Rabu, 03 Mei 2017

Menata Kerja Sama RI – AS

Menata Kerja Sama RI – AS
Oleh Bimo Joga Sasongko

Hasil kunjungan Wakil Presiden Amerika Serikat Michael Pence di Indonesia janganlah berlalu begitu saja. Pertemuan Wapres Pence dengan Presiden Joko Widodo dan pejabat tinggi Indonesia lainnya diharapkan membuahkan hasil yang konkret dan berkelanjutan.
Perlu menata kembali kerja sama Amerika Serikat (AS) dengan Republik Indonesia (RI), utamanya bentuk kerja sama yang lebih esensial terkait pengembangan sumber daya manusia (SDM). Kerja sama dan bantuan AS terkait pengembangan SDM di masa lalu sangat berarti bagi negeri ini. Pemberian beasiswa kepada pemuda untuk kuliah di perguran tinggi AS sangat bermakna dan telah mendorong kemajuan dan mencerahkan iklim demokrasi.
Program beasiswa tersebut juga melahirkan para cendekiawan terkemuka. Seperti Nurcholish Madjid, Amien Rais, dan Ahmad Syafi’I Ma’arif yang terkenal dengan julukan tiga Pendekar Chicago. Mereka itu generasi gelombang pertama yang mendapat beasiswa di Universitas Chicago.
Kunjungan Wapres Pence yang didampingi istrinya, Karen Pence dan dua putrinya ke Masjid Istiqlal, lalu melakukan dialog dengan pemuka lintas agama, mengandung makna yang dalam. Pemerintah Indonesia sebaiknya tidak hanya melakukan negosiasi secara government to government atau business to business. Tetapi harus bisa mendayung di antara dua karang untuk menata kembali hubungan kedua negara lewat diplomasi publik.
Diplomasi publik di antara kedua negara perlu diperbanyak. Diplomasi tersebut bisa berupa pemberian beasiswa kepada generasi muda, pertukaran remaja, membina diaspora, hingga memperbanyak kerja sama antarkota dalam skema sister city.
Dengan diplomasi publik yang efektif maka hubungan kedua Negara menjadi kokoh dan saling pengertian. Sehingga kesalahpahaman dan fenomena outrageous fallacy terhadap AS atau sebaliknya bisa diatasi. Yakni sebuah fenomena penyesatan pengertian terhadap suatu negara, sehingga menimbulkan ketidakserasian karena kesalahpahaman.
Fenomena tersebut seperti terjadi baru-baru ini terkait dengan pernyataan Presiden Amerika Serikat Donald Trump terkait dengan daftar Negara curang yang memanipulasi mata uang demi menggenjot ekspornya ke AS. Yang mana hingga saat ini Indonesia masih berada dalam deretan daftar negara curang penyebab deficit neraca perdagangan AS. Sementara Tiongkok sudah dicoret dari daftar berkat diplomasi publik yang efektif.
Selama ini Indonesia mengandalkan ekspor ke AS, selain komoditas, juga ada pakaian jadi, sepatu, dan produk lainnya. Segala macam barang bermerek Nike diproduksi di Indonesia. Begitu juga dengan produk-produk pakaian jadi yang diproduksi di sini, banyak yang diberi merek Indonesia dan merek AS. Hal ini seharusnya dilihat secara mendalam oleh Pemerintah Presiden Trump.
Kunjungan Wapres AS merupakan momentum menata kerja sama terkait SDM Iptek kedua negara. Kerja sama SDM Iptek perlu diperluas. Banyak ahli dari Indonesia yang berkarya di negara Paman Sam dan mendapat posisi strategis di sana sebagai ilmuwan berkelas dunia.
Para ilmuwan lulusan AS lainnya siap untuk bersinergi membentuk jejaring Indonesia integrated untuk memajukan Iptek. Lewat Indonesia integrated, kompetensi teknolog Indonesia bisa diintegrasikan secara langsung atau melalui perusahaan/ organisasi tempat mereka bekerja. Para teknolog dan profesional di Tanah Air yang lebih menguasai lapangan sebaiknya bersinergi dengan para diaspora Indonesia di AS untuk melengkapi dengan pengetahuan dan jejaring yang sesuai dengan kebutuhan pembangunan di Tanah Air. Karena diaspora memiliki akses ke sejumlah ilmu yang belum ada.
Di lain pihak, diaspora tidak tahu persis apa yang sebenarnya dibutuhkan Indonesia. Sinergi saling melengkapi itulah yang ingin dicapai gerakan Indonesia integrated. Kerja sama SDM Iptek AS-RI sebaiknya diawali dengan pembentukan task force untuk mengelola system offset kedua negara. Apalagi produk pesawat Boeing Company banyak digunakan oleh maskapai di Indonesia.
Begitu juga dengan pesawat militer buatan Lockheed Martin seperti F-16 telah dipakai oleh TNI. Tentunya perlu skema offset yang lebih baik lagi dengan Boeing yang bermarkas di Chicago, Illinois, dengan fasilitas produksi terbesarnya di Everett, Washington, dekat Seattle, Washington.
Definisi offset secara umum dapat diartikan sebagai mekanisme timbale balik. Kalau kita membeli pesawat terbang senilai X dari negara lain, maka kita meminta timbal balik senilai Y dari nilai pembelian tersebut. Ketentuan, jenis dan nilai Y tersebut sebaiknya segera didetailkan. Skema of fset mencakup transfer teknologi, co-production atau produksi bersama di Indonesia untuk komponen dan struktur, serta fasilitas pemeliharaan dan perbaikan. Yang terdiri atas direct of fset dan indirect of fset. Direct of fset merupakan kompensasi yang langsung berhubungan dengan kontrak pembelian.
Sedangkan indirect of fset atau biasa disebut offset komersial biasanya berbentuk buyback, bantuan pemasaran/pembelian alutsista yang sudah diproduksi oleh Negara berkembang tersebut, produksi lisensi, hingga transfer teknologi dengan mendidik SDM. Kerja sama lainnya yang tidak kalah penting bagi kedua Negara adalah terkait dengan bidang pertambangan. Perlu solusi yang tepat untuk membantu SDM pertambangan nasional, misalnya pekerja PT Freeport Indonesia yang kini sedang bermasalah padahal memiliki kompetensi yang baik.
Seyogianya perlu menyegarkan profesi pertambangan di Tanah Air dengan cara magang di AS atau negara lain yang selama ini menjadi afiliasi tambang. Langkah pertama dengan cara menambah keahlian di bidang bahasa asing terkait bidang pertambangan. Untuk itu, perlu peran lembaga atau konsultan pendidikan internasional untuk menambah keahlian bahasa asing bagi SDM pertambangan.
Kemampuan berbahasa asing sangat menunjang penguasaan teknologi pertambangan. Apalagi sebagian besar investasi proyek smelter atau pengolahan bahan mentah tambang merupakan pihak asing yang membawa teknologi dan proses produksinya yang berbasis dari negaranya. Contohnya fasilitas smelter PT Freeport Indonesia yang ada di Kota Gresik bekerja sama dengan Freeport pusat dan Mitsubishi dari Jepang. Metode Mitsubishi banyak dipakai oleh usaha smelter karena lebih efisien dan ramah lingkungan.
Selain itu, perlu mengirimkan pelajar dan mahasiswa Indonesia untuk mendalami mining safety and processing technology di AS maupun Jepang. Seluruh pemangku kepentingan pertambangan di Indonesia berkewajiban mengembangkan SDM yang berdaya saing global. SDM kelas dunia sangat penting mengingat Indonesia menduduki peringkat enam besar dunia dalam hal kepemilikan bahan-bahan tambang.
Survei Geologi Amerika Serikat (USGS), menempatkan Indonesia pada peringkat keenam sebagai negara kaya akan sumber daya tambang. Di kawasan Asia Tenggara, Indonesia menempati posisi teratas untuk proyek-proyek pertambangan baru, diikuti oleh Filipina dan Vietnam. Nilai industri pertambangan Indonesia diperkirakan akan mencapai US$ 200 miliar pada 2019. Dengan potensi sebesar ini, kesiapan SDM dan kematangan rencana pembangunan smelter untuk memajukan sector pertambangan sangat dibutuhkan.
Bagaimanapun sektor pertambangan tetap akan menjadi sumber utama devisa Indonesia, dengan melihat potensi sumber daya mineral yang masih luas untuk digarap baik oleh perusahaan lokal maupun asing. Selain usaha dari pihak swasta, dukungan dari pemerintah berupa kemudahan dan keringanan bagi para investor smelter akan menjadi faktor pendukung yang signifikan untuk menciptakan situasi yang kondusif bagi pembangunan smelter nasional.
Indonesia masih membutuhkan ratusan smelter yang kapasitas dan teknologinya seperti yang dimiliki smelting di Gresik, Jawa Timur. Kapasitas smelter atau pengolah hasil tambang ini memiliki kapasitas satu juta ton konsentrat per tahun.

Pemetaan SDM
Kondisi SDM pertambangan nasional perlu dipetakan lagi. Pemetaan untuk mengetahui spesifikasi keahlian atau keterampilan serta untuk membantu bagi mereka yang tidak terserap lagi. Bagi yang terkena PHK perlu penyaluran ke usaha pertambangan lainnya.
Saatnya bagi Kementerian Tenaga Kerja dan kementerian terkait lainnya untuk menata lagi Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) di sektor pertambangan. Standar kompetensi ini diperlukan untuk meningkatkan kemampuan para pekerja Indonesia. Saat ini standar kompetensi bagi para tenaga kerja khususnya yang bekerja di industri pertambangan mineral dan batubara masih terbatas.
Akibatnya juga berpengaruh dalam penilaian produktivitas secara global karena masih terbatasnya baku mutu acuan yang digunakan untuk menilai kualitas produk atau proses yang dihasilkan.


Bimo Joga Sasongko, Lulusan North Carolina State University, ketua umum IABIE


Tidak ada komentar:

Posting Komentar