BUMN industri strategis, seperti PT Dirgantara Indonesia (PT DI), PT PAL, PT Krakatau Stel pernah mencetak ribuan teknisi ahli yang direkrut dari lulusan SMA dan SMK menjadi SDM industri yang spesifik dan sesuai dengan kebutuhan.
Apprenticeship dalam istilah bahasa Indonesia bisa disederhanakan artinya menjadi pemagangan. Apprenticeship adalah bentuk unik dari pendidikan kerja, yang mengkombinasikan pelatihan di tempat kerja dengan pembelajaran berbasis di sekolah, terkait kompetensi dan proses kerja yang ditentukan secara khusus.
Durasi apprenticeship biasanya lebih dari satu tahun dan bahkan di beberapa negara berlangsung selama empat tahun. Pendekatan organisasi buruh sedunia ILO untuk apprenticeship adalah mekanisme pembelajaran canggih atas dasar saling percaya dan kerjasama antar pemangku kepentingan.
Pemagangan berbasis link and match sebaiknya menekankan prinsip desentralisasi. Ini bisa sukses dengan catatan pemerintah daerah harus benar-benar siap secara teknis maupun kelembagaan. Desentralisasi juga menjadi momentum untuk membenahi standardisasi sekolah menengah, terutama SMK. Standardisasi sekolah kejuruan sangat beragam dan tidak sama setiap daerah.
Perlu dana yang cukup besar untuk menata pendidikan vokasional yang notabene akan memperluas portofolio kompetensi ketenagakerjaan di Tanah Air. Hal itu sebagai solusi untuk mengatasi pertumbuhan angkatan kerja di Indonesia yang sekitar 2,9 juta per tahun, sebagian besar atau sekitar 80% di antaranya adalah tenaga kerja yang kurang terlatih.
Sektor industri pengolahan saatnya memiliki kontribusi yang signifikan bagi perekonomian Indonesia. Tercatat bahwa kontribusi sektor pengolahan dalam perekonomian Indonesia mencapai puncaknya pada 2004 ketika kontribusi sektor tersebut mencapai kisaran 28%. Meskipun begitu, secara komparatif angka itu bisa dikatakan masih tergolong rendah jika dibandingkan dengan negara lain. Sebagai contoh, puncak dari kontribusi sektor pengolahan di Jepang adalah sekitar 36%, di Uni Eropa sekitar 32% dan di negara-negara industri maju sekitar 30%.
Saatnya bagi pemerintah daerah untuk merancang sebaik-baiknya link and match antara lembaga pendidikan kejuruan dan sektor industri. Dengan itu Pemda bisa mengembangkan tenaga kerja serta portofolio kompetensi dan profesi yang cocok bagi warganya. Khususnya portofolio yang berbasis sumber daya lokal.

*) BIMO JOGA SASONGKO, Ketua Umum IABIE. Pendiri Euro Management Indonesia.


Rabu, 08 Februari 2017

Pengembangan SDM Jurnalistik



Pengembangan SDM Jurnalistik
Oleh  :  Bimo Joga Sasongko

Peringatan Hari Pers Nasional (HPN) merupakan momentum untuk pengembangan sumber daya manusia (SDM) bangsa dibidang jurnalistik. Kompetensi wartawan harus selalu ditingkatkan karena tantangan yang dihadapi semakin kompleks. Pengembangan SDM jurnalistik sangat penting mengingat persaingan global semakin sengit. Kemampuan wartawan untuk berbahasa asing juga harus ditingkatkan melalui pendidikan atau kursus bahasa asing yang berkualitas. Kursus itu juga mengenai seluk beluk kebudayaan dan cara hidup suatu bangsa yang telah meraih kemajuan.
Pengembangan SDM jurnalistik juga menjadi tanggung jawab pemerintah. Apalagi, Presiden Joko Widodo akhir-akhir ini sempat kecewa dengan kineja komunikasi publik oleh para pembantunya. Sehingga menyebabkan berita hasil pembangunan dan kebijakan pemerintah belum optimal bahkan sering tenggelam oleh berita hoax. Presiden berharap agar para menteri dan pejabat lainnya meningkatkan kemampuan komunikasi publiknya dengan cara bersinergi lebih baik lagi dengan para jurnalis.
Para Presiden RI memiliki cara dan gaya tersendiri untuk membantu meningkatkan kompetensi para wartawan. Seperti halnya kiat Presiden RI ketiga BJ Habibie yang sering mengajak langsung rombongan watawan untuk mengunjungi pusat peradaban unggul dunia dan industri canggih di negara maju. Agar mereka mengetahui dan bisa menulis secara detail tentang transformasi teknologi dan industri. Banyak wartawan yang diberi kesempatan magang di negara maju oleh Presiden BJ Habibie.
Peringatan HPN secara rutin diwarnai dengan penyerahan anugerah jurnalistik dan pers, bakti sosial, dan hiburan rakyat. Rangkaian peringatan kali ini sebaiknya juga merumuskan perlindungan bagi wartawan. Perlindungan profesi selain meningkatkan kompetensi hadapi persaingan global juga menyangkut aspek keselamatan kerja dan bentuk asuransi saat bertugas dilapangan. Terutama saat menghadapi situasi genting. Berbagai kejadian di dunia mengakibatkaan terluka atau tewasnya sejumlah wartawan yang melakukan tugas jurnalistik.
Masih hangat dalam ingatan kita tentang tewasnya beberapa wartawan media masa cetak dan elektronik dalam mengikuti joy flight pesawat terbang jenis SSJ-2011 yang menabrak gunung di daerah Bogor beberapa tahun yang lalu. Itu merupakan tragedi tugas profesi yang perlu dipikirkan lebih lanjut.
Acap kali keteguhan wartawan dalam meliput melampaui kewajiban profesinya. Karena media masa cetak maupun elektronik tergolong entitas industri maka kematian diatas merupakan kecelakaan kerja. Selama ini para jurnalis dihinggapi dilema, yakni antara kewajiban profesi dengan faktor keselamatan kerja. Padahal, faktor keselamatan kerja merupakan keharusan manusiawi sekaligus aturan yang tidak boleh diabaikan oleh segenap jurnalis media masa.
Berbagai peristiwa yang terjadi, seperti bencana alam, kerusuhan massa, musibah kecelakaan transportasi dan peristiwa di daerah konflik bersenjata membuat naluri jurnalistik sulit dikendalikan. Lalu, menerjang mara bahaya yang jelas terlihat maupun yang sedang mengintip. Dengan peralatan jurnalistiknya mereka berburu berita, video dan gambar eksklusif.
Apa yang telah dilakukan para jurnalis diatas memiliki dua sisi nilai sekaligus, yaitu herois dan tragis. Dikatakan tragis karena kurang menyadari dan mudah mengabaikan aspek keselamatan kerja. Padahal, masalah keselamatan kerja jurnalis sudah diatur sedemikian rupa. Untuk itu para wartawan harus mendapatkan pelatihan dan perlindungan keselamatan yang baku.
Dalam konteks peliputan bencana alam, peperangan, kecelakaan, kerusuhan sosial dan politik,  naluri jurnalistik tidak bisa dicegah oleh siapapun. Kondisi tersebut dalam domain etika dan profesi lazim disebut dengan istilah conundrum. Yaitu suatu kondisi yang sedemikian kompleks sehingga sangat sulit untuk dicarikan solusinya.
Dalam diskursus etika dan profesi yang berkaitan dengan profesi jurnalistik, terdapat dua pendirian untuk menjelaskan situasi dilematis yang dihadapi SDM jurnalistik. Sebagaimana yang dikemukakan oleh John C. Merril dalam bukunya yang berjudul Controversies in Media Ethics.  Dua hal tersebut adalah; pertama, apa yang dinamakan sebagai pendirian profesional. Pendirian ini menyatakan bahwa jurnalis harus mengutamakan kewajiban profesinya serta mengalahkan pertimbangan-pertimbangan lain yang dianggap menghambat dan menggugurkan profesionalitasnya, termasuk di dalamnya adalah pertimbangan yang bersifat manusiawi. Ini dengan alasan bahwa profesi merupakan pilihan tertinggi yang tidak boleh dikalahkan oleh alasan apa pun.
Kedua, adalah apa yang disebut sebagai pendirian kemanusiaan. Pendirian ini mengemukakan bahwa jurnalis sebaiknya lebih mempertimbangkan dampak atau konsekuensi yang muncul saat mencari berita maupun dampak pemberitaannya. Sepenting apa pun kewajiban profesional itu dapat digugurkan dengan alasan kemanusiaan. Antara pendirian profesional yang bersifat absolut serta pendirian humanistik yang bercorak relativistik, tampaknya, sangatlah bertentangan.
Aspek profesionalisme seakan-akan mendorong sekaligus memerintahkan jurnalis untuk mengeleminasi aspek humanisme. Sebaliknya, aspek humanisme dengan sendirinya memberikan peluang bagi jurnalis untuk bersikap permisif dan selalu minta untuk dimaafkan apabila telah dianggap menyalahi norma dan aturan.
Problema keselamatan kerja bagi jurnalis sebenarnya sudah banyak dibahas dan dicarikan solusi konkretnya. Bahkan resiko tinggi seperti liputan di daerah konflik bersenjata sudah ada solusi konkretnya yang berupa engineering directive maupun berbagai pemahaman lainnya. Misalnya, jurnalis yang bertugas ke wilayah konflik bersenjata harus membekali diri dengan pengetahuan pendukung seperti teknik survival, kemampuan berbahasa dan budaya, sosiologi, psikologi, hukum, forensik, dan bahkan balistik.
Tentu saja yang tidak boleh dilupakan adalah membawa peralatan dan keperluan lain seperti makanan dan obat-obatan selama melakukan liputan. Namun, banyak pengusaha industri media masa, baik cetak maupun elektronik yang belum memperhatikan secara baik aspek keselamatan kerja bagi SDM-nya. Pada prinsipnya, jurnalis juga merupakan pekerja industri. Implikasinya sama dengan para pekerja industri di Indonesia lainnya yang mana sekarang ini juga masih dibelit dengan berbagai persoalan keselamatan kerja.
Laporan Organisasi Buruh Sedunia (ILO) sering menyatakan bahwa standar keselamatan kerja di Indonesia masih masuk dalam peringkat buruk jika dibandingkan dengan negara lain di Asia. Ini termasuk standar keselamatan kerja bagi SDM jurnalistik di negeri ini. Perlu dibentuk Komisi Nasional Keselamatan Kerja yang kredibel. Komisi diatas diharapkan independen, cerdas dan berwibawa seperti eksistensi OSHA di Amerika Serikat. Lembaga itu telah memiliki reputasi tinggi serta telah sampai kepada hal-hal detail dan spesifik yang sangat berguna untuk mengembangkan standarisasi keselamatan kerja di muka bumi ini.

*) BIMO JOGA SASONGKO, Wakil Sekjen ICMI, Pendiri Euro Management Indonesia, Ketua Umum IABIE.