Kamis, 22 September 2016

Republika - Superioritas OTT dan Dilema Pajak



Superioritas OTT dan Dilema Pajak
Oleh  :   Bimo Joga Sasongko   

Pemerintah tengah hadapi dilema besar terkait masalah perpajakan bagi perusahaan internet dan jasa digital yang beroperasi secara global.  Tidak bisa dimungkiri bahwa eksistensi Over The Top ( OTT), seperti Google,  Facebook, Twitter, Word Press, Microsoft, Apple, Yahoo, Research In Motion, keberadaannya sangat berguna bagi kehidupan masyarakat sehari-hari.
Eksistensi OTT juga telah membawa kemajuan bangsa dan berhasil melancarkan konektivitas segenap penjuru tanah air. Aplikasi OTT telah merubah model bisnis sehingga mampu bersaing secara global. OTT juga telah membantu proses kreatif warga bangsa dan mendongkrak produktivitas nasional. Kini OTT telah merasuki segenap kehidupan bangsa dan telah menjadi gaya hidup.
Dilain pihak pemerintah sedang kekurangan pendapatan sehingga harus memperluas obyek perpajakan hingga menyasar OTT. Ironisnya, pihak OTT seperti yang ditunjukkan oleh Google menolak pengenaan pajak. Namun begitu, penolakan Google Asia Pacific Pte Ltd untuk diperiksa oleh Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak atas kewajibannya sebaiknya disikapi secara hati-hati.
Perlu win-win solution sehingga kepentingan rakyat luas yang telah menggantungkan diri terhadap OTT untuk berbagai aktivitas sehari-harinya tidak terganggu. Google selama ini menghindari pajak melalui cara legal melalui celah yang disebut tax treaty. Yakni perjanjian perpajakan antara dua negara yang dibuat dalam rangka meminimalisasi pemajakan berganda maupun berbagai usaha penghindaran pajak.
Google telah menolak mendirikan Bentuk Usaha Tetap (BUT) yang menjadi persyaratan bagi badan usaha asing untuk dapat dikenai pajak di Indonesia. Penolakan itu menimbulkan masalah terkait dengan fairness (keadilan) bagi perusahaan digital lokal seperti Tokopedia, Traveloka, Kaskus dan lainnya yang telah membayar pajak.
Superioritas Google di seluruh dunia berawal dari layanan gratis lalu berkembang menjadi platform yang merevolusi model bisnis dan membentuk kolaborasi yang hebat. Kini Google telah menjadi peramban utama sekitar 90 juta pengguna Internet di Indonesia untuk mencari informasi dan berbagai proses bisnis, edukasi, kreativitas, navigasi, konektivitas dan promosi kebudayaan dan produk lokal. Superioritas Google tidak sekedar mesin pencari atau googling, namun telah beranjak menjadi superioritas platform kehidupan.  Tak bisa dimungkiri, berkat Google para pelaku usaha e-Commerce (perdagangan berbasis elektronik) sangat terbantu dan mendapatkan manfaat yang berlimpah.
Perlu langkah yang persuasif supaya Google mau membayar pajak di Indonesia. Langkah persuasif tersebut sebaiknya melibatkan para pengguna Google yang tentunya suaranya sangat didengar oleh kantor pusat Google. Para pengguna Google di Indonesia memiliki pengaruh yang kuat melebihi pengaruh pemerintah. Pemerintah belum perlu bertindak represif untuk menagih pajak Google.
Perkara pajak Google untuk Indonesia yang masih tersendat jangan sampai merusak kerjasama antara pengembang Indonesia dengan pihak OTT. Kunjungan pemerintahan Jokowi ke Silicon Valley beberapa waktu lalu yang merupakan markas OTT yang membuahkan kerjasama strategis jangan terganggu. Kerjasama tersebut untuk mengembangkan SDM yang terkait dengan inovasi dan ekonomi kreatif yang sangat menunjang pengembangan konten keindonesiaan. Konten lokal itu bisa berupa produk budaya, seni dan industri. Selain itu juga bisa menjadi  promosi yang hebat bagi destinasi wisata.
Tekad Presiden Joko Widodo untuk membentuk poros teknologi, khususnya teknologi informasi dan komunikasi (TIK) dengan Silicon Valley merupakan langkah strategis dalam mengembangkan konten keindonesiaan untuk mengimbangi superioritas OTT yang kini sudah masuk hingga segmen masyarakat perdesaan Indonesia.
Pembentukan poros teknologi bisa efektif jika ada pembenahan ekosistem didalam negeri bagi warganegara yang selama ini menggeluti inovasi. Poros teknologi memiliki arti yang signifikan bagi kemajuan Indonesia jika mengedepankan start-up nation yang berupa usaha-usaha rintisan inovasi disegala lini. Indonesia memerlukan banyak karya-karya inovasi produk maupun inovasi proses bisnis.
Pemerintahan memiliki visi menjadikan Indonesia sebagai negara ekonomi digital terbesar di Asia Tenggara dengan total valuasi 130 miliar dolar AS atau sekitar Rp1.756 triliun. Salah satu langkah yang akan dilakukan pemerintah adalah menumbuhkan 1.000 teknopreneur pada 2020 dengan total valuasi 10 miliar dolar AS atau sekitar Rp138 triliun.
Saatnya pemerintahan membangun infrastruktur e-Marketplace bagi produk industri kreatif. Tentunya infrastruktur tersebut terkait dengan dengan OTT global. Pemerintahan sebaiknya merombak model bisnis dan marketing untuk industri kreatif dan destinasi wisata yang sesuai dengan ekspansi usaha OTT. Marketing produk kreatif rakyat Indonesia sebaiknya mendayagunakan sebaik mungkin keberadaan OTT. Apalagi model bisnis OTT tidak mengenal batas wilayah.
Internet telah mencerahkan jagat kreativitas sekaligus melancarkan pengembangan model bisnis baru bagi industri kreatif. Peradaban gelombang keempat akan menempatkan produk industri kreatif merupakan jenis pekerjaan masa depan (the future of works and employment) yang sangat menjanjikan. Hal itu disertai dengan tuntutan untuk terus menerus berinovasi.
Di era ekonomi kreatif, infrastruktur e-Commerce dan segenap aktifitas ekonomi dengan sendirinya harus disesuaikan dengan karakteristik ekonomi kreatif, yaitu adanya basis pengetahuan yang menunjang inovasi. Program Nasional Indonesia Design Power mestinya bisa menjadi platform dalam mencapai tujuan tersebut. Sehingga kinerja ekonomi kreatif  di negeri ini bisa terwujud dengan baik. Selain itu eksistensi e-Marketplace produk industri kreatif juga sangat ditentukan oleh program lembaga inovasi daerah. Program lembaga inovasi daerah hendaknya terfokus kepada produk dan inovasi lokal.

Bimo Sasongko BSAE, MSEIE, MBA
Pendiri Euro Management Indonesia, Ketua Umum IABIE (IKatan Alumni Program Habibie)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar