Jumat, 28 September 2018

Rekomendasi Habibie tentang Nilai Tambah


Oleh Bimo Joga Sasongko | Jumat, 28 September 2018 | 10:42

Bangsa Indonesia harus berpikir keras untuk mengembangkan sumber daya manusia (SDM) yang terkait dengan usaha repositioning produk nasional di tengah terjadinya perang dagang dunia dan melemahnya nilai tukar rupiah.

Presiden RI ketiga BJ Habibie merekomendasikan pentingnya membenahi secara detail nilai tambah aneka produk nasional. Hal itu diungkapkan dalam kesempatan tatap muka dengan segenap SDM teknologi dan industri bertempat di Gedung Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) beberapa waktu lalu.

Sektor manufakturing perlu kerja detail dalam menerapkan standarisasi dan peningkatan kapabilitas teknologinya. Masih rendahnya kapasitas nasional yang digarap dengan proses nilai tambah yang layak menjadi keprihatinan BJ Habibie.

Keprihatinan di atas sangat beralasan karena hingga kini terjadi penurunan kemampuan industri nasional menyeimbangkan neraca nilai ekspor impor secara signifikan. Secara makro ketidakseimbangan ini disebabkan oleh masalah efisiensi dan masalah produktivitas. Oleh karena itu para pemangku kepentingan perlu merumuskan kembali strategi dasar pelaku industri yang mengedepankan faktor nilai tambah.

BJ Habibie yang usianya telah menginjak 82 tahun menekankan perlunya langkah cepat pemerintah untuk mendorong industri dengan produk yang memiliki nilai tambah besar saat dijual ke pasaran. Salah satu cara agar produk tersebut bisa memiliki nilai tambah yang signifikan adalah dengan memanfaatkan teknologi yang tepat.

Semua negara sedang berlomba lomba memanfaatkan teknologi terkini, antara lain dengan tajuk Industri 4.0 demi untuk mendapatkan nilai tambah sebesar-besarnya dan seefisien mungkin terhadap produk industrinya.

Pada hakikatnya factory 4.0 atau pabrik cerdas yang saat ini sedang menjadi perhatian besar dunia adalah untuk mendapatkan nilai tambah yang paling ideal. BJ Habibie telah merumuskan konsep nilai tambah industri untuk Negara berkembang sejak awal dekade 80-an.

Menurut pakar ekonomi dunia Haller dan Stolowy (1995), value added (VA) atau nilai tambah adalah pengukuran performance entitas ekonomi. Arti nilai tambah adalah perbedaan antara nilai dari output suatu perusahaan atau suatu industri, yaitu total pendapatan yang diterima dari penjualan output tersebut, dan biaya masukan dari bahan-bahan mentah, komponen-komponen atau jasa-jasa yang dibeli untuk memproduksi komponen tersebut.

Nilai tambah diketahui dengan melihat selisih antara nilai output dengan nilai input suatu industri. Value added (VA) merupakan konsep utama pengukuran income suatu negara. Konsep ini secara tradisional berakar pada ilmu ekonomi makro, terutama yang berhubungan dengan penghitungan pendapatan nasional yang diukur dengan performance produktif dari ekonomi nasional yang biasanya dinamakan produk domestik.

Pemerintah perlu mengonsolidasikan industri nasional, baik BUMN maupun swasta untuk mendongkrak nilai tambah produknya. SDM teknologi nasional sudah cukup jumlahnya untuk bergotong royong dan memeras pikiran guna merumuskan proses nilai tambah produk nasional. Sehingga tidak ada lagi bahan baku dan setengah jadi yang dijual begitu saja ke luar negeri dengan nilai tambah yang kecil. Kondisi itu tentunya tidak bisa menyerap tenaga kerja secara optimal dan belum mampu mendongkrak ekonomi lokal secara kuat.

Kondisi perekonomian dunia yang semakin dinamis bahkan sewaktu-waktu bisa fluktuatif perlu kebijakan yang masih terkait positioning produk nasional. Positioning produk diwarnai bermacam disrupsi teknologi dan datangnya era Industri 4.0. Positioning produk nasional perlu mencermati perang dagang yang terjadi antara Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok. Implikasi perang dagang bisa menyebabkan banjir produk ke Indonesia.

Perang dagang menyulitkan usaha pemerintah yang berusaha keras meningkatkan kinerja ekspor. Presiden Joko Widodo belum puas dengan kinerja ekspor nasional. Kekecewaan Presiden tersebut ditunjukkan dengan membandingkan nilai ekspor RI yang ketinggalan dari negara tetangga.

Presiden menyatakan bahwa sebagai bangsa besar seharusnya kinerja ekspor tidak kalah dengan Thailand, Vietnam, dan Malaysia. Apalagi kapasitas dan sumber daya alam serta jumlah SDM yang dimiliki Indonesia jauh lebih besar. Sebagai catatan, Thailand mampu menghasilkan US$ 231 miliar dari ekspor. tertinggi di Asia Tenggara. Sedangkan Malaysia US$ 184 miliar, dan Vietnam mencapai US$ 160 miliar. Sementara Indonesia, hanya US$ 145 miliar.

Untuk menggenjot ekspor produk nasional tidak cukup lewat pameran perdagangan dengan skala lokal hingga global. Tapi perlu mencari terobosan yang bisa menggenjot perdagangan sekaligus menjadi sistem bagi pengusaha untuk bertukar informasi tentang produk unggulan.

Terkait dengan masalah positioning produk nasional ada baiknya kita mengkaji peta yang menggambarkan aliran produk yang terjadi. Seperti dalam elaborasi oleh Peter Dickens dalam bukunya Global Shift: Mapping The Changing Contours of the World Economy. Buku itu merekomendasikan kepada bangsa-bangsa pentingnya merancang ulang mata rantai jaringan produksi global. Dan selalu fokus pada pasar dan kematangan produk.

Hal itu sangat relevan, di tengah banyaknya perusahaan di Tanah Air yang kini menghadapi ketidakseimbangan biaya bahan baku yang diimpor dengan hasil penjualan produk yang diekspor atau diserap dalam pasar domestik. Usaha memacu perdagangan produk nasional sangat tergantung kepada sistem logistik. Oleh karena itu, kita perlu menetapkan produk atau komoditas penggerak utama dalam suatu tatanan jaringan logistik dan rantai pasok, tata kelola, dan tata niaga yang efektif dan efisien.

Saatnya mengintegrasikan simpul simpul infrastruktur logistik, baik simpul logistik (logistics node) maupun keterkaitan antarsimpul logistic (logistics link) yang berfungsi untuk mengalirkan barang dari titik asal ke titik tujuan. Simpul logistik meliputi pelaku logistik dan konsumen; sedangkan keterkaitan antarsimpul meliputi jaringan distribusi, jaringan transportasi, jaringan informasi, dan jaringan keuangan, yang menghubungkan masyarakat perdesaan, perkotaan, pusat pertumbuhan ekonomi, antarpulau maupun lintas negara.

Volume perdagangan nasional sangat dipengaruhi oleh kinerja logistik. Oleh karena kapasitas SDM di bidang logistik masih memprihatinkan maka perlu ditingkatkan. Kebutuhan tenaga-tenaga yang kompeten di sektor logistik tidak hanya diperlukan untuk pengembangan sistem logistik nasional, tetapi juga dalam menghadapi liberalisasi tenaga kerja.

Dibutuhkan strategi yang mampu mengembangkan SDM dengan kompetensi dan profesi logistik berstandar internasional. SDM logistik yang terpercaya baik pada tingkat operasional, manajerial dan strategis, dan mencukupi kebutuhan nasional untuk mewujudkan efisiensi dan efektifitas kinerja system logistik nasional.

Bimo Joga Sasongko. Ketua Umum IABIE, Pendiri Euro Management Indonesia.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar