Senin, 21 Januari 2019

Debat dan Masa Depan Bangsa





Kamis, 17 Januari 2019 | 01.00

 Oleh Bimo Joga Sasongko



Acara debat Pilpres 2019 yang diselenggarakan Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebanyak lima putaran, yang dimulai hari ini, jangan sekadar tahapan pemilu. Biaya Pemilu 2019 yang mencapai 24,8 triliun rupiah harus bisa memberi nilai tambah yang berarti bagi masa depan bangsa berupa pemikiran strategis dan gagasan cemerlang dalam mendorong bangsa berdaya saing global.



Selain melancarkan transformasi demokratik, tahapan pemilu seperti acara debat mesti menghasilkan sesuatu yang sangat esensial bagi masa depan bangsa seperti gambaran dan gagasan bersama tentang purwarupa (wajah awal) Indonesia, setidaknya hingga tahun 2030. Cakrawala debat pilpres mesti menjangkau ekosistem Indonesia 2030 dengan berbagai tantangannya. Untuk itu, kandidat mesti mampu menyajikan purwarupa Indonesia ke depan. Hal itu bisa menyemangati bangsa Indonesia untuk mewujudkan kemajuan dalam milestones yang cepat.



Visi-misi yang baik bisa dianalogikan sebagai purwarupa atau arketipe. Dalam bidang desain produk otomotif purwarupa merupakan sebuah prototype (tipe perdana). Ini dibuat sebelum diproduksi massal atau khusus untuk pengembangan sebelum dibuat dalam skala yang sebenarnya. Eksistensi prototipe sangat menentukan kecepatan produksi dan keunggulan produk menghadapi pesaingnya. Kemampuan para capres dan cawapres mendiskripsikan purwarupa dalam bentuk lisan maupun tulisan menjadi tolok ukur setinggi apa visi seorang pemimpin.



Purwarupa Indonesia sangat penting karena dalam menjalankan pembangunan bangsa saat ini tidak ada lagi Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang disusun Majelis Permusyawaratan Rakyat. Maka, visi-misi yang disertai purwarupa bisa menjadi acuan pembangunan nasional. Untuk itu, visi-misi capres harus sesuai dengan semangat zaman. Jadi, tidak sekadar menyusun dokumen pembangunan. Dia harus juga termasuk menyusun metode untuk mewujudkan kekuasaan atau pemerintahan yang efektif dan berdaya saing. Rumusan visi-misi sebagus apa pun, percuma tanpa sistem kekuasaan tidak efektif.



Visi-misi hendaknya mengena pada generasi muda dan jangan golput. Semua harus memilih pemimpin yang memiliki mental disiplin tinggi, ulet, dan gesit, meskipun menghadapi bermacam rintangan. Pemilu adalah pesta demokrasi yang harus dalam kondisi sukacita, bukan penuh ketegangan dan saling curiga. Kemenangan seyogianya menjadi milik bangsa yang bisa mengantar rakyat maju pada 2030.



Para cendekiawan dan beberapa lembaga dunia yakin dengan proyeksi Indonesia 2030 akan mampu menjadi negara maju berpendapatan per kapita 15 ribu dollar AS. Skenario itu berhasil jika segenap bangsa mampu mewujudkan disiplin tinggi dan kerja keras. Pelaksanaan pemilu harus disertai jiwa besar seluruh peserta demi persatuan Indonesia yang telah digariskan para pendiri bangsa. Hubungan personal dan sosial harus lebih baik, bukan sebaliknya.



Dibutuhkan semangat dan nilai baru yang lebih relevan sesuai dengan perkembangan zaman. Kemajuan bangsa bisa terwujud dengan mentalitas kerja keras dan terus-menerus berpikir cerdas. Semua itu demi berhasilnya proyeksi Indonesia 2030 sembari terus berinovasi.



Tidak Mudah



Mewujudkan tatanan kemajuan Indonesia 2030 tidaklah mudah. Lihat saja data Badan Pusat Statistik (BPS), tahun 2016 Produk Domestik Bruto (PDB) atas dasar harga berlaku mencapai 12.406,8 triliun. Sementara itu, pendapatan per kapita baru mencapai 47,96 juta atau 3.605 dollar AS. Rilis BPS berikutnya menyatakan, perekonomian Indonesia 2017 yang diukur berdasarkan PDB atas dasar harga berlaku mencapai 13.588,8 triliun dengan perkapita 51,89 juta atau 3.876 dollar AS.



Menurut kaidah internasional, Indonesia akan menjadi negara maju pada 2030 jika berpendapatan tinggi (high income country/HIC) per kapita 15 ribu dollar AS. Untuk itu, dibutuhkan SDM yang mampu mewujudkan pertumbuhan ekonomi tinggi berkelanjutan dari sumber sektor manufaktor.



Ada sementara pihak yang kurang yakin dengan proyeksi Indonesia 2030 bisa terwujud karena melihat data yang mustahil bisa dicapai. Misalnya, memerlukan keajaiban untuk mewujudkan pertumbuhan ekonomi rata-rata sebesar 13 persen guna mencapai pendapatan perkapita 15 ribu dollar AS dengan pertimbangan depresiasi rupiah 0,8 persen dan pertumbuhan penduduk 1,1 persen.



Kalangan yang pesimistis ini menyatakan, angka-angka tadi amat sulit diwujudkan. Namun, sebagai bangsa pejuang, kita harus yakin terhadap skenario kemajuan Indonesia 2030. Hanya, memang segenap bangsa harus bekerja keras dan memeras pikiran agar Indonesia tidak terjebak sebagai negara berpendapatan menengah (middle income trap/MIT). Jebakan itu membuat Indonesia tidak bisa masuk sebagai negara industri maju berpendapatan tinggi. Sebab kehilangan sumber yang mampu mendorong pertumbuhan ekononi lebih cepat dari laju inflasi.



Untuk lepas dan terbebas dari jebakan MIT tidak ada jalan, selain menyiapkan SDM yang inovatif dan berdaya saing Iptek. SDM harus mampu mewujudkan pertumbuhan ekonomi bersumber pada industri manufaktur dengan mesin penggerak produktivitas yang tinggi. Platform nilai tambah produksi tinggi dan terwujudnya UMKM berorientasi ekspor merupakan prasyarat penting untuk mewujudkan skenario Indonesia 2030.



Hasil pemilu sangat menentukan arah pendidikan yang mesti menghasilkan postur ideal SDM nasional berdaya saing global. Keberhasilan pendidikan kunci kebangkitan suatu bangsa. Lembaga internasional PricewaterhouseCoopers (PwC) pada 2017 mengeluarkan hasil kajian dan prediksi bahwa Indonesia berdasarkan market exchange rate (MER) pada tahun 2030 akan berperingkat ke-9 PDB terbesar dunia. Itu berarti menjadi peringkat ke-8 berdasakan purchase power parity (PPP).



Prediksi PwC tersebut bisa menjadi kenyataan jika ada strategi pembangunan tepat yang didukung jumlah SDM berdaya saing iptek. SDM tersebut tidak hanya berprofesi sebagai birokrat. Terpenting mereka mau terjun secara total sebagai pengusaha atau wiraswasta berbasis lokal.



Penulis Lulusan FH Pforzheim Jerman





Tidak ada komentar:

Posting Komentar