Selasa, 26 Juni 2018

Pilkada Serentak dan Visi Indonesia 2030


Oleh Bimo Joga Sasongko | Selasa, 26 Juni 2018 | 9:53

Pemungutan suara Pilkada serentak 2018 di 171 daerah yakni kabupaten, kota dan provinsi dilaksanakan pada 27 Juni. Pemerintah menetapkan hari pemungutan suara tersebut sebagai hari libur nasional.

Pilkada jangan sekadar mekanisme untuk rebutan kekuasaan di daerah. Tetapi harus menjadi spirit dan pendorong untuk meningkatkan kualitas kepemimpinan daerah. Bagi generasi muda empunya semangat zaman dan calon pemimpin masa depan hendaknya memetik spirit Pilkada dan jangan golput.

Generasi muda sebaiknya memilih pemimpin daerah yang memiliki mentalitas disiplin yang tinggi, ulet dan memiliki agilitas atau kegesitan meskipun menghadapi bermacam rintangan dan hambatan. Pilkada adalah pesta demokrasi yang harus dalam kondisi suka cita. Bukan kondisi yang penuh ketegangan dan saling curiga.

Kemenangan dalam Pilkada seyogianya menjadi kolektivitas kebangsaan yang mampu meraih kemenangan bangsa dalam bentuk konkret menjadi negara maju berpendapatan tinggi pada tahun 2030. Para cendekiawan dan beberapa lembaga dunia yakin dengan skenario Indonesia 2030 yang berhasil menjadi negara maju dengan pendapatan perkapita mencapai US$ 15 ribu.

Skenario itu berhasil jika segenap bangsa Indonesia mampu mewujudkan disiplin yang tinggi, pikiran yang cemerlang dan etos kerja yang hebat. Pelaksanaan Pilkada harusnya disertai dengan makna silaturahmi untuk merawat jiwa besar Persatuan Indonesia yang telah digariskan para pendiri bangsa. Dengan silaturahmi, tercipta hubungan personal maupun sosial yang lebih baik.

Dibutuhkan semangat dan nilai baru yang lebih relevan dengan perkembangan zaman. Kemajuan bangsa bisa terwujud dengan mentalitas kerja keras dan terus menerus berpikir cerdas. Semua itu demi berhasilnya skenario Indonesia 2030.

Kita perlu berpikir keras, dan terus berinovasi sembari terus melakukan tinjauan perekonomian Indonesia hingga 2030. Untuk mewujudkan skenario di atas memang sangat sulit dan berat. Betapa beratnya mewujudkan tatanan kemajuan Indonesia 2030. Kita bisa mengkaji data dari Badan Pusat Statistik (BPS) yang menyatakan tahun 2016 Produk Domestik Bruto (PDB) atas dasar harga berlaku mencapai Rp 12.406,8 triliun.

Sementara pendapatan per kapita baru mencapai Rp 47,96 juta atau US$ 3.605. Kemudian dalam rilis BPS berikutnya, perekonomian Indonesia 2017 yang diukur berdasarkan produk domestik bruto (PDB) atas dasar harga berlaku mencapai Rp 13.588,8 triliun dan PDB perkapita mencapai Rp 51,89 juta atau US$ 3.876.

Menurut kaedah yang dianut internasional, Indonesia akan menjadi negara maju pada 2030 jika memiliki klasifikasi sebagai negara berpendapatan tinggi (High Income Country/HIC) dengan pendapatan perkapita US$ 15 ribu. Untuk itu dibutuhkan SDM bangsa yang mampu mewujudkan pertumbuhan ekonomi yang stabil tinggi dengan sumber pertumbuhan yaitu sektor manufaktur yang tangguh dan bernilai tambah tinggi.

Ada sementara pihak yang kurang yakin dengan skenario Indonesia 2030 bisa terwujud karena melihat data yang mustahil bisa dicapai. Mengingat butuh keajaiban untuk mewujudkan per tumbuhan ekonomi rata-rata sebesar 13% guna mencapai pendapatan perkapita US$ 15 ribu dengan pertimbangan depresiasi rupiah 0,8% dan pertumbuhan penduduk 1,1%.

Kalangan yang pesimis menyatakan bahwa angka-angka di atas mustahil atau sulit diwujudkan. Namun sebagai bangsa pejuang yang dilandasi dengan keimanan yang tinggi kita harus yakin terhadap skenario kemajuan Indonesia 2030.

Untuk itu segenap bangsa harus bekerja keras dan memeras pikiran agar Indonesia tidak terjebak sebagai negara berpendapatan menengah (Middle Income Trap/MIT) yang menyebabkan tidak bisa masuk sebagai negara industri maju berpendapatan tinggi. Karena kehilangan sumber dan power yang mampu mendorong pertumbuhan ekononi lebih cepat dari laju inflasinya.

Untuk lepas dan terbebas dari jebakan MIT tidak ada jalan selain menyiapkan SDM bangsa yang inovatif dan berdaya saing Iptek. SDM bangsa tesebut harus mampu mewujudkan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang bersumber pada industri manufaktur dengan mesin penggerak produktivitas yang tinggi. Platform nilai tambah produksi yang tinggi dan terwujudnya UMKM berorientasi ekspor, itu merupakan keniscayaan untuk mewujudkan skenario Indonesia 2030.

Spirit Pilkada menjadi pembaruan tata kelola diri, organisasi dan pemerintahan ke depan untuk lebih maju dari sebelumnya. Spirit Pilkada juga menjadi pendorong untuk meningkatkan kualitas kecendekiawanan, baik kecendekiawanan birokrasi, keluarga, hingga para pelajar dan mahasiswa yang kelak akan menjadi pemimpin masing-masing di bidangnya.

Makna Pilkada juga sangat penting untuk memperbarui program reformasi pendidikan di daerah. Meskipun anggaran pendidikan nasional sudah mencapai 20% dari APBN, tetapi belum menghasilkan postur ideal SDM nasional yang berdaya saing global. Karena kemampuan pejabat dan SDM daerah masih belum sesuai dengan standar tata kelola pendidikan. Reformasi pendidikan adalah kunci kebangkitan suatu bangsa.

Kebangkitan nasional bisa diwujudkan, seperti prediksi lembaga internasional PricewaterhouseCoopers (PwC) yang merupakan konsultan dan jasa profesional terbesar di dunia saat ini. PwC pada tahun 2017 mengeluarkan hasil kajian dan prediksi bahwa Indonesia berdasarkan Market Exchange Rate (MER) diproyeksikan pada tahun 2030 akan menjadi peringkat ke-9 PDB terbesar di dunia atau menjadi peringkat ke-8 berdasakan Purchase Power Parity (PPP).

Prediksi PwC tersebut bisa menjadi kenyataan dengan syarat jika bangsa Indonesia memiliki strategi pembangunan yang tepat yang didukung oleh tersedianya jumlah SDM terbarukan berdaya saing Iptek.

SDM tersebut tidak hanya berprofesi sebagai birokrat, tetapi yang lebih penting SDM unggul tersebut juga mau terjun secara total sebagai pengusaha atau wiraswasta berbasis lokal. Sesuai dengan teori pakar ekonomi David Mike Dallen yang menyatakan bahwa suatu negara akan bangkit dan terwujud kemakmuran bila jumlah pengusaha cukup tinggi.

Pada saat ini jumlah pengusaha Indonesia baru 3,10% dari total jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 225 juta. Sebagai pembanding, jumlah pengusaha di Singapura telah mencapai 7,2%, Malaysia 5%, dan Thailand 4,5%.

Dengan demikian untuk mencapai kebangkitan dan kemakmuran di Indonesia perlu meningkatkan sepuluh kali lipat atau mencetak lagi sekitar 8 juta start-up atau perusahaan rintisan selama tiga tahun ke depan.

Bimo Joga Sasongko, Ketua Umum IABIE. Pendiri Euro Management Indonesia.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar