Rabu, 31 Oktober 2018

HSP dan Urgensi Pendidikan Kelas Dunia


Oleh Bimo Joga Sasongko | Sabtu, 27 Oktober 2018 | 11:05

Peringatan Hari Sumpah Pemuda (HSP) ke-90 tahun 2018 mengetengahkan tema “Bangun Pemuda Satukan Bangsa”. Untuk membangun pemuda dalam aspek mentalitas dan keahlian dibutuhkan pendidikan berkelas dunia. Masalahnya, kondisi sebagian besar lembaga pendidikan saat ini kebanyakan masih jauh dari standar dunia.

Adalah suatu keniscayaan membangun pendidikan berkelas dunia untuk menggembleng para pemuda Indonesia agar mampu bersaing. Mendirikan pendidikan berkelas dunia jangan dipandang sebagai program eksklusivisme. Kemampuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk membangun lembaga pendidikan berkelas dunia masih banyak kendala. Sehingga instansi lain sangat diharapkan bisa mengambil peran tersebut. Termasuk kalangan swasta.

Betapa pentingnya membangun pendidikan berkelas dunia di Tanah Air, sampai-sampai TNI ikut berusaha secara total. Peringatan HSP ke-90 diwarnai dengan fenomena kepemimpinan yang semakin belia. Baik kepemimpinan politik maupun korporasi. Patut angkat topi menyaksikan kepemimpinan dunia yang kini semakin diisi oleh sosok belia.

Data demografi menunjukkan bahwa jumlah pemuda di Indonesia sesuai dengan Undang-Undang tentang Kepemudaan dengan rentang usia 16-30 tahun, berjumlah 24,5% dari total penduduk Indonesia. Kondisi demografi pemuda di atas harus dikelola secara tepat.

Bangsa Indonesia sedang menanti bangkitnya kaum muda yang berani mengarungi kompetensi dunia untuk kendalikan semangat zaman. Perlu membangun optimisme kebangsaan bahwa tidak lama lagi pemuda mampu mewujudkan mimpi bangsa Indonesia, dan menjadi sangat terhormat di antara bangsa lain. Bahkan lebih dari itu, bangsa ini perlu bermimpi untuk suatu saat memimpin dunia.

Memimpin dalam aspek politik, budaya, ilmu pengetahuan dan teknologi. Proyeksi dan prediksi tentang Indonesia yang akan menjadi bangsa besar dan maju pada tahun 2030 telah dibuat McKinsey Global Institute. Berbagai indikator telah dikemukakan oleh McKinsey Global Institute. Seperti potensi pertumbuhan ekonomi Indonesia yang amat hebat jika SDM muda dikelola dan diarahkan dengan benar. Faktor di atas menjadi pendorong pimpinan TNI untuk membangun dan mendirikan lembaga pendidikan berkelas dunia untuk pendidikan umum, yakni Sekolah Menengah Atas (SMA).

Panglima TNI Marsekal TNI Hadi Tjahjanto mengambil langkah cepat dan sesuai dengan tantangan zaman. Yakni bersiap menghadapi perkembangan tatanan dunia baru yang diwarnai dengan era revolusi industry 4.0. TNI telah membangun beberapa lembaga pendidikan untuk jenjang SMA berkelas dunia. Antara lain SMA Taruna Nala di Malang, Jawa Timur yang telah diresmikan oleh Presiden Joko Widodo. Lalu mendirikan SMA unggulan berkelas dunia lainnya yang bernama Pradhita Dirgantara yang berlokasi di Lanud Adisoemarmo, Solo.



Pembangunan SMA berkelas dunia tersebut diharapkan mampu mencetak SDM bangsa yang unggul dan berdaya saing global. Lulusan SMA itu juga diproyeksikan mampu menembus perguruan tinggi terkemuka baik di dalam maupun luar negeri. Saatnya Indonesia totalitas mengembangkan SMA unggulan sesuai dengan persaingan global demi mencetak generasi emas.

Perlu terobosan seperti yang telah diterapkan SMA Taruna Nala yang telah mengombinasikan antara Kurikulum 2013 dengan kurikulum internasional dari Cambridge University (IGCSE). Juga menekankan Program Leadership Academy sehingga lulusannya bisa menjadi calon pemimpin masa depan yang berwawasan internasional dan siap hadapi tantangan globalisasi.

Peringatan HSP 2018 diwarnai dengan spirit kesuksesan Indonesia dalam menyelenggarakan pesta olahraga se Asia, Asian Games XVIII di Jakarta-Palembang. Hal ini menjadi momentum lahirnya pahlawan masa kini dalam sosok pemuda. Sukses Asian Games menjadi kesempatan emas untuk mengembangkan SDM olahraga berkelas dunia.

Selain itu menjadi alas an kuat pentingnya mengirimkan para atlet dan pelatih untuk belajar di luar negeri yang memiliki teknologi tinggi dan sistem kompetisi yang lebih baik. Pengiriman atlet muda ke luar negeri merupakan keniscayaan. Untuk memperlancar program tersebut para atlet mesti diberikan pelatihan bahasa asing beserta kebudayaan negara tersebut.

Dalam dunia olahraga faktor ketidakpastian sangat besar sehingga perlu melibatkan Iptek untuk memperkecil ketidakpastian itu dengan usaha yang terukur. Serta mengetahui strategi para pesaing Indonesia dengan sistem kepelatihan modern serta ilmu keolahragaan (sport science). Kini olahraga menjadi tolok ukur keberhasilan pembangunan manusia. Selain untuk membangun karakter dan kualitas SDM bangsa, olahraga sudah menjadi entitas ekonomi dan industry dengan nilai tambah yang signifikan.

Pemerintahan Jokowi telah melakukan langkah debirokratisasi olahraga agar tidak mengalami kelangkaan prestasi terus menerus. Debirokratisasi pada prinsipnya membebaskan atlet cabang olahraga dari belitan birokrasi dan politisasi. Dan selanjutnya mengembangkan profesionalitas atlet dan pengurus cabang olahraga sesuai dengan perkembangan global.

Tantangan pengembangan olahraga di masa depan diwarnai dengan kemampuan suatu bangsa melakukan ristek di bidang olahraga. Ristek tersebut juga akan menumbuhkan industry olahraga serta melakukan banyak kegiatan eksperimental yang melibatkan ahli teknik dan laboratorium.

Riset dan industri peralatan olahraga dunia telah mengalami lompatan yang luar biasa berkat persenyawaan dengan kemajuan teknologi virtual dan simulasi dengan tajuk teknologi olahraga 4.0. Hal itu terlihat dengan desain peralatan olahraga melalui riset yang melibatkan teknologi canggih.

Seperti penggunaan perangkat desain dari perusahaan Prancis terkemuka Dassault Systemes yang terdiri atas aplikasi, layanan, dan metodologi yang membahas kebutuhan unik pelanggan di industri peralatan olahraga. Perangkat Dassault Systemes didedikasikan untuk mendukung inovasi yang luas dalam hal peralatan olahraga, infrastruktur gedung atau stadion, dan simulasi olahraga.



Selain itu, teknologi virtual di atas dapat digunakan untuk mengoptimalkan kinerja peralatan atletik mulai dari sepatu lari hingga pakaian atlet. SDM Indonesia perlu magang dan transfer teknologi pada perusahaan multinasional seperti Dassault Systemes. Itu tidak hanya dimaksudkan untuk meningkatkan kinerja atlet nasional saja, tetapi juga bisa membantu meningkatkan tingkat kepuasan penonton di dalam stadion.

Bimo Joga Sasongko, Ketua Umum IABIE, pendiri Euro Management Indonesia




Demokratisasi Teknologi


Bimo Joga Sasongko, Pendiri Euro Management Indonesia &Ketua Umum IABIE.

Peringatan Hari Sumpah Pemuda (HSP) ke-90 Tahun 2018 mengusung tema Bangun Pemuda Satukan Bangsa. Diperlukan demokratisasi teknologi untuk membangun pemuda dari aspek pembangunan mental ataupun intelektualnya.

                Kini pemuda Indonesia menghadapi era disrupsi dan menyongsong revolusi industry 4.0. Ironisnya, pemuda Indonesia sebagian besar hanya menjadi objek produk teknologi dari luar negeri.

                Pemuda Indonesia semakin kecanduan konsumerisme produk teknologi tanpa berdaya menumbuhkan nilai tambahnya. Kebutuhan ruang kreativitas bagi para pemuda belum dipenuhi oleh pemerintah pusat dan daerah.

                Sehingga proses demokratisasi teknologi untuk pemuda sulit terwujud. Padahal, tren menunjukkan korporasi dunia sedang menekankan inisiatif dan program demokratisasi teknologi. Salah satu korporasi  yang  tengah getol menerapkannya adalah  Microsoft.

                Perusahaan  yang  kini dibawah kepemimpinan Satya Nadella, CEO ketiga, setelah Bill Gates dan Steve Ballmer. Wujud demokratisasi teknologi ala CEO Microsoft tersebut terlihat saat peluncuran Windows 10.

                Dalam peluncuran itu, Microsoft tidak lagi menggelar pesta penjualan  super  mewah seperti yang lalu. Satya lebih memilih meluncurkan produknya di kawasan miskin Kenya. Satya ingin mendemonstrasikan budaya korporasi baru. Dia ingin memahami keadaan setiap konsumen seperti menyediakan internet murah bagi masyarakat, terutama para pemuda di desa-desa terpencil Afrika.

                Sebagai pakar computer, Satya merumuskan filosofi kepercayaan sebagai E+SV+SR = T/t (Empathy+Shared Values+Safety and Reliability = Trust over Time). Kepercayaan dibentuk dari adanya rasa empati, konsisten, adil dan keberagaman.

                Ini upaya membuat korporasi menjadi  yang lebih humanis dan berkontribusi bagi banyak manusia secara luas. Kini, korporasi global tengah menumbuhkan jiwanya sebagai perusahaan kuat yang bisa mendemokratisasi teknologi untuk warga dunia.

                Sementara itu, korporasi besar dan perusahaan start up di Indonesia yang kebanyakan dimiliki modal asing, masih enggan melakukan demokratisasi teknologi kepada masyarakat, khususnya para pemuda.

                Jumlah pemuda sesuai dengan undang-undang tentang kepemudaan dengan rentang usia antara 16-30 tahun, menurut data BPS berjumlah 61,8 juta orang.  Jumlah tersebut 24,4 persen dari total  penduduk Indonesia.

                Potensi demografi pemuda  di atas harus dikelola secara totalitas dengan berbasis kemajuan teknologi. Agar nantinya, mereka tidak menjadi beban Negara hingga berubah menjadi bencana sosial.

                Ada  tiga karakter dan kapasitas yang perlu dikapitalisasi generasi muda untuk memenangi pertarungan masa depan sekaligus mewujudkan mimpi  Indonesia.

                Pertama, diperlukan generasi muda yang memiliki kualitas integritas tinggi, kedua, kapasitas keahlian dan intelektual yang cukup mumpuni, yang ketiga, karakter kepemimpinan yang peduli dan professional di bidangnya.

                Kapitalisasi di atas, membutuhkan wahana pengembangan teknologi serta member kesempatan bagi pemuda agar bisa menjadi unggul di kelas dunia. Para pemuda yang disebut generasi milenial kini terjerat masalah konektivitas.

                Untuk itu, pemerintah perlu fokus kepada program teknologi informasi komunikasi (TIK) kerakyatan yang bertujuan menjadikan TIK untuk kemaslahatan rakyat seluas-luasnya dengan harga yang semurah-murahnya.

                Hal ini sebagai salah satu bentuk demokratisasi teknologi yang tepat sasaran. Perlu terobosan teknologi dan inovasi tepat guna yang mengedepankan open sources  dan membongkar regulasi yang selama ini cenderung berpihak kepada  vendor asing.

                Pemerintah  diharapkan bisa mewujudkan e-Readiness Indonesia untuk memenuhi kebutuhan generasi milenial dalam berkonektivitas. Perlu kesiapan infrastruktur TIK kerakyatan, sistem inovasi, insentif pengembang TIK, dan factor sosio teknologi untuk memacu daya saing generasi milenial. Hadirnya teknologi  digital harusnya menjadikan bangsa  Indonesia  semakin kreatif dan produktif.

                Namun, nyatanya belum demikian. Teknologi baru digunakan untuk mengonsumsi sedangkan untuk produktivitas masih langka. Belum ada kesadaran, teknologi informasi dan media baru mesti dikapitalisasi atau diproduktivitaskan.

                Sejarah menunjukan, kaum muda lebih tangguh mengendalikan semangat zaman. Saatnya pemuda menggelorakan kemajuan  Indonesia  secara konkret dengan membangkitkan sel-sel kreatif terkecil hingga desa.

                Usaha membangkitkan perlu mencapai tingkat high  concept dan high touch.

                High concept adalah kemampuan menciptakan keindahan artistik dan emosional, mengenali pola-pola danpeluang, menciptakan narasi yang indah dan menghasilkan temuan atau inovasi teknologi yang belum disadari orang lain.

                High touch merupakan kemampuan berempati, memahami esensi interaksi manusia, dan menemukan makna. Dalam konteks  di atas, diperlukan inovasi teknologi  yang  merupakan aspek high-tech yang  pada gilirannya akan mendorong aspek high concept dan high touch bagi kluster ekonomi kreatif yang digeluti kaum muda.

                Besarnya jumlah pemuda selain merupakan potensi juga mengandung risiko. Mulai 2020 sampai 2035, Indonesia menikmati era langka yang disebut bonus demografi, ketika usia produktif diproyeksikan berada pada grafik tertinggi dalam sejarah bangsa ini.

                Jumlahnya mencapai 64 persen dari total jumlah penduduk Indonesia sebesar 297 juta jiwa. Bonus demografi seperti pisau bermata dua. Di satu sisi merupakan peluang strategis bagi sebuah Negara melakukan percepatan pembangunan ekonomi.

                Sebab, Negara tersebut memiliki ketersediaan SDM usia produktif dalam signifikan. Namun, jika salah kelola, bukan bonus yang didapat, tetapi bencana sosial. Untuk mencegah bencana sosial, diperlukan mitigasi social jelang era bonus demografi.

                Mitigasi tersebut untuk mengatasi pemuda yang teralienasi dengan tantangan zaman akibat kurangnya fasilitas untuk berkarya nyata. Bentuk mitigasi ideal, antara lain, berupa kursus-kursus vokasional dan workshop gratis bagi pemuda.

                Daya saing suatu bangsa ditentukan sejauh mana para pemudanya berkreasi dan berinovasi sesuai tren dunia, seperti  yang  tergambar dalam kajian lembaga pendidikan terkemuka  di Amerika Serikat, yakni Harvard Business.

                Mereka menekankan pentingnya mendorong daya saing pemuda di bidang system inovasi dan teknologi produksi. Pada prinsipnya, sistem inovasi, baik itu produk maupun proses merupakan proses belajar.

                Agar  pemuda mampu melakukan kegiatan inovatif, maka harus ada upaya meningkatkan kemampuan ilmu dan teknologinya, yaitu memperkuat kapasitas pembelajaran.






Kamis, 11 Oktober 2018

TNI dan Tantangan Revolusi Industri 4.0


Oleh Bimo Joga Sasongko | Selasa, 9 Oktober 2018 | 10:55

Peringatan HUT Tentara Nasional Indonesia (TNI) ke-73 dilaksanakan secara sederhana tetapi sarat makna. Peringatan kali ini juga difokuskan untuk mengatasi situasi bangsa yang diliputi duka akibat bencana gempa bumi dan tsunami di Sulawesi Tengah.

Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto telah mengerahkan secara optimal personel dan alutsista yang dimiliki ketiga angkatan untuk menangani korban gempa Sulteng serta mengatasi isolasi daerah akibat rusaknya berbagai infrastruktur.

Saat ini Panglima TNI juga tengah fokus untuk mengembangkan sumber daya manusia (SDM) yang sesuai dengan tantangan era revolusi Industri 4.0. Salah satu caranya adalah lewat pendidikan dan kursus reguler bagi kesatuan TNI untuk mengikuti dan menguasai perkembangan bidang teknologi yang menjadi pilar Industri 4.0.

Apalagi Presiden Joko Widodo juga telah mencanangkan strategi Making Indonesia 4.0 yang telah menjadi pedoman bagi seluruh kementerian dan lembaga negara. TNI yang merupakan alat Negara tentunya sangat berkepentingan untuk mengantisipasi secara cepat dan tepat tentang perkembangan global terkait dengan Industri 4.0.

Apalagi seluruh alutsista TNI kini serba canggih yang dioperasikan dan dikontrol secara digital. TNI bersiap menghadapi perkembangan tatanan dunia baru yang diwarnai dengan era revolusi Industri 4.0. Dalam era tersebut tentunya kekuatan militer menjadi salah satu unsur penting karena perkembangan teknologi telah mengubah seluruh tatanan strategi militer. Hal ini merupakan tantangan yang harus dihadapi oleh seluruh personel TNI maupun para Taruna-Taruni Akademi Militer.

Menurut konsultan dunia terkemuka Deloitte, bahwa Industri 4.0 mampu meningkatkan tingkat kesiapan operasional militer. Kemajuan dalam teknologi Industri 4.0 sangat membantu organisasi pertahanan negara meningkatkan kesiapan dan keefektifan mereka.

Bermacam alutsista dan infrastruktur militer penunjang kini telah menerapkan dan didukung dengan teknologi Internet of Things (IoT) dan teknologi Big Data. Teknologi pilar Industri 4.0 itu sangat membantu perencanaan tugas militer, operasi militer maupun untuk efektivitas anggaran militer suatu negara.

Dalam laporan terbaru, Deloitte menyatakan bahwa pasukan pertahanan AS mampu meningkatkan kesiapan mereka berkat teknologi Industri 4.0. Upaya keras pimpinan TNI untuk membangun dan mendirikan lembaga pendidikan berkelas dunia harus didukung penuh.

Baik pendidikan dan latihan terkait bidang kemiliteran, maupun untuk pendidikan umum, yakni Sekolah Menengah Atas (SMA) unggulan yang dikelola oleh keluarga besar TNI. Seperti SMA Taruna Nusantara, SMA Taruna Nala, dan SMA Pradhita Dirgantara. Semuanya memiliki misi besar untuk mencetak SDM unggul khususnya bidang hankam yang mampu mewujudkan metode pengamanan yang paling tepat untuk Indonesia.

Hal itu searah dengan visi Presiden Joko Widodo yang dikemukakan saat memberikan pembekalan kepada perwira remaja TNI/Polri, di Mabes TNI. Tak hentinya-hentinya Panglima TNI menyatakan bahwa Indonesia kini termasuk dalam wilayah Indo Pasifik yang sangat dinamis, sehingga memiliki peluang dan tantangan untuk menghadapi perubahan geopolitik yang terjadi tiba-tiba.

Oleh karena itu, Indonesia perlu menjalin kerja sama dengan Negara maju untuk menjawab tantangan revolusi Industri 4.0 beserta dampak sosialnya. Panglima TNI menyatakan alutsista Indonesia harus segera mengikuti perkembangan pesat teknologi digital.

Alat utama sistem persenjataan (alutsista) TNI harus segera dikembangkan menjadi berbasis teknologi digital. Keniscayaan pembaruan alutsista itu perlu dilakukan mengingat jenis teknologi yang menjadi pilar Industri 4.0 semakin bergerak cepat dan sulit dikuasai.

Tak pelak lagi sekarang setiap orang dan setiap pasukan TNI terhubung dengan internet satu sama yang lain. Keterbukaan informasi semakin lebar sehingga kita harus mengimbangi dengan perkembangan revolusi tersebut. Alutsista TNI juga harus secepatnya dikembangkan agar berbasis pada penggunaan teknologi big data dan artificial intelligence.

Berdasarkan renstra, kebijakan perencanaan pertahanan 2019 diwujudkan melalui arah kebijakan penguatan pertahanan, yaitu: penyelenggaraan Operasi Militer Selain Perang (OMSP); pengadaan Alutsista TNI dalam rangka pemenuhan Minimal Esential Force (MEF); serta pemeliharaan dan perawatan Alutsista TNI.

Selanjutnya, pembangunan sarana dan prasarana satuan alutsista TNI dan satuan baru; peningkatan sarana dan prasarana perbatasan; serta penguatan industry pertahanan. Sasaran yang akan dicapai melalui alokasi anggaran fungsi pertahanan tahun 2019 di antaranya ialah pengadaan 125 paket kendaraan taktis, suku cadang, kendaraan tempur, dan suku cadang kendaraan taktis; pengadaan/penggantian 3 unit kendaraan tempur; pengadaan/ penggantian 688 pucuk senjata dan amunisi; pembangunan 18 unit KRI, KAL, dan Alpung; serta modernisasi 1 paket Command Center Komando Pertahanan Udara Nasional (Kohanudnas).

Menurut kajian Global Power, Indonesia menempati peringkat ke-19 dari 55 negara yang disurvei dalam urutan kekuatan pertahananan negara. Terkait dengan unsur kekuatan pertahanan kapal perang, Indonesia menduduki peringkat 39 dunia.

Kondisi tersebut tentunya belum menggembirakan karena Indonesia adalah negara maritim. Jumlah kapal perang milik TNI AL masih kurang memadai untuk mendukung operasi ketiga armada wilayah. Visi kemaritiman Presiden Joko Widodo bisa terwujud jika didukung dengan kekuatan laut yang tangguh.

Perlu mewujudkan postur armada Nusantara bisa masuk lima besar dunia. Untuk itu dibutuhkan kekuatan Armada Nusantara yang terintegrasi antara kapal perang, pesawat udara maritim, dan ketangguhan pangkalan. Panglima TNI sangat memperhatikan faktor kapabilitas pertahanan negara yang mesti dikembangkan untuk mewujudkan sistem pertahanan yang bersifat semesta.

Kapabilitas itu dibuat berdasarkan strategi pertahanan negara yang merefleksikan kemampuan, kekuatan, dan gelar kekuatan pertahanan dan sumber daya nasional. Dalam rangka melaksanakan strategi pertahanan negara, kapabilitas pertahanan negara dikembangkan untuk mencapai standar penangkalan, yakni kapabilitas pertahanan negara yang mampu menangkal dan mengatasi ancaman terhadap kedaulatan negara, keutuhan wilayah NKRI dan keselamatan segenap warga bangsa.

Bimo Joga Sasongko, Ketua Umum IABIE, Pendiri Euro Management Indonesia 



Kamis, 04 Oktober 2018

Transformasi SDM TNI

Kamis 4/10/2018 | 01:00


Oleh Bimo Joga Sasongko



Panglima Tentara Nasional Indonesia (TNI) Marsekal Hadi Tjahjanto menyatakan peringatan hari ulang tahun ke-73 TNI dilakukan dari Sabang hingga Merauke. Peringatan HUT tahun ini dilakukan secara sederhana, tidak besar-besaran. Sebab, tradisi TNI menggelar hari jadi bergantian antara perayaan besar dan biasa. Apalagi peringatan sekarang bertepatan dengan musibah gempa bumi Donggala dan Palu, Sulawesi Tengah. Untuk mengatasi bencana tersebut sejumlah personel dan alutsista TNI dikerahkan membantu Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).

Pengembangan personel dan alutsista TNI saat ini disesuaikan dengan kemampuan operasi nonperang atau pertahanan nirmiliter seperti penanganan bencana alam. Kapabilitas personel dan alutsista bisa dialihfungsikan secara cepat untuk operasi keselamatan umum mencakup penanganan bencana alam dan operasi kemanusiaan lainnya.

Panglima tengah melaksanakan evaluasi secara berkesinambungan sumber daya manusia (SDM) TNI untuk memenuhi kebutuhan organisasi dan tantangan tugas ke depan. Keputusan tersebut dilandasi sistem merit yang merupakan kebijakan dan manajemen SDM aparatur negara berdasarkan kualifikasi, kompetensi, dan kinerja.

Tak pelak, TNI memerlukan cetak biru pengembangan SDM berkualitas. Pengembangan postur SDM TNI yang modern dan profesional mendesak guna mengantisipasi perubahan tatanan global dan dinamika nasional. Pengembangan SDM TNI searah dengan doktrin bela negara yang terus diperbarui.

Dalam konteks sekarang bela negara adalah sikap dan tindakan warga dijiwai kecintaan tanah air. Upaya mempertahankan kelangsungan hidup bangsa dan negara sebagai nilai dasar bela negara mencakup cinta tanah air, sadar berbangsa, dan bernegara. Kemudian percaya akan Pancasila sebagai ideologi negara, rela berkorban untuk bangsa dan negara serta menjaga kedaulatan wilayah.

Untuk menjawab tantangan ke depan perlu mengaktualisasikan bentuk-bentuk konkret bela negara sesuai dengan tantangan zaman. Karena tantangan dan bentuk ancaman terhadap negara telah berubah. Tantangan tak hanya berupa ancaman perang dengan senjata dan perang asimetrik lainnya, tetapi juga mengatasi dampak bencana alam. Contoh, gempa bumi, kebakaran hutan, banjir dan longsor. Bahkan juga untuk antisipasi dan penanganan polusi atau pencemaran lingkungan hidup. Contoh, operasi Citarum Harum untuk mengatasi pencemaran sungai Citarum. Maka, SDM TNI mesti belajar ilmu lingkungan sungai serta pengolahan sampah.

Perlu strategi pengelolaan SDM sebagai sumber daya nasional untuk kepentingan pertahanan dan keamanan negara. Kondisi sekarang menuntut TNI secepatnya membangun SDM masa depan didukung sistem pembinaan jati diri. Melihat tantangan global dan revolusi Industri 4.0 yang berdampak pada seluruh aspek kehidupan, diperlukan transformasi sistem pendidikan TNI yang lebih adaptif dimulai dari proses perekrutan.

Rekrutmen SDM harus terpadu, sehingga dalam pelaksanaan rekrutmen calon taruna Akademi Militer memiliki kualitas dengan standar sesuai dengan perkembangan iptek mutakhir bidang teknologi yang menjadi pilar Industri 4.0. Kemudian, harus menumbuhkan spirit mengembangkan alutsista dan industri pertahanan serta mengembangkan secara progresif SDM sesuai dengan rencana strategis ketiga angkatan.



Sudah Waktunya

Saatnya meneguhkan industrialisasi dan transformasi teknologi pertahanan. Pengembangan industri pertahanan merupakan bagian terpadu dari perencanaan strategis pengelolaan sumber daya nasional untuk kepentingan pertahanan dan keamanan negara. Ketersediaan peralatan pertahanan dan keamanan selama ini belum didukung kemampuan industri secara optimal. Ini menyebabkan ketergantungan pada produk pertahanan luar negeri.

Industri pertahanan meliputi alat utama, komponen utama, pendukung (perbekalan), dan bahan baku. Saat ini dibutuhkan SDM yang menguasai teknologi pertahanan untuk menerapkan visi bagi kemajuan dan kemandirian industri pertahanan. SDM yang kapabel, sehingga mampu mendukung kemajuan teknologi Alat Peralatan Pertahanan dan Keamanan sesuai dengan perkembangan zaman.

Untuk merumuskan cetak biru pengembangan SDM perlu dibentuk task force yang memiliki kredibilitas dan kompetensi pertahanan ke depan. Dalam rencana strategis, pertahanan negara dinyatakan bahwa SDM TNI sebagai komponen utama harus disiapkan dari segi pemenuhan personel di tiap matra, pelaksanaan latihan, dan pendidikan keterampilan agar profesional dalam pelaksanaan tugasnya baik berupa kegiatan maupun yang bersifat operasi. Namun, tuntutan kompetensi dan profesionalitas tersebut harus diimbangi dengan peningkatan kesejahteraan prajurit.

Cetak biru pengembangan SDM TNI perlu sinkronisasi dengan aspek ekonomi pertahanan. Saatnya memperbarui platform ekonomi pertahanan mengingat geopolitik global terus berubah. Menurut Britannica Encyclopedia, ekonomi pertahanan adalah manajemen ekonomi nasional terkait dengan dampak ekonomi dari belanja militer.

Implikasi yang terkait dengan ekonomi pertahanan antara lain tingkat belanja pertahanan, dampak pengeluaran pertahanan terhadap produk dan lapangan kerja di dalam atau luar negeri. Kemudian, pengaruh belanja pertahanan dengan perubahan teknologi, serta efek stabilitas nasional global.

Platform atau cetak biru ekonomi pertahanan yang sesuai dengan kondisi sekarang sangat membantu agenda bela negara. Beberapa masalah yang masih mengganjal kedaulatan bangsa antara lain adanya kontrol sebagian ruang udara Indonesia oleh negara tetangga, Singapura.

Singapura hingga kini masih menguasai Flight Information Regional (FIR). Ini terkait pengaturan lalu lintas udara Indonesia bagian barat, di antaranya ruang udara Kepulauan Riau, Kepulauan Natuna, dan perairannya. Masalah tersebut masih berlarut-larut dan belum diambil alih otoritas Indonesia. Pemerintahan sudah sering berganti, tetapi masalah tersebut terus mengganjal. Ini harus menjadi agenda bela negara 2018 untuk dituntaskan.

Masalah FIR mestinya bisa segera dituntaskan karena semua infrastruktur dan SDM berkompeten sudah disiapkan, yakni dengan adanya Jakarta Automated Air Traffic Service yang sebenaranya sudah mampu mengendalikan lalu lintas udara wilayah Indonesia bagian barat secara utuh.


Penulis Lulusan North Carolina State University




Jumat, 28 September 2018

Rekomendasi Habibie tentang Nilai Tambah


Oleh Bimo Joga Sasongko | Jumat, 28 September 2018 | 10:42

Bangsa Indonesia harus berpikir keras untuk mengembangkan sumber daya manusia (SDM) yang terkait dengan usaha repositioning produk nasional di tengah terjadinya perang dagang dunia dan melemahnya nilai tukar rupiah.

Presiden RI ketiga BJ Habibie merekomendasikan pentingnya membenahi secara detail nilai tambah aneka produk nasional. Hal itu diungkapkan dalam kesempatan tatap muka dengan segenap SDM teknologi dan industri bertempat di Gedung Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) beberapa waktu lalu.

Sektor manufakturing perlu kerja detail dalam menerapkan standarisasi dan peningkatan kapabilitas teknologinya. Masih rendahnya kapasitas nasional yang digarap dengan proses nilai tambah yang layak menjadi keprihatinan BJ Habibie.

Keprihatinan di atas sangat beralasan karena hingga kini terjadi penurunan kemampuan industri nasional menyeimbangkan neraca nilai ekspor impor secara signifikan. Secara makro ketidakseimbangan ini disebabkan oleh masalah efisiensi dan masalah produktivitas. Oleh karena itu para pemangku kepentingan perlu merumuskan kembali strategi dasar pelaku industri yang mengedepankan faktor nilai tambah.

BJ Habibie yang usianya telah menginjak 82 tahun menekankan perlunya langkah cepat pemerintah untuk mendorong industri dengan produk yang memiliki nilai tambah besar saat dijual ke pasaran. Salah satu cara agar produk tersebut bisa memiliki nilai tambah yang signifikan adalah dengan memanfaatkan teknologi yang tepat.

Semua negara sedang berlomba lomba memanfaatkan teknologi terkini, antara lain dengan tajuk Industri 4.0 demi untuk mendapatkan nilai tambah sebesar-besarnya dan seefisien mungkin terhadap produk industrinya.

Pada hakikatnya factory 4.0 atau pabrik cerdas yang saat ini sedang menjadi perhatian besar dunia adalah untuk mendapatkan nilai tambah yang paling ideal. BJ Habibie telah merumuskan konsep nilai tambah industri untuk Negara berkembang sejak awal dekade 80-an.

Menurut pakar ekonomi dunia Haller dan Stolowy (1995), value added (VA) atau nilai tambah adalah pengukuran performance entitas ekonomi. Arti nilai tambah adalah perbedaan antara nilai dari output suatu perusahaan atau suatu industri, yaitu total pendapatan yang diterima dari penjualan output tersebut, dan biaya masukan dari bahan-bahan mentah, komponen-komponen atau jasa-jasa yang dibeli untuk memproduksi komponen tersebut.

Nilai tambah diketahui dengan melihat selisih antara nilai output dengan nilai input suatu industri. Value added (VA) merupakan konsep utama pengukuran income suatu negara. Konsep ini secara tradisional berakar pada ilmu ekonomi makro, terutama yang berhubungan dengan penghitungan pendapatan nasional yang diukur dengan performance produktif dari ekonomi nasional yang biasanya dinamakan produk domestik.

Pemerintah perlu mengonsolidasikan industri nasional, baik BUMN maupun swasta untuk mendongkrak nilai tambah produknya. SDM teknologi nasional sudah cukup jumlahnya untuk bergotong royong dan memeras pikiran guna merumuskan proses nilai tambah produk nasional. Sehingga tidak ada lagi bahan baku dan setengah jadi yang dijual begitu saja ke luar negeri dengan nilai tambah yang kecil. Kondisi itu tentunya tidak bisa menyerap tenaga kerja secara optimal dan belum mampu mendongkrak ekonomi lokal secara kuat.

Kondisi perekonomian dunia yang semakin dinamis bahkan sewaktu-waktu bisa fluktuatif perlu kebijakan yang masih terkait positioning produk nasional. Positioning produk diwarnai bermacam disrupsi teknologi dan datangnya era Industri 4.0. Positioning produk nasional perlu mencermati perang dagang yang terjadi antara Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok. Implikasi perang dagang bisa menyebabkan banjir produk ke Indonesia.

Perang dagang menyulitkan usaha pemerintah yang berusaha keras meningkatkan kinerja ekspor. Presiden Joko Widodo belum puas dengan kinerja ekspor nasional. Kekecewaan Presiden tersebut ditunjukkan dengan membandingkan nilai ekspor RI yang ketinggalan dari negara tetangga.

Presiden menyatakan bahwa sebagai bangsa besar seharusnya kinerja ekspor tidak kalah dengan Thailand, Vietnam, dan Malaysia. Apalagi kapasitas dan sumber daya alam serta jumlah SDM yang dimiliki Indonesia jauh lebih besar. Sebagai catatan, Thailand mampu menghasilkan US$ 231 miliar dari ekspor. tertinggi di Asia Tenggara. Sedangkan Malaysia US$ 184 miliar, dan Vietnam mencapai US$ 160 miliar. Sementara Indonesia, hanya US$ 145 miliar.

Untuk menggenjot ekspor produk nasional tidak cukup lewat pameran perdagangan dengan skala lokal hingga global. Tapi perlu mencari terobosan yang bisa menggenjot perdagangan sekaligus menjadi sistem bagi pengusaha untuk bertukar informasi tentang produk unggulan.

Terkait dengan masalah positioning produk nasional ada baiknya kita mengkaji peta yang menggambarkan aliran produk yang terjadi. Seperti dalam elaborasi oleh Peter Dickens dalam bukunya Global Shift: Mapping The Changing Contours of the World Economy. Buku itu merekomendasikan kepada bangsa-bangsa pentingnya merancang ulang mata rantai jaringan produksi global. Dan selalu fokus pada pasar dan kematangan produk.

Hal itu sangat relevan, di tengah banyaknya perusahaan di Tanah Air yang kini menghadapi ketidakseimbangan biaya bahan baku yang diimpor dengan hasil penjualan produk yang diekspor atau diserap dalam pasar domestik. Usaha memacu perdagangan produk nasional sangat tergantung kepada sistem logistik. Oleh karena itu, kita perlu menetapkan produk atau komoditas penggerak utama dalam suatu tatanan jaringan logistik dan rantai pasok, tata kelola, dan tata niaga yang efektif dan efisien.

Saatnya mengintegrasikan simpul simpul infrastruktur logistik, baik simpul logistik (logistics node) maupun keterkaitan antarsimpul logistic (logistics link) yang berfungsi untuk mengalirkan barang dari titik asal ke titik tujuan. Simpul logistik meliputi pelaku logistik dan konsumen; sedangkan keterkaitan antarsimpul meliputi jaringan distribusi, jaringan transportasi, jaringan informasi, dan jaringan keuangan, yang menghubungkan masyarakat perdesaan, perkotaan, pusat pertumbuhan ekonomi, antarpulau maupun lintas negara.

Volume perdagangan nasional sangat dipengaruhi oleh kinerja logistik. Oleh karena kapasitas SDM di bidang logistik masih memprihatinkan maka perlu ditingkatkan. Kebutuhan tenaga-tenaga yang kompeten di sektor logistik tidak hanya diperlukan untuk pengembangan sistem logistik nasional, tetapi juga dalam menghadapi liberalisasi tenaga kerja.

Dibutuhkan strategi yang mampu mengembangkan SDM dengan kompetensi dan profesi logistik berstandar internasional. SDM logistik yang terpercaya baik pada tingkat operasional, manajerial dan strategis, dan mencukupi kebutuhan nasional untuk mewujudkan efisiensi dan efektifitas kinerja system logistik nasional.

Bimo Joga Sasongko. Ketua Umum IABIE, Pendiri Euro Management Indonesia.



Selasa, 18 September 2018

Industrialisasi Indonesia – Korsel


13 September 2018.

Bimo Joga Sasongko, Pendiri Euro Management Indonesia, Ketua Umum IABIE

                Kunjungan kenegaraan Presiden Joko Widodo (Jokowi) ke Korea Selatan (Korsel) belum lama ini, sangat relevan untuk mempelajari secara komprehensif bagaimana kebangkitan industri Korsel bisa terwujud dalam waktu yang relatif singkat.

                Korsel merupakan mitra strategis Indonesia dan investor kelima terbesar Indonesia. Indonesia perlu belajar dan mencontoh kebangkitan nasional Korsel yang ditandai dengan suksesnya program industrialisasi serta monetisasi industri budayanya yang tumbuh luar biasa dan mampu mendunia.

                Jika kita menengok sejarah, pada dekade 70-an sebenarnya Korsel dan Cina yang menyandang sebutan Macan Asia itu, memulai strategi Industrialisasi yang mirip dengan Indonesia.

                Ketiga negara tersebut sama-sama sedang mencetak sumber daya manusia (SDM) teknologi sebanyak-banyaknya untuk menjalankan strategi transformasi teknologi dan industri.

                Waktu itu, Indonesia juga memiliki strategi transformasi teknologi dan industri yang dipimpin Menristek BJ Habibie dengan membentuk sembilan wahana industrialisasi nasional serta pusat pengembangan iptek (Puspiptek) di Serpong.

                Begitu juga, ada program pengiriman ribuan lulusan terbaik SMA dari seluruh Tanah Air. Dengan cara pemberian beasiswa ikatan dinas kepada mereka untuk berkuliah di perguruan tinggi terkemuka di negara maju.

                Semua langkah Indonesia saat itu, boleh dibilang kongruen atau sebangun dengan langkah Korsel dan Cina. Namun dalam perjalanannya, strategi transformasi di Indonesia terkendala oleh kondisi politik sehingga stagnan dan teralienasi.

                Dan akhirnya, Indonesia tertinggal oleh Cina dan Korsel. Fenomena ketertinggalan itu antara lain terlihat dari kondisi industri elektronik dan telekomunikasi, yang pada era 70-an sebenarnya BJ Habibie telah menyiapkan wahana pengembangan jenis industri di atas.

                Yakni, PT Industri Telekomunikasi Indonesia (PT INTI), Lembaga Elektronika Nasional (LEN), dan berbagai macam laboratorium serta didukung SDM teknologi lulusan luar negeri yang termasuk ikatan dinas.

                Ternyata kondisi industri nasional kini tertinggal jauh oleh Samsung kebanggaan Korsel dan Huawei kebanggaan Cina. Kondisi PT INTI dan LEN yang dulu direncanakan sebagai salah satu wahana tangguh Industrialisasi ternyata tidak tumbuh semestinya bahkan sering terpuruk dan kalah bersaing.

                Kini pasar industri elektronik dan telekomunikasi telah didominasi Cina dan Korsel yang juga telah menggusur Jepang. Dominasi perusahaan Jepang di bisnis elektronik di Indonesia, semakin tergusur produk elektronik Korea Selatan dan Cina.

                Ironisnya, produsen elektronik Jepang Toshiba menjual pabrik televisi dan mesin cucinya di Indonesia ke perusahaan Cina, Skyworth. Aksi pencaplokan perusahaan Jepang oleh investor Cina bukan kali pertama.

                Sebelumnya, Haier Group dari Cina mengakuisisi perusahaan elektronik Jepang, Sanyo Electric

Padahal, seperti Toshiba, Sanyo juga memiliki akar bisnis cukup kuat di Indonesia. Kita sangat prihatin melihat industri elektronik nasional yang hanya menjadi penonton.

                Padahal, pasar elektronik dan telekomunikasi di Indonesia sangat gemuk. Kondisi di atas menjadikan kunjungan Presiden Jokowi memiliki makna sangat signifikan untuk belajar bagaimana cara membangkitkan industri nasional.

                Misalnya, membangkitkan PT INTI dan LEN sehingga Indonesia tidak hanya menjadi penonton dan pemain kecil-kecilan dalam hal pembangunan infrastruktur dan kebutuhan pasar elektronik di Indonesia.

                Presiden Jokowi juga perlu konsisten dengan kebijakan lokalisasi komponen oleh perusahaan multinasional yang memenangkan proyek infrastruktur sehingga persentase TKDN komponen terus meningkat dan diproduksi oleh industry elektronik nasional.

                Selain bidang Industrialisasi dan pengembangan industri kreatif, Indonesia perlu mencontoh keberhasilan Korsel dalam menata birokrasi pemerintahan dan bagaimana cara bangsa Korsel mencetak jutaan SDM unggul yang disebar di seluruh dunia.

                Hal itu terlihat dari pada peneliti muda Samsung yang ditugaskan ke luar negeri, yang jumlahnya mencapai puluhan ribu orang. Belum lagi perusahaan lainnya yang juga melakukan program pengembangan SDM yang serupa.

                Kunjungan Presiden Jokowi ke Korsel, sebaiknya juga mempelajari cara Samsung mengelola dan mengembangkan SDM. Sebaiknya Presiden meminta Samsung untuk memberikan beasiswa kepada para lulusan SMA ternaik.

                Tujuannya agar mereka bisa belajar di Korsel dan berkesempatan kerja magang di pusat pengembangan teknologi Samsung. Selama lima tahun terakhir, Samsung menekankan pentingnya program spesialis regional, unsure pokok dalam upaya globalisasi Samsung.

                Program tersebut meliputi pelatihan SDM dengan wawasan internasional agar memahami situasi di pasar-pasar luar negeri. Pelatihan tersebut dengan cara menugaskan karyawan ke berbagai negara untuk belajar dan memahami budaya dan potensinya.

                Samsung Electronics memiliki 21 ribu peneliti luar negeri yang tersebar di 29 lembaga penelitian di 16 negara yang mengkaji bidang-bidang strategis, yaitu di Amerika Serikat, Inggris, Rusia, Cina, Jepang, India, Israel dan Polandia.

                Dalam konteks inovasi terbuka, Samsung bekerja sama dengan universitas ternama dunia, seperti MIT, Universitas of California – Berkeley melalui program-program industrial affiliate dan visiting researcher.

                Presiden Jokowi yang bertekad membentuk postur aparatur sipil negara (ASN) yang bersih dari korupsi, cerdas, cekatan, dan memiliki daya inovasi perlu mengacu kepada Korsel yang telah berhasil melakukan reformasi birokrasinya.

                Program di atas dipelopori presiden kelima Korsel Chun Doo Wan yang menetapkan sejumlah prinsip utama reformasi administrasi dan birokrasi melalui Civil Servants Ethics Act, Civil Servant Consciousness Reform Movement, Retired Civil Servant Employment Control, Civil Servant Property Registration, dan Civil Servant Gifts Control.

                Program revolusi mental bagi ASN di Indonesia oleh pemerintahan Jokowi, mestinya dilakukan dengan mengambil referensi Korsel di atas.






Platform Gotong Royong Intelektual Bangsa

Oleh Bimo Joga Sasongko | Rabu, 5 September 2018 | 9:46

Usia Kemerdekaan Republik Indonesia (RI) telah menginjak 73 tahun. Kini postur intelektual bangsa semakin banyak jumlahnya. Mereka adalah kelas menengah yang memiliki tugas sejarah untuk bergotong royong lewat pikiran dan tenaga demi mewujudkan Indonesia yang unggul dan berkelas dunia.

Peringatan Hari Kemerdekaan yang baru saja digelorakan harus menjadi spirit untuk mendongkrak indeks daya saing sumber daya manusia (SDM) dan terus mengembangkan kapasitas inovasi. Apalagi proses inovasi sarat kerja gotong royong dan membutuhkan SDM unggul dalam jumlah besar.

Selaras dengan hal itu maka sudah selayaknya dibentuk platform gotong royong para intelektual bangsa yang sesuai dengan pembangunan manusia Indonesia, khususnya membentuk SDM terbarukan. Karena selama ini para intelektual bangsa lebih suka kerja sendiri dan terlalu sibuk dengan ambisi masing-masing.

Akibatnya progres kemajuan bangsa tersendat dan indeks daya saing SDM bangsa belum menggembirakan. Dalam konteks itulah maka perlu terobosan dalam pembangunan manusia agar bisa membuahkan produktivitas yang tinggi serta meningkatnya nilai tambah lokal. Saatnya kerja yang cerdas dan berkualitas, bukan kerja asal kerja.

Intelektual Indonesia kerja bersama disemangati oleh nilai tradisi keindonesiaan yang telah membumi berabad-abad. Esensi kerja bersama adalah “holopis kuntul baris” yang identik dengan perilaku gotong royong ajaran leluhur bangsa. Lalu diformulasikan secara ideologis oleh Presiden RI pertama Soekarno.

Gotong royong mesti tulus memikul beban bersama, menikmati bersama secara murah meriah dan guyup. Oleh karenanya, perlu dirumuskan arah dan platform gotong royong sebagai energi kolektif kebangsaan untuk menghadapi persaingan global yang makin sengit.

Menurut Bung Karno, gotongroyong merupakan pembantingan tulang bersama, pemerasan keringat bersama, dan perjuangan bantu membantu bersama. Amal semua buat kepentingan semua. Dalam konteks zaman sekarang, gotong royong memiliki arti yang luar biasa bagi kemajuan bangsa jika kaum intelektual mampu bersinergi dan menghilangkan eksklusivisme.

Gotong royong bukanlah sesuatu yang sudah jadi atau given. Gotong-royong memerlukan rekayasa dan pembangunan manusia untuk mencetak SDM terbarukan yang sesuai dengan kemajuan zaman. SDM terbarukan memiliki daya kreatif dan inovasi yang lebih unggul dari generasi sebelumnya.

Di situlah urgensi perlunya kembali merumuskan platform gotong royong para intelektual bangsa yang sesuai dengan tantangan zaman. Pada saat Kemerdekaan RI dikumandangkan, SDM bangsa yang mampu memutar roda organisasi negara masih sangat sedikit. Namun begitu, dalam hitungan bulan setelah hari merdeka, para pemuda yang notabene SDM bangsa mampu mengambil alih lembaga penting dari tangan penjajah. Lalu mereka dengan penuh tekad bergotong royong berusaha menjalankan aktivitas berbagai lembaga dan badan usaha yang dibutuhkan oleh negara.

Sebulan setelah hari kemerdekaan, angkatan muda kereta api mengambil alih sektor perkeretaapian. Kemudian disusul oleh sektor pos dan telekomunikasi, perminyakan, dan sektor lainnya. Begitu juga dengan kebutuhan untuk SDM pertahanan untuk bela negara. Setelah perang kemerdekaan para petinggi TNI banyak merekomendasikan pengiriman anggota TRIP untuk kuliah di luar negeri.

Setelah berhasil kuliah mereka kembali ke Tanah Air dan berperan penting untuk membenahi perguruan tinggi di dalam negeri yang sebelumnya dikelola oleh ilmuwan Belanda. Seperti contohnya Profesor Suwondo B Sutedjo Dipl Ing, yang sebelumnya adalah anggota TRIP Divisi Ronggolawe, yang berhasil menyelesaikan studinya pada Technische Hochshule di Hanover Jerman. Sekembali ke Indonesia, Suwondo membenahi dan mengajar di Institute Teknologi Bandung (ITB).

Pemerintahan Presiden Joko Widodo bertekad mulai tahun 2019 pembangunan bangsa menekankan pengembangan sumber daya manusia (SDM). Struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2019 dan tahun berikutnya difokuskan untuk membenahi SDM bangsa lewat penguatan keahlian dan produktivitas.

Platform gotong royong intelektual bangsa diharapkan bisa menjadi ujung tombak untuk mendongkrak indeks daya saing SDM bangsa. Masyarakat prihatin melihat indeks GTCI 2018, di mana Indonesia berada di urutan ke-77 dari total 119 negara di dunia dalam peringkat Global Talent Competitiveness Index (GTCI) 2018.

Bangsa Indonesia menduduki peringkat ke-77, masih kalah dengan negara tetangga. Sebagai perbandingan, Malaysia di peringkat 27, Filipina di posisi 54, dan Thailand di peringkat 70. GTCI merupakan laporan komprehensif tahunan yang dapat dijadikan indikator untuk mengukur bagaimana suatu negara menyediakan sumber daya manusia untuk meningkatkan daya saing mereka.

Dalam mengukur indeks GTCI, lima pilar yang digunakan antara lain enable atau keberagaman dalam pengetahuan, pengalaman, dan cara menyelesaikan masalah. Pilar kedua dan ketiga adalah attract atau kemampuan menarik sumber daya asing, dan grow atau kemampuan untuk meningkatkan kompetensi diri melalui pendidikan dan pelatihan.

Sementara dua pilar lainnya yang digunakan sebagai penilaian adalah pendidikan vokasional dan teknikal, serta pengetahuan global. Para intelektual bangsa mesti memiliki modal alamiah berupa portofolio kompetensi serta daya kreativitas dan inovasi. Modal itu untuk mewujudkan kepemimpinan unggul, khususnya kepemimpinan dalam domain Iptek dan dunia usaha.

Platform gotong royong intelektual bangsa perlu masive action berupa program mentorship di seluruh pelosok Tanah Air. Menurut Lowenstein & Bradshaw, mentorship adalah suatu bentuk sosialisasi untuk peran profesional yang mendorong pencapaian program nasional.

Perjalanan bangsa saat ini diwarnai bermacam disrupsi teknologi dan datangnya era Industri 4.0. Generasi saat ini perlu navigasi dan pembekalan agar termotivasi dan mampu bersaing secara global.

Cita-cita bangsa sering terhambat oleh perdebatan para intelektual bangsa yang tidak berkesudahan karena belum adanya grand design pembangunan yang strategis dan visioner. Alhasil, pembangunan nasional setelah era Orde Baru masih berjalan tanpa panduan yang jelas sehingga menjadi tindakan tambal sulam tanpa konsep serta cenderung pragmatis dan berorientasi jangka pendek.

Bimo Joga SasongkoPendiri Euro Management Indonesia, Ketua Umum IABIE