Minggu, 27 Januari 2019

Capres dan Produk Nasional


Pikiran Rakyat, Jum’at 25 Januari 209 / 19 Jumadil Awal 1440 H

Oleh Bimo Joga Sasongko

DEBAT calon presiden (capres) menjadi forum yang tepat untuk evaluasi dan mencari solusi tentang produk nasional yang tengah kesulitan bersaing. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, sepanjang 2018 neraca perdagangan mengalami defisit yang mencapai angka 8.57 miliar dolar AS. Defisit tersebut paling parah sepanjang satu dasawarsa terakhir.

Salah satu indikator kebangkitan nasional bisa dilihat dari kondisi dan daya saing produknya. Para capres dan cawapres perlu curah pikir untuk mengembangkan SDM terkait dengan usaha positioning produk nasional di tengah persaingan sengit antarnegara.

Positioning adalah mengidentifikasi lagi posisi pesaing lalu mengambil posisi setaraf dengan pesaing dengan metode baru atau langkah terobosan. Keniscayaan, positioning produk nasional diwarnai bermacam disrupsi teknologi dan datangnya era Industri 4.0.

Publik kecewa dengan kinerja ekspor nasional. Kekecewaan tersebut ditunjukkan dengan membandingkan nilai ekspor RI yang ketinggalan dari negara tetangga. Sebagai bangsa besar seharusnya kinerja ekspor kita tidak kalah oleh Thailand, Vietnam, dan Malaysia. Apalagi kapasitas dan sumber daya alam dan jumlah SDM yang dimiliki Indonesia jauh lebih besar.

Sebagai catatan, Thailand mampu menghasilkan 231 miliar dolar AS dari ekspor. Tertinggi di Asia Tenggara. Malaysia 184 miliar dolar AS, dan Vietnam mencapai 160 miliar dolar. Sementara Indonesia, hanya 145 miliar dolar AS.

Untuk menggenjot ekspor produk nasional tidak cukup lewat pameran perdagangan dengan skala local hingga global. Perlu dicari terobosan yang bisa menggenjot perdagangan sekaligus menjadi sistem bagi pengusaha untuk bertukar informasi tentang produk unggulan.

Terkait dengan usaha Positioning produk nasional, ada baiknya kita mengkaji peta yang menggambarkan aliran produk yang terjadi. Seperti dalam elaborasi oleh Peter Dickens dalam bukunya Global Shift : Mapping The Changing Contours of the World Econom.

Buku itu merekomendasikan kepada bangsa-bangsa pentingnya merancang ulang mata rantai jaringan produksi global dan selalu fokus pada pasar dan kematangan produk. Hal itu sangat relevan, di tengah banyaknya perusahaan di tanah air yang kini menghadapi ketidakseimbangan biaya bahan baku yang diimpor dengan hasil penjualan produk yang diekspor, atau diserap dalam pasar domestik.

Usaha memacu perdagangan produk nasional sangat tergantung pada sistem logistik. Perlu menetapkan produk atau komoditas penggerak utama dalam suatu tatanan jaringan logistik dan rantai pasok, tata kelola, serta tata niaga yang efektif dan efisien. 

Saatnya mengintegrasikan simpul-simpul infrastruktur logistic, baik simpul logistik (logistics node) maupun keterkaitan antar simpul logistik (logistics link) yang berfungsi untuk mengalirkan barang dari titik asal ke titik tujuan. Simpul logistik meliputi pelaku logistik dan konsumen; sedangkan keterkaitan antarsimpul meliputi jaringan distribusi, jaringan transportasi, jaringan informasi, dan jaringan keuangan, yang menghubungkan masyarakat pedesaan, perkotaan, pusat pertumbuhan ekonomi, antarpulau maupun lintas Negara

SDM Logistik

Volume perdagangan nasional sangat dipengaruhi oleh kinerja logistik. Kapasitas sumber daya manusia di bidang logistik masih memperihatinkan, sehingga perlu ditingkatkan. Kebutuhan tenaga-tenaga yang kompeten di sektor logistik tidak hanya diperlukan untuk pengembangan sistem logistik nasional, tetapi juga dalam menghadapi liberalisasi tenaga kerja.

Dibutuhkan strategi yang mampu mengembangkan SDM dengan kompetensi dan profesi logistik berstandar internasional. SDM logistik yang terpercaya, baik pada tingkat operasional, manajerial dan strategis, dan mencukupi kebutuhan nasional untuk mewujudkan efisiensi dan efektivitas kinerja sistem logistik nasional.

Untuk mengembangkan SDM logistik perlu dilakukan klasifikasi dan penjenjangan profesi logistik, serta pendirian lembaga pendidikan logistik baik melalui jalur akademik, jalur vokasi, maupun jalur profesi. Terkait dengan pendidikan profesi logistik, asosiasi terkait dengan logistik seperti ALI dan ALFI perlu bekerja sama dengan Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP) untuk membentuk badan akreditasi profesi logistik  dan lembaga asesor yang memberikan sertifikat profesi.

Usaha mewujudkan Pelaku Logistik (PL) dan Penyedia Jasa Logistik (PJL) yang mampu menjadi pemain lokal kelas dunia (world class local players) perlu mendirikan program studi atau prodi logistik di perguruan tinggi dan sekolah vokasi. Sekolah menengah kejuruan perlu menekankan jurusan logistik, sehingga bisa dihasilkan teknisi logistik yang memiliki kemampuan dan keterampilan untuk menangani berbagai bidang. Di antaranya transporting, warehousing, freight forwarding.export-import, cargo and shipping, logistics information service, taxation, dan lain-lain.

Tantangan globalisasi salah satunya adalah menguatkan perdagangan domestik agar tetap mampu bersaing. Sesuai dengan pesatnya teknologi informasi, maka ranah perdagangan memerlukan sistem informasi perdagangan yang meliputi hal-hal terkait harga suplai, dan distribusi untuk menghindari adanya assymetric information yang dapat memicu kartel dan monopoli harga

Faktor penting terkait perdagangan adalah mengenai Stan dar Nasional Indonesia (SNI). Dalam Pasal 69 RUU Perdagangan disebutkan bahwa pelaku perdagangan atau penyedia yang tidak memenuhi SNI dipidana penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak Rp 5 miliar. Pada era sekarang ini perlu dorongan kuat penerapan SNI yang disertifikasi oleh kementerian dan lembaga teknis terkait dan diawasi oleh Kementerian Perdagangan sebagai upaya untuk meningkatkan daya saing dan perlindungan konsumen.



Pada era liberalisasi perdagangan yang diwarnai dengan perang dagang perlu peraturan yang bisa melengkapi UU Perdagangan terkait dengan mutu dan infrastruktur mutu pendukungnya. Termasuk standar, penilaian kesesuaian, metrologi, dan aspek logistik. Apalagi di kalangan industri lokal masalah standardisasi hingga kini masih menjadi masalah laten. Masih kecil jumlah atau persentase produk nasional yang sudah meraih SNI.***

Ketua Umum Ikatan Alumni Program Habibie dan Pendiri Euro Management Indonesia








Tidak ada komentar:

Posting Komentar