Rabu, 04 April 2018

Making Indonesia 4.0 dan Pabrik Cerdas


Oleh  Bimo Joga Sasongko   *)

Presiden Joko Widodo meresmikan pembukaan acara Indonesia Industrial Summit 2018 di Jakarta Convention Center (JCC). Acara bertema "Implementasi Industri 4.0 dalam rangka Transformasi Lanskap Industri Nasional Menuju Top 10 Ekonomi Dunia 2030".

Bersamaan dengan itu Presiden Jokowi juga meluncurkan Making Indonesia 4.0 sebagai peta jalan dan strategi Indonesia memasuki era manufakturing digital.

Penerapan Industri 4.0 dipelopori oleh negara Jerman yang sejak 2015 telah merampungkan kerangka kerja yang akan diterapkan pemerintah mulai 2020. Ratusan perusahaan di Jerman telah terlibat dalam program nasional itu dengan total investasi mencapai 140 miliar Euro.

Jenis industri yang sudah siap menerapkan Industri 4.0 ini adalah industri manufaktur, otomotif, dan industri teknologi informasi dan komunikasi.

Ekosistem Industri 4.0 ditandai dengan terwujudnya pabrik cerdas. Ada beberapa persyaratan untuk mewujudkan skenario Industri 4.0. Antara lain, kemampuan dalam hal Interoperabilitas atau kesesuaian. Yakni Kemampuan mesin, perangkat sensor, dan tenaga kerja untuk berhubungan dan berkomunikasi satu sama lain lewat Internet of Thing (IoT). 

Kemudian juga kemampuan untuk menciptakan salinan dunia fisik secara virtual dengan memperkaya model manufakturing digital dengan data sensor. Prinsip ini membutuhkan pengumpulan dan pengolahan data dari sejumlah sensor untuk menghasilkan informasi untuk pengambil keputusan.

Merujuk World Economic Forum dalam laporannya yang berjudul :"The Next Economic Growth Engine Scaling Fourth Industrial Revolution Technologies in Production". Kita bisa memprediksi bahwa industri manufakturing global akan totalitas mewujudkan era Industri 4.0 pada 2025.

Making Indonesia 4.0 pada saat ini masih terkendala oleh indeks konektivitas yang masih rendah. Kondisi digital divide atau ketimpangan digital di Indonesia timur dan barat menyebabkan peringkat Indonesia tergolong rendah, yakni indeks konektivitas hanya 4,34. Hal ini berada di urutan 111 dari 176 negara yang disurvei oleh International Telecommunication Union (ITU).

 Indeks pembangunan TIK Indonesia masih kalah dibanding Singapura yang memiliki nilai indeks 8,05, Malaysia 6,38, Brunei Darussalam 6,75, Filipina 4,67, dan Vietnam 4,43. Dengan kondisi indeks konektivitas seperti diatas sulit bagi Indonesia untuk menyongsong era Industri 4.0.
 Indonesia harus mempersiapkan SDM Iptek dan pekerja sektor industri untuk menghadapi era Industri 4.0 dalam jumlah yang memadai. SDM tersebut untuk menguasai teknologi pendukung, yakni bidang teknologi Internet of Things (IoT), Cybersecurity, Cloud Computing, Additive Manufacturing, Augmented Reality, Big Data, Autonomous Robots, Simulation, dan platform integration.

Bagi kaum pekerja era Industri 4.0 bisa berdampak negatif. Karena mereduksi beberapa bidang profesi yang pada akhirnya memangkas jumlah tenaga kerja. Namun begitu kehadiran era itu tidak sepenuhnya berdampak negatif. Karena akan melahirkan jenis profesi yang baru.

Dalam era tersebut akan terjadi perang untuk memperebutkan SDM berbakat dan memiliki kompetensi yang tinggi. Perebutan itu dari tingkat lokal hingga global. Dalam era ini sebagian besar tenaga kerja akan menjadi pekerja kontrak atau outsourcing. Pola ketenagakerjaan seperti ini tidak bisa lagi diatur dengan Undang-undang atau peraturan ketenagakerjaan yang ada sekarang ini. Masalah jam kerja, bobot kerja dan hal-hal normatif pekerja sudah tidak relevan lagi dengan peraturan yang berlaku selama ini.

Dampak ketenagakerjaan di era Industri 4.0 mulai dirasakan oleh para pekerja di Jerman. Seperti dirasakan oleh pekerja industri manufakturing logam, mesin dan elektronika di Jerman yang menyatakan bahwa industri 4.0 telah menjadikan proses produksi menuntut adanya smart factory dan smart products.

Hal tersebut menimbulkan masalah baru yakni tuntutan keterampilan yanag lebih tinggi dan soal jaminan sosial dan kecocokan model kerja dengan hukum yang berlaku. Hampir semua organisasi pekerja di Eropa menyatakan bahwa datangnya era diatas menimbulkan lebih banyak hubungan kerja yanag bersifat freelance dan alih daya.

Menyongsong era Industri 4.0 perlu mentransformasikan keterampilan tenaga kerja yang terkait jenis teknologi yang menjadi pilar utama. Hal itu juga sebagai solusi untuk mengatasi pertumbuhan angkatan kerja di Indonesia. Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan jumlah angkatan kerja Indonesia pada 2017 sebanyak 131,55 juta.

 Sebagian besar atau sekitar 80 persen di antaranya adalah tenaga kerja yang kurang terlatih. Penataan kompetensi ketenagakerjaan sebaiknya memproyeksikan periode bonus demografi hingga 2030. Bonus demografi ditandai dengan jumlah penduduk usia produktif (15-64 tahun) yang mencapai 70 persen terhadap total angkatan kerja. Jangan sampai bonus demografi justru menjelma menjadi bencana karena negara gagal mencetak angkatan kerja yang sesuai dengan kebutuhan indstri dan dunia usaha.

Diperkirakan mulai 2020 mulai terjadi gelombang pasang hingga tsunami yang mengganggu lapangan pekerjaan warga dunia. Jika nanti robot dan artificial intelligence sudah masuk ke dalam industri secara masal, perlu dipersiapkan sematang mungkin tenaga kerja.

Prediksi Mc-Kinsey Global Institute (MGI) menyatakan bahwa Indonesia bisa masuk peringkat 7 ekonomi dunia pada tahun 2030 jika mampu mencetak jutaan tenaga kerja yang sesuai dengan kebutuhan zaman.  Celaknya struktur ketenagakerjaan di Tanah Air hingga saat ini masih didominasi oleh pekerja dengan latar belakang lulusan SD dan SMP.

Untuk menjadi 10 besar ekononi dunia, Indonesia harus bisa mencetak sekitar 113 juta tenaga kerja terampil dan ahli supaya bisa menghadapi era Industri 4.0 dengan baik. Seperti skenario yang dibuat oleh MGI. Para pekerja itu harus mampu meningkatkan produktivitas secara signifikan di industri manufaktur yang berbasis Industri 4.0. Jika pemerintah gagal mencetak ratusan juta tenaga kerja diatas, maka mimpi menjadi tujuh besar ekonomi dunia bisa bubar.

Skenario Making Indonesia 4.0 dengan melihat kondisi terkini memang sangat sulit terwujud. Apalagi kekuatan ekonomi Indonesia masih ditopang oleh faktor konsumsi masyarakat, bukan sektor manufakturing yang tangguh. Modal Indonesia saat ini untuk memasuki era itu hanyalah faktor bertambahnya konsumen domestik yang jumlahnya sekitar 90 juta orang hingga tahun 2030.
*) Pendiri Euro Management Indonesia, Ketua Umum IABIE.

Alamat :
c/o Euro Management Indonesia
Gedung Ir.HM. Suseno Jl.R.P.Soeroso No.6, Menteng Jakarta Pusat 10330.
Nomor  HP :  0811 9698 421
Nomor NPWP  : 08.779.070.5-003.000

Biodata Singkat :
            BIMO JOGA SASONGKO, BSAE, MSEIE, MBA  :  Lulus SMAN 3 Bandung tahun 1990. Berhasil memperoleh beasiswa dari Menristek BJ Habibie untuk kuliah di teknik penerbangan atau aerospace engineering, di North Carolina State University, Ralegh, North Carolina, USA. dari tahun 1991 – 1995. Kemudian melanjutkan program S2 di Amerika Serikat mengambil program master di jurusan industrial engineering atau teknik industri di Arizona State University. Tahun 1996 penulis kembali ke Indonesia dan berkarir di BPPT.

            Pada 2001 melanjutkan studi ke FH. Pforzheim Jerman dengan mengambil program MBA dan lulus 2003, kemudian bekerja kembali di BPPT sambil mendirikan Euro Management Indonesia. Saat ini penulis menjabat sebagai Ketua Umum IABIE (Ikatan Alumni Program Habibie) yaitu ikatan alumni yang terdiri dari para lulusan SMA terbaik dari seluruh Indonesia yang berjumlah sekitar 1500 orang dari tahun 1982 – 1996 yang menerima bea siswa untuk kuliah di luar negeri lewat program BJ.Habibie.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar