Minggu, 14 Februari 2016

Koran Jakarta - Super Tucano dan Skema Offset

Super Tucano dan Skema Offset

OLEH BIMO JOGA SASONGKO, BSAE, MSEIE, MBA

Kecelakaan pesawat tempur taktis milik TNI AU jenis Super Tucano TT-3108 di Malang jadi musibah memilukan. Ini sekaligus pelajaran sangat berharga terkait pengadaan dan pngelolaan alutsista mandiri. Musibah beruntun pesawat TNI AU akhir-akhir ini perlu dicari akar persoalannya.

Pembelian pesawat militer dari luar negeri harus dipikirkan dan dipersiapkan secara matang  sesuai dengan sistem penerbangan nasional.  Mestinya kontrak pembelian satu skuadron (16 pesawat) Super Tucano  pada 2010 seharga 1,3 triliun rupiah disertai skema offset bagi industri dalam negeri dan offset SDM penerbangan.

Super Tucano merupakan pesawat berkemampuan counter insurgency (Coin) atau pesawat antiperang gerilya buatan Embraer Defense System, Brasil. Pesawat ini  pengganti pesawat Coin  TNI AU yang  sudah tua sejenis OV-10 Bronco. Pesawat dengan grafis bergambar moncong hiu itu untuk memberi penghormatan jenis pesawat tempur Mustang P-51 yang  sangat berjasa pada awal kemerdekaan.

Pengadaan pesawat  untuk keperluan penerbangan sipil maupun militer sebaiknya  mengedepankan praktik offset atau imbal balik. Bentuk offset sebaiknya terkait  pengembangan SDM penerbangan. Sebab  saat ini Indonesia  kekurangan SDM penerbangan baik  mendukung operasional maskapai  maupun  terkait  industri penerbangan  Tanah Air seperti PT Dirgantara Indonesia (PT DI).

Skema offset mencakup transfer teknologi, produksi bersama di Indonesia untuk komponen,  struktur, serta fasilitas pemeliharaan, dan perbaikan. Ada  direct  dan indirect offset. Direct offset merupakan kompensasi yang langsung berhubungan dengan kontrak pembelian. Sedangkan indirect offset (offset komersial) biasanya berbentuk buyback, bantuan pemasaran/pembelian alutsista yang sudah diproduksi  negara berkembang tersebut. Ini juga termasuk produksi lisensi hingga transfer teknologi dengan mendidik SDM.

Perjanjian kontrak pengadaan sebaiknya menekankan transfer of technology (ToT) dengan mengirimkan SDM untuk belajar dan magang di luar negeri. Apalagi  SDM penerbangan  saat ini  sebagian besar  menjelang pensiun.

Di masa  lalu postur SDM PTDI dikelola dengan manajemen kompetensi  luar biasa terdiri atas kelompok engineering  141 job-title, kelompok produksi 65 job-title,  kelompok human resource 82 job-title, kelompok niaga 21 job-title. Sayangnya, kini postur tersebut  terjadi brain drain kompetensi.
SDM penerbangan  negeri ini sebagian besar  hasil didikan atau program pengembangan  tahun 80-an era  Menristek BJ Habibie. Program  ditempuh dengan mengirimkan lulusan SMA  kuliah ke luar negeri lewat beasiswa. Program pengembangan SDM teknologi era Habibie tersebut berhasil mengirimkan ribuan pelajar  kuliah di perguruan tinggi terkemuka  luar negeri hingga meraih gelar S-3.

Pengadaan  Super Tucano berdasarkan Renstra-1 2010-2014 yang dikenal dengan istilah Strategic Defance Review (SDR).   Dalam renstra tersebut mestinya juga menekankan offset SDM teknologi yang memadai. Tak pelak lagi, Indonesia perlu segera mengirimkan SDM penerbangan ke luar negeri untuk kuliah dan pelatihan.

Perlu task force  mengirim para lulusan SMA untuk belajar atau kuliah penerbangan dan magang di industri  pesawat terbang terkemuka dunia lewat skema offset tersebut. Hal ini untuk mengantisipasi banyaknya kebutuhan SDM penerbangan  sipil maupun militer  mendatang.

Skema
Selain offset SDM, juga perlu skema offset produksi komponen pesawat  oleh industri nasional, PTDI. Sebagai aset bangsa yang strategis  PTDI memerlukan kesinambungan SDM dan fasilitas standar (recognized by authority ) secara global. Portofolio usaha PTDI  terdiri dari  Aircraft (Airplane & Helicopter), Aircraft Services (Maintenance, Overhaul, Repair and Alteration), Aerostructure (Parts & Components, Sub Assemblies, Assemblies Tools & Equipment). Kemudian juga Engineering Services (Communication Technology, Simulator Technology, Information Technology Solution, Design Center). Ini  sebaiknya difokuskan untuk mendukung sistem penerbangan nasional sebagai penyedia dan supporting pesawat komuter serta Alutsista TNI.

Hingga kini utilisasi PTDI masih rendah. Padahal sejarah menunjukkan, tool dan manufacturing facility-nya termasuk  canggih. Sayang,  manajemen belum mampu mengoptimalkan fasilitas fabrikasi, mesin produksis, serta infrastruktur lainnya. Kapasitas produksi terdiri dari lahan seluas 792.800 m2 dan berupa bangunan 461.168 m2 hingga kini semakin terdegradasi. Kapasitas permesinan PTDI harus segera didayagunakan sebelum ditelan usia.

Manajemen  belum mampu mengoptimalkan seluruh kapasitas. Padahal gedung dan hangar di kawasan pabrik yang lay-out hanggar dan capability of manufacturing-nya serupa dengan  Boeing di Amerika Serikat saat itu.

Kecelakaan Pesawat Super Tucano mencuatkan pentingnya evaluasi mendasar terhadap sistem pemeliharaan dan pengembangan alutsista TNI AU. Pesawat produksi Embraer Defence System tersebut sejak awal mengandung masalah  kontrak  terkait pengiriman komponen atau suku cadang. Kelemahan kontrak juga terkait dengan ToT yang kurang melibatkan SDM dalam negeri.

Untuk mewujudkan program zero accident  pesawat TNI AU perlu didukung  SDM yang benar-benar menguasai sistem dan aspek desain pesawat. Saat ini mestinya ada  SDM yang menguasi alih teknologi pesawat tersebut, tapi sayang tak ada dalam kontrak.

Padahal Super Tucano masih perlu dikembangkan agar  mampu beroperasi di malam hari dengan melengkapi sistem navigasi andal. Salah satunya  radar Radar Warning Receiver, Missile Approach Warning System, dan chaff/flare dispenser. Kemampuan melihat obyek dengan sinar infra merah yang andal dengan perlengkapan forward looking infrared tipe Star SAFIRE III seperti  digunakan  beberapa pesawat tempur canggih di atas kelasnya.

Penulis lulusan aerospace engineering, North Carolina State University, Ralegh, North Carolina, Amerika

http://www.koran-jakarta.com/super-tucano-dan-skema-offset/

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar