- Pendiri, Presiden Direktur dan CEO Euro Management Indonesia, - SekJen Ikatan Alumni Program Habibie (IABIE), - Ketua Bidang Pengembangan Profesionalitas Tenaga Kerja Ikatan Cendikiawan Muslim Se-Indonesia (ICMI), - Pengagas Gerakan Indonesia 2030: Sejuta Indonesia di Jantung Dunia, - Penerima Beasiswa STAID 1 USA, - Alumni Fachhochschule Pforzheim, Jerman, - Alumni Arizona State University, Arizona, USA, - Alumni North Carolina State University, North Carolina, USA.
Jumat, 28 September 2018
Rekomendasi Habibie tentang Nilai Tambah
Oleh Bimo Joga Sasongko | Jumat, 28 September 2018 | 10:42
Bangsa Indonesia harus berpikir keras untuk mengembangkan sumber daya manusia (SDM) yang terkait dengan usaha repositioning produk nasional di tengah terjadinya perang dagang dunia dan melemahnya nilai tukar rupiah.
Presiden RI ketiga BJ Habibie merekomendasikan pentingnya membenahi secara detail nilai tambah aneka produk nasional. Hal itu diungkapkan dalam kesempatan tatap muka dengan segenap SDM teknologi dan industri bertempat di Gedung Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) beberapa waktu lalu.
Sektor manufakturing perlu kerja detail dalam menerapkan standarisasi dan peningkatan kapabilitas teknologinya. Masih rendahnya kapasitas nasional yang digarap dengan proses nilai tambah yang layak menjadi keprihatinan BJ Habibie.
Keprihatinan di atas sangat beralasan karena hingga kini terjadi penurunan kemampuan industri nasional menyeimbangkan neraca nilai ekspor impor secara signifikan. Secara makro ketidakseimbangan ini disebabkan oleh masalah efisiensi dan masalah produktivitas. Oleh karena itu para pemangku kepentingan perlu merumuskan kembali strategi dasar pelaku industri yang mengedepankan faktor nilai tambah.
BJ Habibie yang usianya telah menginjak 82 tahun menekankan perlunya langkah cepat pemerintah untuk mendorong industri dengan produk yang memiliki nilai tambah besar saat dijual ke pasaran. Salah satu cara agar produk tersebut bisa memiliki nilai tambah yang signifikan adalah dengan memanfaatkan teknologi yang tepat.
Semua negara sedang berlomba lomba memanfaatkan teknologi terkini, antara lain dengan tajuk Industri 4.0 demi untuk mendapatkan nilai tambah sebesar-besarnya dan seefisien mungkin terhadap produk industrinya.
Pada hakikatnya factory 4.0 atau pabrik cerdas yang saat ini sedang menjadi perhatian besar dunia adalah untuk mendapatkan nilai tambah yang paling ideal. BJ Habibie telah merumuskan konsep nilai tambah industri untuk Negara berkembang sejak awal dekade 80-an.
Menurut pakar ekonomi dunia Haller dan Stolowy (1995), value added (VA) atau nilai tambah adalah pengukuran performance entitas ekonomi. Arti nilai tambah adalah perbedaan antara nilai dari output suatu perusahaan atau suatu industri, yaitu total pendapatan yang diterima dari penjualan output tersebut, dan biaya masukan dari bahan-bahan mentah, komponen-komponen atau jasa-jasa yang dibeli untuk memproduksi komponen tersebut.
Nilai tambah diketahui dengan melihat selisih antara nilai output dengan nilai input suatu industri. Value added (VA) merupakan konsep utama pengukuran income suatu negara. Konsep ini secara tradisional berakar pada ilmu ekonomi makro, terutama yang berhubungan dengan penghitungan pendapatan nasional yang diukur dengan performance produktif dari ekonomi nasional yang biasanya dinamakan produk domestik.
Pemerintah perlu mengonsolidasikan industri nasional, baik BUMN maupun swasta untuk mendongkrak nilai tambah produknya. SDM teknologi nasional sudah cukup jumlahnya untuk bergotong royong dan memeras pikiran guna merumuskan proses nilai tambah produk nasional. Sehingga tidak ada lagi bahan baku dan setengah jadi yang dijual begitu saja ke luar negeri dengan nilai tambah yang kecil. Kondisi itu tentunya tidak bisa menyerap tenaga kerja secara optimal dan belum mampu mendongkrak ekonomi lokal secara kuat.
Kondisi perekonomian dunia yang semakin dinamis bahkan sewaktu-waktu bisa fluktuatif perlu kebijakan yang masih terkait positioning produk nasional. Positioning produk diwarnai bermacam disrupsi teknologi dan datangnya era Industri 4.0. Positioning produk nasional perlu mencermati perang dagang yang terjadi antara Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok. Implikasi perang dagang bisa menyebabkan banjir produk ke Indonesia.
Perang dagang menyulitkan usaha pemerintah yang berusaha keras meningkatkan kinerja ekspor. Presiden Joko Widodo belum puas dengan kinerja ekspor nasional. Kekecewaan Presiden tersebut ditunjukkan dengan membandingkan nilai ekspor RI yang ketinggalan dari negara tetangga.
Presiden menyatakan bahwa sebagai bangsa besar seharusnya kinerja ekspor tidak kalah dengan Thailand, Vietnam, dan Malaysia. Apalagi kapasitas dan sumber daya alam serta jumlah SDM yang dimiliki Indonesia jauh lebih besar. Sebagai catatan, Thailand mampu menghasilkan US$ 231 miliar dari ekspor. tertinggi di Asia Tenggara. Sedangkan Malaysia US$ 184 miliar, dan Vietnam mencapai US$ 160 miliar. Sementara Indonesia, hanya US$ 145 miliar.
Untuk menggenjot ekspor produk nasional tidak cukup lewat pameran perdagangan dengan skala lokal hingga global. Tapi perlu mencari terobosan yang bisa menggenjot perdagangan sekaligus menjadi sistem bagi pengusaha untuk bertukar informasi tentang produk unggulan.
Terkait dengan masalah positioning produk nasional ada baiknya kita mengkaji peta yang menggambarkan aliran produk yang terjadi. Seperti dalam elaborasi oleh Peter Dickens dalam bukunya Global Shift: Mapping The Changing Contours of the World Economy. Buku itu merekomendasikan kepada bangsa-bangsa pentingnya merancang ulang mata rantai jaringan produksi global. Dan selalu fokus pada pasar dan kematangan produk.
Hal itu sangat relevan, di tengah banyaknya perusahaan di Tanah Air yang kini menghadapi ketidakseimbangan biaya bahan baku yang diimpor dengan hasil penjualan produk yang diekspor atau diserap dalam pasar domestik. Usaha memacu perdagangan produk nasional sangat tergantung kepada sistem logistik. Oleh karena itu, kita perlu menetapkan produk atau komoditas penggerak utama dalam suatu tatanan jaringan logistik dan rantai pasok, tata kelola, dan tata niaga yang efektif dan efisien.
Saatnya mengintegrasikan simpul simpul infrastruktur logistik, baik simpul logistik (logistics node) maupun keterkaitan antarsimpul logistic (logistics link) yang berfungsi untuk mengalirkan barang dari titik asal ke titik tujuan. Simpul logistik meliputi pelaku logistik dan konsumen; sedangkan keterkaitan antarsimpul meliputi jaringan distribusi, jaringan transportasi, jaringan informasi, dan jaringan keuangan, yang menghubungkan masyarakat perdesaan, perkotaan, pusat pertumbuhan ekonomi, antarpulau maupun lintas negara.
Volume perdagangan nasional sangat dipengaruhi oleh kinerja logistik. Oleh karena kapasitas SDM di bidang logistik masih memprihatinkan maka perlu ditingkatkan. Kebutuhan tenaga-tenaga yang kompeten di sektor logistik tidak hanya diperlukan untuk pengembangan sistem logistik nasional, tetapi juga dalam menghadapi liberalisasi tenaga kerja.
Dibutuhkan strategi yang mampu mengembangkan SDM dengan kompetensi dan profesi logistik berstandar internasional. SDM logistik yang terpercaya baik pada tingkat operasional, manajerial dan strategis, dan mencukupi kebutuhan nasional untuk mewujudkan efisiensi dan efektifitas kinerja system logistik nasional.
Bimo Joga Sasongko. Ketua Umum IABIE, Pendiri Euro Management Indonesia.
Selasa, 18 September 2018
Industrialisasi Indonesia – Korsel
13 September 2018.
Bimo Joga Sasongko, Pendiri Euro Management Indonesia, Ketua Umum IABIE
Kunjungan kenegaraan Presiden Joko Widodo (Jokowi) ke Korea Selatan (Korsel) belum lama ini, sangat relevan untuk mempelajari secara komprehensif bagaimana kebangkitan industri Korsel bisa terwujud dalam waktu yang relatif singkat.
Korsel merupakan mitra strategis Indonesia dan investor kelima terbesar Indonesia. Indonesia perlu belajar dan mencontoh kebangkitan nasional Korsel yang ditandai dengan suksesnya program industrialisasi serta monetisasi industri budayanya yang tumbuh luar biasa dan mampu mendunia.
Jika kita menengok sejarah, pada dekade 70-an sebenarnya Korsel dan Cina yang menyandang sebutan Macan Asia itu, memulai strategi Industrialisasi yang mirip dengan Indonesia.
Ketiga negara tersebut sama-sama sedang mencetak sumber daya manusia (SDM) teknologi sebanyak-banyaknya untuk menjalankan strategi transformasi teknologi dan industri.
Waktu itu, Indonesia juga memiliki strategi transformasi teknologi dan industri yang dipimpin Menristek BJ Habibie dengan membentuk sembilan wahana industrialisasi nasional serta pusat pengembangan iptek (Puspiptek) di Serpong.
Begitu juga, ada program pengiriman ribuan lulusan terbaik SMA dari seluruh Tanah Air. Dengan cara pemberian beasiswa ikatan dinas kepada mereka untuk berkuliah di perguruan tinggi terkemuka di negara maju.
Semua langkah Indonesia saat itu, boleh dibilang kongruen atau sebangun dengan langkah Korsel dan Cina. Namun dalam perjalanannya, strategi transformasi di Indonesia terkendala oleh kondisi politik sehingga stagnan dan teralienasi.
Dan akhirnya, Indonesia tertinggal oleh Cina dan Korsel. Fenomena ketertinggalan itu antara lain terlihat dari kondisi industri elektronik dan telekomunikasi, yang pada era 70-an sebenarnya BJ Habibie telah menyiapkan wahana pengembangan jenis industri di atas.
Yakni, PT Industri Telekomunikasi Indonesia (PT INTI), Lembaga Elektronika Nasional (LEN), dan berbagai macam laboratorium serta didukung SDM teknologi lulusan luar negeri yang termasuk ikatan dinas.
Ternyata kondisi industri nasional kini tertinggal jauh oleh Samsung kebanggaan Korsel dan Huawei kebanggaan Cina. Kondisi PT INTI dan LEN yang dulu direncanakan sebagai salah satu wahana tangguh Industrialisasi ternyata tidak tumbuh semestinya bahkan sering terpuruk dan kalah bersaing.
Kini pasar industri elektronik dan telekomunikasi telah didominasi Cina dan Korsel yang juga telah menggusur Jepang. Dominasi perusahaan Jepang di bisnis elektronik di Indonesia, semakin tergusur produk elektronik Korea Selatan dan Cina.
Ironisnya, produsen elektronik Jepang Toshiba menjual pabrik televisi dan mesin cucinya di Indonesia ke perusahaan Cina, Skyworth. Aksi pencaplokan perusahaan Jepang oleh investor Cina bukan kali pertama.
Sebelumnya, Haier Group dari Cina mengakuisisi perusahaan elektronik Jepang, Sanyo Electric
Padahal, seperti Toshiba, Sanyo juga memiliki akar bisnis cukup kuat di Indonesia. Kita sangat prihatin melihat industri elektronik nasional yang hanya menjadi penonton.
Padahal, pasar elektronik dan telekomunikasi di Indonesia sangat gemuk. Kondisi di atas menjadikan kunjungan Presiden Jokowi memiliki makna sangat signifikan untuk belajar bagaimana cara membangkitkan industri nasional.
Misalnya, membangkitkan PT INTI dan LEN sehingga Indonesia tidak hanya menjadi penonton dan pemain kecil-kecilan dalam hal pembangunan infrastruktur dan kebutuhan pasar elektronik di Indonesia.
Presiden Jokowi juga perlu konsisten dengan kebijakan lokalisasi komponen oleh perusahaan multinasional yang memenangkan proyek infrastruktur sehingga persentase TKDN komponen terus meningkat dan diproduksi oleh industry elektronik nasional.
Selain bidang Industrialisasi dan pengembangan industri kreatif, Indonesia perlu mencontoh keberhasilan Korsel dalam menata birokrasi pemerintahan dan bagaimana cara bangsa Korsel mencetak jutaan SDM unggul yang disebar di seluruh dunia.
Hal itu terlihat dari pada peneliti muda Samsung yang ditugaskan ke luar negeri, yang jumlahnya mencapai puluhan ribu orang. Belum lagi perusahaan lainnya yang juga melakukan program pengembangan SDM yang serupa.
Kunjungan Presiden Jokowi ke Korsel, sebaiknya juga mempelajari cara Samsung mengelola dan mengembangkan SDM. Sebaiknya Presiden meminta Samsung untuk memberikan beasiswa kepada para lulusan SMA ternaik.
Tujuannya agar mereka bisa belajar di Korsel dan berkesempatan kerja magang di pusat pengembangan teknologi Samsung. Selama lima tahun terakhir, Samsung menekankan pentingnya program spesialis regional, unsure pokok dalam upaya globalisasi Samsung.
Program tersebut meliputi pelatihan SDM dengan wawasan internasional agar memahami situasi di pasar-pasar luar negeri. Pelatihan tersebut dengan cara menugaskan karyawan ke berbagai negara untuk belajar dan memahami budaya dan potensinya.
Samsung Electronics memiliki 21 ribu peneliti luar negeri yang tersebar di 29 lembaga penelitian di 16 negara yang mengkaji bidang-bidang strategis, yaitu di Amerika Serikat, Inggris, Rusia, Cina, Jepang, India, Israel dan Polandia.
Dalam konteks inovasi terbuka, Samsung bekerja sama dengan universitas ternama dunia, seperti MIT, Universitas of California – Berkeley melalui program-program industrial affiliate dan visiting researcher.
Presiden Jokowi yang bertekad membentuk postur aparatur sipil negara (ASN) yang bersih dari korupsi, cerdas, cekatan, dan memiliki daya inovasi perlu mengacu kepada Korsel yang telah berhasil melakukan reformasi birokrasinya.
Program di atas dipelopori presiden kelima Korsel Chun Doo Wan yang menetapkan sejumlah prinsip utama reformasi administrasi dan birokrasi melalui Civil Servants Ethics Act, Civil Servant Consciousness Reform Movement, Retired Civil Servant Employment Control, Civil Servant Property Registration, dan Civil Servant Gifts Control.
Program revolusi mental bagi ASN di Indonesia oleh pemerintahan Jokowi, mestinya dilakukan dengan mengambil referensi Korsel di atas.
Platform Gotong Royong Intelektual Bangsa
Oleh Bimo Joga Sasongko | Rabu, 5 September 2018 | 9:46
Usia Kemerdekaan Republik Indonesia (RI) telah menginjak 73 tahun. Kini postur intelektual bangsa semakin banyak jumlahnya. Mereka adalah kelas menengah yang memiliki tugas sejarah untuk bergotong royong lewat pikiran dan tenaga demi mewujudkan Indonesia yang unggul dan berkelas dunia.
Peringatan Hari Kemerdekaan yang baru saja digelorakan harus menjadi spirit untuk mendongkrak indeks daya saing sumber daya manusia (SDM) dan terus mengembangkan kapasitas inovasi. Apalagi proses inovasi sarat kerja gotong royong dan membutuhkan SDM unggul dalam jumlah besar.
Selaras dengan hal itu maka sudah selayaknya dibentuk platform gotong royong para intelektual bangsa yang sesuai dengan pembangunan manusia Indonesia, khususnya membentuk SDM terbarukan. Karena selama ini para intelektual bangsa lebih suka kerja sendiri dan terlalu sibuk dengan ambisi masing-masing.
Akibatnya progres kemajuan bangsa tersendat dan indeks daya saing SDM bangsa belum menggembirakan. Dalam konteks itulah maka perlu terobosan dalam pembangunan manusia agar bisa membuahkan produktivitas yang tinggi serta meningkatnya nilai tambah lokal. Saatnya kerja yang cerdas dan berkualitas, bukan kerja asal kerja.
Intelektual Indonesia kerja bersama disemangati oleh nilai tradisi keindonesiaan yang telah membumi berabad-abad. Esensi kerja bersama adalah “holopis kuntul baris” yang identik dengan perilaku gotong royong ajaran leluhur bangsa. Lalu diformulasikan secara ideologis oleh Presiden RI pertama Soekarno.
Gotong royong mesti tulus memikul beban bersama, menikmati bersama secara murah meriah dan guyup. Oleh karenanya, perlu dirumuskan arah dan platform gotong royong sebagai energi kolektif kebangsaan untuk menghadapi persaingan global yang makin sengit.
Menurut Bung Karno, gotongroyong merupakan pembantingan tulang bersama, pemerasan keringat bersama, dan perjuangan bantu membantu bersama. Amal semua buat kepentingan semua. Dalam konteks zaman sekarang, gotong royong memiliki arti yang luar biasa bagi kemajuan bangsa jika kaum intelektual mampu bersinergi dan menghilangkan eksklusivisme.
Gotong royong bukanlah sesuatu yang sudah jadi atau given. Gotong-royong memerlukan rekayasa dan pembangunan manusia untuk mencetak SDM terbarukan yang sesuai dengan kemajuan zaman. SDM terbarukan memiliki daya kreatif dan inovasi yang lebih unggul dari generasi sebelumnya.
Di situlah urgensi perlunya kembali merumuskan platform gotong royong para intelektual bangsa yang sesuai dengan tantangan zaman. Pada saat Kemerdekaan RI dikumandangkan, SDM bangsa yang mampu memutar roda organisasi negara masih sangat sedikit. Namun begitu, dalam hitungan bulan setelah hari merdeka, para pemuda yang notabene SDM bangsa mampu mengambil alih lembaga penting dari tangan penjajah. Lalu mereka dengan penuh tekad bergotong royong berusaha menjalankan aktivitas berbagai lembaga dan badan usaha yang dibutuhkan oleh negara.
Sebulan setelah hari kemerdekaan, angkatan muda kereta api mengambil alih sektor perkeretaapian. Kemudian disusul oleh sektor pos dan telekomunikasi, perminyakan, dan sektor lainnya. Begitu juga dengan kebutuhan untuk SDM pertahanan untuk bela negara. Setelah perang kemerdekaan para petinggi TNI banyak merekomendasikan pengiriman anggota TRIP untuk kuliah di luar negeri.
Setelah berhasil kuliah mereka kembali ke Tanah Air dan berperan penting untuk membenahi perguruan tinggi di dalam negeri yang sebelumnya dikelola oleh ilmuwan Belanda. Seperti contohnya Profesor Suwondo B Sutedjo Dipl Ing, yang sebelumnya adalah anggota TRIP Divisi Ronggolawe, yang berhasil menyelesaikan studinya pada Technische Hochshule di Hanover Jerman. Sekembali ke Indonesia, Suwondo membenahi dan mengajar di Institute Teknologi Bandung (ITB).
Pemerintahan Presiden Joko Widodo bertekad mulai tahun 2019 pembangunan bangsa menekankan pengembangan sumber daya manusia (SDM). Struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2019 dan tahun berikutnya difokuskan untuk membenahi SDM bangsa lewat penguatan keahlian dan produktivitas.
Platform gotong royong intelektual bangsa diharapkan bisa menjadi ujung tombak untuk mendongkrak indeks daya saing SDM bangsa. Masyarakat prihatin melihat indeks GTCI 2018, di mana Indonesia berada di urutan ke-77 dari total 119 negara di dunia dalam peringkat Global Talent Competitiveness Index (GTCI) 2018.
Bangsa Indonesia menduduki peringkat ke-77, masih kalah dengan negara tetangga. Sebagai perbandingan, Malaysia di peringkat 27, Filipina di posisi 54, dan Thailand di peringkat 70. GTCI merupakan laporan komprehensif tahunan yang dapat dijadikan indikator untuk mengukur bagaimana suatu negara menyediakan sumber daya manusia untuk meningkatkan daya saing mereka.
Dalam mengukur indeks GTCI, lima pilar yang digunakan antara lain enable atau keberagaman dalam pengetahuan, pengalaman, dan cara menyelesaikan masalah. Pilar kedua dan ketiga adalah attract atau kemampuan menarik sumber daya asing, dan grow atau kemampuan untuk meningkatkan kompetensi diri melalui pendidikan dan pelatihan.
Sementara dua pilar lainnya yang digunakan sebagai penilaian adalah pendidikan vokasional dan teknikal, serta pengetahuan global. Para intelektual bangsa mesti memiliki modal alamiah berupa portofolio kompetensi serta daya kreativitas dan inovasi. Modal itu untuk mewujudkan kepemimpinan unggul, khususnya kepemimpinan dalam domain Iptek dan dunia usaha.
Platform gotong royong intelektual bangsa perlu masive action berupa program mentorship di seluruh pelosok Tanah Air. Menurut Lowenstein & Bradshaw, mentorship adalah suatu bentuk sosialisasi untuk peran profesional yang mendorong pencapaian program nasional.
Perjalanan bangsa saat ini diwarnai bermacam disrupsi teknologi dan datangnya era Industri 4.0. Generasi saat ini perlu navigasi dan pembekalan agar termotivasi dan mampu bersaing secara global.
Cita-cita bangsa sering terhambat oleh perdebatan para intelektual bangsa yang tidak berkesudahan karena belum adanya grand design pembangunan yang strategis dan visioner. Alhasil, pembangunan nasional setelah era Orde Baru masih berjalan tanpa panduan yang jelas sehingga menjadi tindakan tambal sulam tanpa konsep serta cenderung pragmatis dan berorientasi jangka pendek.
Bimo Joga Sasongko, Pendiri Euro Management Indonesia, Ketua Umum IABIE
Usia Kemerdekaan Republik Indonesia (RI) telah menginjak 73 tahun. Kini postur intelektual bangsa semakin banyak jumlahnya. Mereka adalah kelas menengah yang memiliki tugas sejarah untuk bergotong royong lewat pikiran dan tenaga demi mewujudkan Indonesia yang unggul dan berkelas dunia.
Peringatan Hari Kemerdekaan yang baru saja digelorakan harus menjadi spirit untuk mendongkrak indeks daya saing sumber daya manusia (SDM) dan terus mengembangkan kapasitas inovasi. Apalagi proses inovasi sarat kerja gotong royong dan membutuhkan SDM unggul dalam jumlah besar.
Selaras dengan hal itu maka sudah selayaknya dibentuk platform gotong royong para intelektual bangsa yang sesuai dengan pembangunan manusia Indonesia, khususnya membentuk SDM terbarukan. Karena selama ini para intelektual bangsa lebih suka kerja sendiri dan terlalu sibuk dengan ambisi masing-masing.
Akibatnya progres kemajuan bangsa tersendat dan indeks daya saing SDM bangsa belum menggembirakan. Dalam konteks itulah maka perlu terobosan dalam pembangunan manusia agar bisa membuahkan produktivitas yang tinggi serta meningkatnya nilai tambah lokal. Saatnya kerja yang cerdas dan berkualitas, bukan kerja asal kerja.
Intelektual Indonesia kerja bersama disemangati oleh nilai tradisi keindonesiaan yang telah membumi berabad-abad. Esensi kerja bersama adalah “holopis kuntul baris” yang identik dengan perilaku gotong royong ajaran leluhur bangsa. Lalu diformulasikan secara ideologis oleh Presiden RI pertama Soekarno.
Gotong royong mesti tulus memikul beban bersama, menikmati bersama secara murah meriah dan guyup. Oleh karenanya, perlu dirumuskan arah dan platform gotong royong sebagai energi kolektif kebangsaan untuk menghadapi persaingan global yang makin sengit.
Menurut Bung Karno, gotongroyong merupakan pembantingan tulang bersama, pemerasan keringat bersama, dan perjuangan bantu membantu bersama. Amal semua buat kepentingan semua. Dalam konteks zaman sekarang, gotong royong memiliki arti yang luar biasa bagi kemajuan bangsa jika kaum intelektual mampu bersinergi dan menghilangkan eksklusivisme.
Gotong royong bukanlah sesuatu yang sudah jadi atau given. Gotong-royong memerlukan rekayasa dan pembangunan manusia untuk mencetak SDM terbarukan yang sesuai dengan kemajuan zaman. SDM terbarukan memiliki daya kreatif dan inovasi yang lebih unggul dari generasi sebelumnya.
Di situlah urgensi perlunya kembali merumuskan platform gotong royong para intelektual bangsa yang sesuai dengan tantangan zaman. Pada saat Kemerdekaan RI dikumandangkan, SDM bangsa yang mampu memutar roda organisasi negara masih sangat sedikit. Namun begitu, dalam hitungan bulan setelah hari merdeka, para pemuda yang notabene SDM bangsa mampu mengambil alih lembaga penting dari tangan penjajah. Lalu mereka dengan penuh tekad bergotong royong berusaha menjalankan aktivitas berbagai lembaga dan badan usaha yang dibutuhkan oleh negara.
Sebulan setelah hari kemerdekaan, angkatan muda kereta api mengambil alih sektor perkeretaapian. Kemudian disusul oleh sektor pos dan telekomunikasi, perminyakan, dan sektor lainnya. Begitu juga dengan kebutuhan untuk SDM pertahanan untuk bela negara. Setelah perang kemerdekaan para petinggi TNI banyak merekomendasikan pengiriman anggota TRIP untuk kuliah di luar negeri.
Setelah berhasil kuliah mereka kembali ke Tanah Air dan berperan penting untuk membenahi perguruan tinggi di dalam negeri yang sebelumnya dikelola oleh ilmuwan Belanda. Seperti contohnya Profesor Suwondo B Sutedjo Dipl Ing, yang sebelumnya adalah anggota TRIP Divisi Ronggolawe, yang berhasil menyelesaikan studinya pada Technische Hochshule di Hanover Jerman. Sekembali ke Indonesia, Suwondo membenahi dan mengajar di Institute Teknologi Bandung (ITB).
Pemerintahan Presiden Joko Widodo bertekad mulai tahun 2019 pembangunan bangsa menekankan pengembangan sumber daya manusia (SDM). Struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2019 dan tahun berikutnya difokuskan untuk membenahi SDM bangsa lewat penguatan keahlian dan produktivitas.
Platform gotong royong intelektual bangsa diharapkan bisa menjadi ujung tombak untuk mendongkrak indeks daya saing SDM bangsa. Masyarakat prihatin melihat indeks GTCI 2018, di mana Indonesia berada di urutan ke-77 dari total 119 negara di dunia dalam peringkat Global Talent Competitiveness Index (GTCI) 2018.
Bangsa Indonesia menduduki peringkat ke-77, masih kalah dengan negara tetangga. Sebagai perbandingan, Malaysia di peringkat 27, Filipina di posisi 54, dan Thailand di peringkat 70. GTCI merupakan laporan komprehensif tahunan yang dapat dijadikan indikator untuk mengukur bagaimana suatu negara menyediakan sumber daya manusia untuk meningkatkan daya saing mereka.
Dalam mengukur indeks GTCI, lima pilar yang digunakan antara lain enable atau keberagaman dalam pengetahuan, pengalaman, dan cara menyelesaikan masalah. Pilar kedua dan ketiga adalah attract atau kemampuan menarik sumber daya asing, dan grow atau kemampuan untuk meningkatkan kompetensi diri melalui pendidikan dan pelatihan.
Sementara dua pilar lainnya yang digunakan sebagai penilaian adalah pendidikan vokasional dan teknikal, serta pengetahuan global. Para intelektual bangsa mesti memiliki modal alamiah berupa portofolio kompetensi serta daya kreativitas dan inovasi. Modal itu untuk mewujudkan kepemimpinan unggul, khususnya kepemimpinan dalam domain Iptek dan dunia usaha.
Platform gotong royong intelektual bangsa perlu masive action berupa program mentorship di seluruh pelosok Tanah Air. Menurut Lowenstein & Bradshaw, mentorship adalah suatu bentuk sosialisasi untuk peran profesional yang mendorong pencapaian program nasional.
Perjalanan bangsa saat ini diwarnai bermacam disrupsi teknologi dan datangnya era Industri 4.0. Generasi saat ini perlu navigasi dan pembekalan agar termotivasi dan mampu bersaing secara global.
Cita-cita bangsa sering terhambat oleh perdebatan para intelektual bangsa yang tidak berkesudahan karena belum adanya grand design pembangunan yang strategis dan visioner. Alhasil, pembangunan nasional setelah era Orde Baru masih berjalan tanpa panduan yang jelas sehingga menjadi tindakan tambal sulam tanpa konsep serta cenderung pragmatis dan berorientasi jangka pendek.
Bimo Joga Sasongko, Pendiri Euro Management Indonesia, Ketua Umum IABIE
Minggu, 12 Agustus 2018
Satu Tarikan Napas Memajukan Indonesia
Oleh Bimo Joga Sasongko | Jumat, 10 Agustus 2018 | 10:20
Pemerintah memperingati Hari Kebangkitan Teknologi
Nasional (Hakteknas) 10 Agustus 2018 yang dipusatkan di Kota Pekanbaru, Riau.
Hakteknas merupakan salah satu hari bersejarah nasional, tonggak sejarah
kebangkitan teknologi Indonesia, yang ditandai dengan penerbangan perdana
pesawat rancang bangun anak bangsa yakni N-250 Gatotkaca pada 10 Agustus 1995
di Bandung.
Spirit Hakteknas adalah satu tarikan napas untuk
memajukan Indonesia. Latar belakang lahirnya Hakteknas menunjukkan gotong
royong dan kerja keras oleh anak-anak intelektual BJ Habibie dalam mewujudkan
transformasi teknologi dan industri untuk bangsanya.
Presiden RI ketiga BJ Habibie yang kini berusia 82 tahun
menyebut bahwa anak-anak intelektualnya hingga kini masih konsisten menggeluti
pengembangan Iptek dan menumbuhkan kapasitas inovasi. Beberapa di antaranya
juga berperan mendorong kebangkitan start up nation dan ikut memperbaiki proses
bisnis berbagai korporasi. Semua itu sesuai dengan skenario besar yang pernah
dirancang oleh BJ Habibie pada awal tahun 80-an.
Ada satu tarikan nafas yang sama bagi anak intelektual
Habibie menyikapi kondisi Indonesia saat ini. Mereka sepakat bahwa negeri yang
sangat dicintai masih tumbuh di bawah kapasitasnya. Ibarat pabrik raksasa,
kapasitas yang idle masih besar. Perlu memperbarui konsep kemajuan yang
berkeadilan sesuai dengan semangat zaman.
Di mana SDM terbarukan semakin menjadi andalan. Yakni SDM
yang mumpuni dalam bidang Iptek dan proses inovasi.
SDM terbarukan, menurut Presiden RI ketiga, memiliki daya
kreatif dan inovasi yang lebih unggul dari generasi sebelumnya. Keniscayaan
pertumbuhan ekonomi dunia dan masalah krusial kemasyarakatan membutuhkan
bermacam inovasi sebagai solusinya.
Saatnya bergotong royong dan curah pikir membenahi nilai
tambah produksi di segala lini. Sektor manufakturing perlu menerapkan
standardisasi dan peningkatan kapabilitas teknologinya. Khususnya memajukaan
teknologi sederhana atau tepat guna yang dibutuhkan oleh usaha rakyat.
Kini hampir semua negara sedang dilanda euforia
menyongsong era Industri 4.0 dan menjadikan era tersebut sebagai referensi
untuk menjalankan strategi pembangunan. Presiden Jokowi juga telah meluncurkan
Making Indonesia 4.0 sebagai peta jalan dan strategi Indonesia memasuki era
manufakturing digital.
Yang pasti, untuk mewujudkan Indonesia 4.0 tidak mudah
dan butuh berbagai persyaratan yang kini masih jauh dimiliki bangsa ini. Anak
intelektual Habibie sebagian besar telah bersentuhan sejak dini dengan pranata
Industri 4.0 dan era sebelumnya. Penerapan Industri 4.0 dipelopori oleh negara
Jerman yang sejak 2015 telah merampungkan kerangka kerja yang akan diterapkan
pemerintah mulai 2020.
Merujuk World Economic Forum dalam laporannya yang
berjudul: The Next Economic Growth Engine Scaling Fourth Industrial Revolution
Technologies in Production, kita bisa memprediksi bahwa industri manufakturing
global akan totalitas mewujudkan era Industri 4.0 pada 2025.
Prediksi Mc-Kinsey Global Institute (MGI) menyatakan
bahwa Indonesia bisa masuk peringkat 7 ekonomi dunia pada tahun 2030 jika per
tahun mampu mencetak sekitar 10 juta tenaga kerja qualified yang sesuai dengan
kebutuhan zaman. Kini inovasi menjadi faktor yang penting untuk mendongkrak
kinerja ekspor dan investasi.
Sebagian besar anak intelektual Habibie bersentuhan
langsung dengan proses inovasi. Mereka adalah inovator berbagai bidang yang
sedang bergotong royong mendongkrak indeks inovasi nasional.
Anak intelektual Habibie menekankan pentingnya
Undang-undang Inovasi. Faktor inovasi adalah jawaban atas paradoks: mengapa kapasitas
dan sumber daya alam yang dimiliki Indonesia jauh lebih besar, namun kinerja
ekspor dan nilai investasi masih kalah dengan negara tetangga.
Sekadar catatan, Thailand mampu meraup US$ 231 miliar
dari ekspor. Jumlah itu tertinggi di Asia Tenggara. Sedangkan nilai ekspor
Malaysia sebesar US$ 184 miliar, dan Vietnam mencapai US$ 160 miliar.
Sementara itu, Indonesia hanya sebesar US$ 145 miliar. Volume
ekspor Indonesia sebagian besar dari sektor industri pengolahan yang bernilai
tambah kecil karena kurang inovatif. Celakanya, industri pengolahan banyak
memakai bahan baku impor.
Masalah kinerja sektor investasi di daerah yang belum
optimal juga disebabkan faktor inovasi. Kinerja Dinas Penanaman Modal dan
Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) di daerah kurang optimal karena belum
menekankan aspek inovasi.
Pembentukan UU Inovasi bisa memberi arah yang jelas
terhadap eksistensi Science Technology Park (STP) atau Taman Ilmu dan Teknologi
yang kini ada di setiap kota. Menurut International Association of Science
Parks (IASP), eksistensi STP harus mampu menjadi inkubator dan mendorong
pembentukan perusahaan yang berbasis Iptek yang mengedepankan inovasi.
Di dalam UU Inovasi idealnya terdapat kelembagaan yakni
Otoritas Inovasi Nasional (OIN). Otoritas ini bertugas mengelola dan
mengembangkan secara progresif kapasitas inovasi nasional dan daerah.
Otoritas juga bertanggung jawab terhadap percepatan difusi
inovasi segala lini serta melakukan literasi dan edukasi. Kelembagaan OIN
sebaiknya langsung di bawah Presiden. Adanya UU Inovasi diharapkan bisa
mendongkrak indeks inovasi. Peringkat Indeks Inovasi Global Indonesia kini
makin tertinggal. Peringkat inovasi Indonesia, berdasarkan Global Innovation
Index 2017, berada di posisi 87 dari total 127 negara. Posisi ini hanya naik
satu peringkat dibandingkan dengan raihan posisi pada 2016.
Dibandingkan dengan negara di Asean, peringkat Global
Innovation Index Indonesia juga tertinggal. Misalnya, Malaysia berada di posisi
37, sedangkan Vietnam berada di posisi 47. Eksistensi OIN akan mampu
menyinergikan tiga unsur utama dalam sistem inovasi.
Yakni, pertama, unsur kelembagaan (litbang, pendidikan,
industri, intermediasi, keuangan atau perbankan). Unsur kedua adalah jejaring
kelembagaan sistem inovasi. Dan unsur yang ketiga adalah instrumen kebijakan
berupa perangkat hukum dan peraturan yang mengatur tentang hak atas kekayaan
intelektual (HAKI), pembiayaan inovasi (seperti misalnya modal ventura),
pengelolaan risiko teknologi, standardisasi dan sertifikasi.
Pembiayaan inovasi nasional pusat dan daerah membutuhkan
dana yang cukup besar. Oleh karena itu, perlu dibentuk innovation fund semacam
dana abadi. Dana itu diharapkan berasal dari APBN/APBD, CSR perusahaan, dan
sumbangan dari pihak ketiga dari dalam maupun luar negeri. Dana tersebut sebaiknya
dikelola oleh badan otonom.
Bimo Joga Sasongko, Pendiri Euro Management Indonesia, Sekjen Ikatan Alumni Jerman (IAJ).
Bimo Joga Sasongko, Pendiri Euro Management Indonesia, Sekjen Ikatan Alumni Jerman (IAJ).
Senin, 23 Juli 2018
Urgensi Calon Legislatif Kader Pembangunan
Bimo Joga Sasongko / GOR Sabtu, 21 Juli 2018 | 09:56 WIB
Komisi Pemilihan Umum (KPU) sudah menutup pendaftaran
bakal calon anggota legislatif (caleg) untuk Pemilu 2019 pada 17 Juli lalu.
Pengumuman daftar calon tetap dari 16 peserta pemilu dijadwaalkan pada 21- 23
September 2018. Akankah Republik ini akan memiliki lembaga legislatif yang
berintegritas dan bobot profesionalitas yang baik.
Berdasarkan tahapannya, KPU membuka pendaftaran calon
anggota legislatif (caleg) untuk Pemilu 2019 sejak 4 Juli lalu dan berakhir 17
Juli. Berdasarkan Peraturan KPU (PKPU), par tai politik (parpol) menyerahkan
daftar bakal calegnya ke KPU di masing- masing tingkatan. Dari daftar bakal
caleg ini diwajibkan terdapat 30% perwakilan perempuan.
Bakal caleg harus memasukkan data lewat Sistem Informasi
Calon (Silon) agar masyarakat bisa menilai danmemberi masukan. Tujuan lainnya,
untuk mencegah tidak ada lagi bakal caleg ganda baik di parpol, daerah
pilihanmaupun pada tingkatan dewan perwakilan.
Setelah proses pendaftaran, KPU akan melakukan tahapan
verifikasi kelengkapan administrasi bakal calon dan menyampaikan hasilnya
kepada par tai politik peser ta pemilu. Parpol diberi kesempatan perbaikan
daftar calon dan syarat calon anggota serta pengajuan bakal calon pengganti
pada 22-31 Juli 2018. Pengumuman daftar calon tetap akan dilakukan pada 21-23
September 2018. Sedangkan pemilihan legislatif (pileg) akan dilaksanakan
serentak pada 17 April 2019 di seluruh Indonesia.
Pada 2019 adalah pertama kalinya pemilu legislatif dan
presiden dilak- sanakan dalamwaktu berbarengan. Maka, selain menyiapkan caleg,
parpol juga disibukkan dengan agenda pengajuan calon presiden dan wakil
presiden, 4-10 Agustus 2018. Kesiapan partai akan diuji di hari pemungutan
suara pada 17 April 2019. Rakyat saat ini pantas prihatin karena hingga kini
negeri ini belum memiliki lembaga legislatif yang memiliki integritas dan bobot
profesionalitas yang baik.
Oleh karena itu, partai politik perlu memper timbangkan
pemilihan caleg yang tidak hanya sebagai kader atau petugas partai serta
berlatar selebritas, tetapi perlu memprioritaskan caleg kader pembangunan.
Siapakah kader pembangunan itu? Biasanya kader pembangunan itu bukan aktivis
ataupun pengurus parpol, karena waktunya banyak tercurah untuk mengembangkan
profesi dan karyanya.
Mereka itu adalah sosok-sosok profesional nonpartai,
tetapi memiliki kompetensi dan karya inovasi yang sangat berguna bagi
pembangunan. Keniscayaan bagi parpol untuk memberikan porsi pencalegan kepada
kader pembangunan. Pe-ngurus parpol perlu melakukan koordinasi dan sinergi
kader pembangunan agar mereka mau duduk di lembaga legislatif.
Selama ini kader pembangun¬an yang mampu menyelesaikan
masalah bangsa hanya menjadi penonton dalam proses demokrasi yang sangat
penting untuk memutuskan masa depan bangsa. Kader pembangunan sangat tepat bila
menjadi anggota legislatif, baik di tingkat DPRD maupun di DPR RI.
Selama ini banyak kader pembangunan yang berlatar
belakang teknolog dan inovator telah membantu memecahkan masalah penting di
berbagai daerah. Sebagai contohnya adalah kader pembangunan yang membantu
mewujudkan Bandung Smart City (BSC). Kader pembangunan di atas terdiri atas
inovator, pelaku bisnis, hingga diaspora Indonesia yang tersebar di luar
negeri.
Dalam konteks di atas ditunjuk sebagai ketua BSC adalah
Ilham Akbar Habibie yang merupakan putera sulung Presiden RI ketiga BJ Habibie.
Tim BCS telah berhasil merumuskan cetak biru dan konsep kota berbasis teknologi
yang diintegrasikan pada pelayanan publik untuk mencerdaskan warga dan kotanya.
Konsep pengembangan berbasis teknologi seperti halnya
Sillicon Valley di Amerika Serikat. Sukses tim di atas telah mengantar Ridwan
Kamil memenangkan Pilgub Jabar 2018 yang baru lalu. Contoh di Bandung tersebut
merupakan bukti perlunya kader pembangunan menjadi anggota le¬gislatif yang
memiliki kemampuan teknis dan pemikiran inovatif untuk mengatasi tantangan
zaman.
Keniscayaan, anggota legislatif mesti memiliki visi
“glokalitas” dalam merancang peraturan dan rencana pembangunan. Yakni visi yang
menekankan aspek globalisasi dan potensi lokalitas. Masa depan dunia akan
diwarnai dengan fenomena partisipasi publik yang memberi ide, gagasan dan
inisiatif luar biasa yang disebut Ideagora.
Anggota legislatif mesti menekankan pentingnya wahana
Ideagora. Yang merupakan wahana untuk mengembangkan gagasan dan ide kreatif
rakyat luas terkait dengan inovasi segala bidang. Berupa karya unik yang
bermutu yang berpotensi menjadi sesuatu unggulan di tingkat regional hingga
mendunia.
Anggota legislatif mendatang harus mampu bersinergi
dengan eksekutif untuk mendongkrak produktivitas daerah. Salah satu kunci per
tumbuhan ekonomi daerah adalah produktivitas. Dibutuhkan tim super daerah
yangmemahami cara yang tepat untuk meningkatkan produktivitas. Juga memiliki
gagasan segar dan inovasi tepat guna yang terkait dengan faktor produktivitas
bagi masyarakat.
Rakyat membutuhkan wakil yang bisa mewujudkan faktor
tipping point terkait produktivitas. Saatnya legislatif mampu menyusun konsep
dan dokumen pembangunan yang sesuai de¬ ngan semangat zaman. Pada era
globalisasi, kecepatan menjadi tuntutan utama.
Jika kita cermati masih ada sederet kelemahan yang
mendasar dalam Perda Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) dan
Jangka Menengah Daerah. Kita lihat isinya belum tampak milestones pemba¬ ngunan
yang hebat. Eksistensi UU Nomor 25 tahun 2004 menyatakan bahwa dalam Perda
RPJPD harus tertuang rumusan visi untuk merancang masa depan pembangunan
daerah.
Namun, rumusan RPJPD kebanyakan hanya berisi kompilasi
data-data yang tidak aspiratif dan ketinggalan zaman. Padahal, RPJPDmerupakan
dokumen perencanaan yang me¬ ngandung unsur kebijakan publik. Mestinya harus
ada indikator dan korelasi positif terhadap sasaran lima tahunan. Kekuatan
RPJPD sebagai satu dokumen perencanaan pembangunan akan terwujud jika ada
kejelasan mengenai factor-faktor yang akan dikembangkan sebagai pendukung
pencapaian visi dalam kurun 20 tahun ke depan yang terdistribusi bebannya
secara baik dalam lima tahunan.
Di negara maju seperti Amerika Serikat sudah ada
standardisasi profesi pekerja politik dan ukuran kinerja bagi anggota legislatif.
Juga ada lembaga yang melakukan penilaian, seper ti The National Standards for
Civics and Government yang membuat kategori mengenai kecakapan dan kinerja
anggota legislatif. Kader pembangunan yang duduk di legislatif biasanya lebih
profesional dan memiliki kemampuan untuk mengidentifikasi dan membuat
deskripsi, menganalisis, serta kemampuan memper tahankan pendapat tentang
isu-isu publik. Mereka juga memiliki kecakapan intelektual yang me¬nyangkut
manajemen aspirasi yang terkelola secara manual maupun secara digital.
Dari aspek profesionalitas ada beberapa parameter kerja
anggota legislatif yang harus dibenahi. Yang pertama adalah aspek pengetahuan,
pengalaman, dan keahli¬ an anggota legislatif bila diukur dengan kompleksitas
persoalan aktual pada saat ini yang masih timpang. Banyak anggota legislatif
yang tidakmampumendiskripsikan persoalan rakyat secara tertulis dengan waktu
yang singkat.
Selain itu, aspek problem solving anggota DPRD yang
rendah, utamanya yang menyangkut thinking challenge , yakni tingkat pemikiran
kreatif, inovatif atau orisinal yang diperlukan untuk mencari berbagai
pemecahan masalah. Anggota legislatif mendatang harus memahami dan menguasai
strategi diferensiasi terhadap produk inovasi karya anak bangsa yang harus
terus dikembangkan.
Untuk membuat faktor diferensiasi yang paling penting dan
men- dasar adalah aktivitas pelatihan masyarakat untukmembuat produk inovatif.
Diferensiasi inovasi akan terwujud dengan baik jika ada landasan yang kokoh
terhadap stimulus gagasan disain dari masyarakat. Jika stimulus itu bisa
dijalankan secara baik maka sederet gagasan disain masyarakat akan berubah
menjadi produk yang lebih konkret. Oleh karena itu, sangatlah penting masukan
dari pakar desain produk.
Agar gagasan disain masyarakat itu layak untuk
dikembangkan. Agenda penting legislatif ke depan adalah bagaimana cara me¬
ningkatkan kapasitas inovasi daerah yang pernah dilakukan oleh kota di
negara-negara maju. Yakni, dengan cara mengembangkan Advanced Research Park
yang menghasilkan berbagai produk unggulan dunia.
Bimo Joga
Sasongko, Sekjen Ikatan Alumni Jerman (IAJ) dan pendiri Euro Management
Indonesia.
Sumber: Investor Daily
Sumber: Investor Daily
Legislator Cendekiawan Semakin Langka
Partai politik telah menyerahkan
daftar calon legislatif (caleg) Pemilu 2019 untuk diverifikasi Komisi Pemilihan
Umum (KPU). Seperti sebelumnya postur caleg yang disodorkan banyak dari
kalangan kader partai, artis, pengusaha dan mantan atlet. Parpol mengandalkan
sederet selebritis yang gaya hidupnya super mewah untuk mendulang suara rakyat.
Terjadi juga transaksi atau transfer artis antarpaprpol dengan nilai cukup
tinggi.
Melihat postur caleg yang
disodorkan oleh parpol, terlihat postur legislatif mendatang mengalami kelangkaan legislator cendekiawan. Publik
menyambut dingin daftar caleg dan
merisaukan integritas serta kompetensi para legistrator yang disodorkan parpol.
Kerisauan publik itu pada pemilu legislatif yang lalu juga dinyatakan Dewan
Kehormatan Penyelenggara Pemilu ( DKPP).
Proses penyusunan caleg belum
sesuai dengan harapan rakyat luas. Padahal sosok legistrator yang didambakan
rakyat sangat kontradiktif dengan kepentingan pengurus parpol. Masih kuat dalam
persepsi publik, moralitas, integritas
dan kapasitas legistrator masih jauh dari harapan. Moralitas dan integritas
mereka hingga periode legislatif saat ini masih sarat dengan perilaku korup. Dengan
mata telanjang publik melihat aktifitas dan gaya hidup para anggota DPR/DPRD
masih penuh kemewahan dan boros.
Kompetensi dan kinerja anggota
legislatif yang belum menggembirakan mestinya menjadi perhatian parpol. Sesuai dengan
harapan rakyat, parpol seharunya menekankan pentingnya sosok legislator
cendekiawan nan bersahaja. Mereka adalah figur politisi cendekia yang
artikulatif dan visioner pada zamannya. Pada kapasitas diri mereka telah
bersenyawa antara aktivis politik dan kecendekiawanan secara utuh.
Sejarah negara ini banyak
menghadirkan sosok politisi cendekiawan yang kehidupan pribadinya bersahaja
atau hidupnya penuh keserhanaan, namun kiprah dan pemikirannya luar biasa. Mereka
adalah politisi paripurna yang telah hadir dan menghiasi sejarah bangsanya. Kini
rakyat merindukan sosoknya pada saat ini tengah mengalami kekeringan politisi
cendekiawan.
Rakyat merindukan politisi
cendekiawan seperti Agus Salim, Mohammad Natsir, atau Kasman Singodimedjo.
Mereka itu sosok sederhana yang sikapnya lembut dan toleran, namun dia adalah
cendekiawan dan organisator yang hebat.
Legislator pertama Indonesia
yakni Kasman Singodimedjo menyatakan bahwa memimpin adalah menderita, sesuai
dengan pepatah Belanda ”leiden is lijden”.
Pepatah itu menjadi suatu keharusan jalan pengabdian, bagi mereka yang memahami
bahwa kebahagiaan rakyat lebih utama ketimbang pemimpinnya. Ini sangat tepat
jika kita meneropong sepak terjang para pahlawan bangsa yang notabene
sebenarnya mereka itu adalah politisi cendekiawan.
Seharusnya parpol menjunjung
kewajiban sejarah untuk mencetak dan menemukan kembali sosok-sosok politisi
cendekiawan. Meminjam istilah Presiden ketiga RI BJ Habibie, sosok tersebut
pada saat ini adalah SDM bangsa yang terbarukan dan unggul dalam profesinya. Biasanya
kader pembangunan itu bukan aktivis ataupun pengurus parpol. Karena waktunya
banyak tercurah untuk mengembangkan profesi dan memupuk karyanya. Mereka itu
adalah sosok-sosok professional non partai, tetapi memiliki visi, kompetensi
dan karya inovasi yang sangat berguna bagi pembangunan.
Keniscayaan bagi parpol untuk
memberikan porsi pencalegan kepada kader pembangunan. Namun, pengurus parpol
kurang berminat menarik kader pembangunan agar mereka mau duduk di lembaga
legislatif.
Kinerja yang terukur
Tak bisa dimungkiri, rakyat masih prihatin karena hingga kini negeri ini belum memiliki postur lembaga legislatif yang memiliki integritas dan bobot profesionalitas yang memadai. Tahapan pemilu legislatif semakin tidak kondusif untuk menjaring anak-anak intelektual bangsa agar bersedia menjadi wakil rakyat. Spektrum tahapan pemilu tahun 2019 terlalu luas karena pertama kalinya pemilu legislatif dan presiden dilaksanakan dalam waktu bersamaan.
Tak bisa dimungkiri, rakyat masih prihatin karena hingga kini negeri ini belum memiliki postur lembaga legislatif yang memiliki integritas dan bobot profesionalitas yang memadai. Tahapan pemilu legislatif semakin tidak kondusif untuk menjaring anak-anak intelektual bangsa agar bersedia menjadi wakil rakyat. Spektrum tahapan pemilu tahun 2019 terlalu luas karena pertama kalinya pemilu legislatif dan presiden dilaksanakan dalam waktu bersamaan.
Masyarakat banyak lah yang kuatir terkait dengan kecakapan,
kompetensi dan kejujuran para legislator. Selama ini banyak legislator yang
kurang memiliki kecakapan intelektual dalam membedah berbagai persoalan
nasional dan daerah. Padahal mereka diberi gaji besar dan fasilitas mewah.
Kecakapan intelektual
legislator juga menyangkut manajemen aspirasi yang terkelola secara
manual maupun digital. Hingga saat ini
sistem informasi lembaga legislatif di Indonesia masih belum efektif. Buruknya sistem
informasi legislatif yang ada sekarang ini juga menghambat peningkatan
profesionalitas. Akibatnya, proses check
and balance tidak berjalan baik. Mestinya, sistem informasi legislatif bisa
membantu para politisi untuk mengelola aspirasi. Juga merupakan sarana
komunikasi yang sangat efektif dalam tugas legislasi seperti proses penyusunan
undang –undang atau peraturan daerah, menyusun APBN/APBD dan lainnya.
Di masa mendatang publik terus menuntut adanya ukuran
kinerja dan bobot pekerjaan bagi legislator yang tertata dan terukur dengan
baik. Selama ini kinerja legislator tidak pernah terukur secara benar.
Di negara maju seperti Amerika Serikat dan Jerman, sudah
dirumuskan standar kinerja legislator secara rinci. Perlu dicontoh Amerika
Serikat yang sudah ada standarisasi profesi pekerja politik dan ukuran kinerja
bagi legislator yang setiap tahun selalu diperbaharui sesuai dengan
perkembangan zaman.
Disana juga terdapat lembaga yang melakukan penilaian, yakni
National Standards for Civics and Government. Lembaga tersebut mengukur
kemampuan legislator dalam menjalankan tugasnya. Persaingan sengit untuk
menggapai kursi legislatif dan besarnya ongkos politik yang harus dikeluarkan
selama kampanye menyebabkan ketulusan dalam berpolitik sekarang ini semakin
menipis. Pesta demokrasi berlangsung dengan biaya yang amat tinggi. Baik biaya
yang harus ditanggung oleh negara, parpol, maupun yang dipikul individu
politisi.
Akibatnya legislator cendekiawan semakin sulit terwujud. Risikonya,
kedepan masih banyak legislator yang berkinerja buruk. Karena tingkatan problem
solving para legislator juga masih rendah, utamanya yang menyangkut thinking challenge, yakni kemampuan
berpikir kreatif dan inovatif untuk memecahkan masalah pembangunan.
*Bimo Joga Sasongko, Pendiri Euro Management Indonesia.
*Bimo Joga Sasongko, Pendiri Euro Management Indonesia.
Rabu, 27 Juni 2018
“Anak Juni” Presiden RI
Rabu 27/6/2018 | 01:00
Oleh Bimo Joga Sasongko
Bulan Juni sangat istimewa bagi Bangsa Indonesia. Juni sebagai bulan Pancasila karena lahirnya dasar negara, juga sangat istimewa karena empat dari Presiden RI lahir di bulan Juni, yYakni Soekarno, Soeharto, BJ Habibie, dan Joko Widodo. Presiden RI ketujuh, Joko Widodo, lahir Rabu, 21 Juni 1961.
Presiden pertama Soekarno lahir di Surabaya, Jawa Timur, pada 6 Juni 1901. Presiden kedua, Soeharto, pun lahir pada bulan Juni, tepatnya 8 Juni 1921 di Desa Kemusuk, Argomulyo, Bantul, Yogyakarta. Lalu, presiden ketiga, Bacharuddin Jusuf Habibie, dilahirkan pada 25 Juni 1936 di Parepare, Sulawesi Selatan. Menggantikan Soeharto yang mengundurkan diri dari jabatan presiden pada 21 Mei 1998.
BJ Habibie menjabat selama 2 bulan 7 hari sebagai wakil presiden dan hanya 1 tahun 5 bulan menjabat presiden. Namun begitu, pemerintahan BJ Habibie yang singkat itu berhasil menumbuhkan demokratisasi segala bidang di Tanah Air. Hal itu terungkap dalam diskusi dan orasi yang diselenggarakan pada 24 Juni 2018 di The Habibie Center yang bertajuk Demokratisasi tak boleh henti dalam rangka 82 tahun BJ.Habibie.
Dalam usia yang ke-82, BJ Habibie masih bersemangat memikirkan masalah SDM bangsa. Presiden RI ketiga itu lebih senang dipanggil dengan sebutan Eyang Habibie. Itu sebagai manifestasi bahwa regenerasi bangsa merupakan keniscayaan dan harus dikelola penuh totalitas.
Meskipun fisiknya semakin melemah, namun jika berbicara tentang SDM bangsa, Eyang Habibie terpompa semangatnya dan mampu bicara lantang dan runtun selama berjam-jam. Sepanjang kariernya, Eyang Habibie telah mempersiapkan berbagai wahana industrialisasi dan pusat iptek serta mencetak ribuan SDM unggul untuk menjalankan berbagai bidang pembangunan.
Begitu detailnya mencetak SDM unggul untuk pembangunan nasional. Ketika menjabat Menristek, para penerima bea siswa luar negeri maupun bea siswa dalam negeri yang menjadi programnya mendapat perhatian setiap saat. Bahkan, Eyang Habibie selalu membaca dan membubuhkan tanda tangan dan memberikan catatan kaki pada setiap laporan semester dari para mahasiswa anak didiknya. Hal itu merupakan fenomena luar biasa mengingat kesibukan dirinya sebagai seorang menteri yang merangkap puluhan jabatan penting lainnya.
Dengan berbagai cara pembiayaan, Eyang Habibie berusaha mencetak SDM kelas dunia. Betapa ngototnya Eyang Habibie untuk mendapatlan pembiayaan dari APBN hingga pembiayaan dengan caranya yang unik yakni melalui cara offset atau timbal balik bagi perusahaan asing yang mendapatkan proyek di Tanah Air. Selain offset produksi di dalam negeri, juga dilakukan dalam bentuk pendidikan dan pelatihan bagi putera-puteri bangsa ke luar negeri.
Film tentang Presiden
Kisah para Presiden RI telah diangkat dalam layar lebar. Salah satunya kisah tentang Presiden ketiga, BJ Habibie. Masyarakat luas telah menyaksikan film Rudy Habibie yang merupakan sekuel dari Habibie & Ainun. Film ini mengandung banyak pesan kebangsaan dan nilai perjuangan anak bangsa dalam menggapai cita-cita. Saat kuliah di RWTH Aachen, Jerman, kehidupan Habibie muda yang biasa dipanggil Rudy dalam kondisi penuh keprihatinan.
Di sana, dirinya tidak hanya belajar tentang teknologi penerbangan, tetapi juga mendalami arti cinta, persahabatan, dan mengkaji persoalan bangsanya bersama dengan para mahasiswa Indonesia lainnya yang tergabung dalam Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) di Eropa.
Sejak PPI Jerman didirikan pada 1956, sebagai pengurus, Rudy memiliki obsesi dan visi pembangunan yang detail. Menurutnya, PPI sebaiknya jangan terlalu berpolitik praktis, tetapi harus mulai menyiapkan wahana bangsa diberbagai bidang. Seperti bidang kedirgantaraan, maritim, ketenagalistrikan, dan wahana industrialisasi lainnya. Wahana merupakan sarana dan prasarana yang strategis untuk pembangunan bangsa yang bertumpu kepada prinsip kemandirian.
Rudy memulai perjuangannya dari Kota Bandung sejak 1950 ketika masih duduk di bangku SMA.Rudy meninggalkan Fakultas Teknik Universitas Indonesia di Bandung, lalu berjuang keras menjadi mahasiswa RWTH Aachen (Rheinisch Westfalische Technische Hochschule Aachen). Merupakan perguruan tinggi yang tertua di Jerman yang didirikan untuk menunjang tahapan revolusi industri di negeri tersebut.
Jika bangsa Indonesia konsisten menjalankan pengembangan iptek dan melakukan industrialisasi sesuai yang telah digariskan oleh Eyang Habibie dalam strategi dan transformasi, niscaya negeri ini setara dengan Korea Selatan dan Tiongkok.
Indonesia telah memiliki strategi transformasi teknologi dan industri yang dirancang oleh Menristek BJ Habibie dengan membentuk sembilan wahana industrialisasi nasional serta Pusat Pengembangan Iptek (Puspiptek) di Serpong. Strategi itu boleh dibilang kongruen atau sebangun dengan langkah bangsa Korsel dan Tiongkok. Namun, dalam perjalanannya strategi transformasi di Indonesia menjadi stagnan dan teralienasi akibat kondisi politik dan tidak adanya garis besar haluan negara menuju kemajuan yang sistemik dan terkonsep secara detail.
Saatnya Pemerintahan Presiden Jokowi menggalakkan kebijakan lokalisasi komponen oleh perusahaan multinasional yang memenangkan proyek infrastruktur sehingga prosentase Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) komponen elektronika terus meningkat dan diproduksi oleh industri nasional.
Kepemimpinan Transformatif
Warisan Eyang Habibie yang berupa wahana industri dan kader intelektual juga sangat berguna untuk menyelesaikan program nasional kelistrikan 35 ribu MW yang kini menjadi perhatian besar Presiden Jokowi. Wahana tersebut berupa PT Nusantara Turbin dan Propulsi (PT NTP) yang SDM-nya memiliki kemampuan setara dengan industri terkemuka dunia. Yakni General Electrics (GE) yang selama ini memproduksi berbagai turbin untuk pembangkit listrik, industri dan turbin gas untuk mesin pesawat terbang.
Eyang Habibie menekankan perlunya langkah improvisasi dramatis atau dikenal dengan istilah lompatan katak. Indonesia membutuhkan kepemimpinan yang transformatif. Yakni kepemimpinan yang tidak sekedar kepemimpinan politik, tetapi juga kepemimpinan yang memiliki kapasitas, pembangkit kreativitas dan daya inovasi.
Kepemimpinan transformatif harus mampu mendefinisikan kembali orientasi dan strategi pembangunan agar sesuai dengan semangat zaman. Perlu strategi pembangunan yang progresif dan transformatif yang disebut dengan istilah leapfrogging atau lompatan katak. Istilah tersebut diadopsi oleh Eyang Habibie dari kondisi dua negara yang kalah perang, yakni Jerman dan Jepang. Setelah kalah perang ternyata dua negara tersebut mampu dengan cepat mengejar kemajuan teknologi dan industri lewat lompatanlompatan yang sangat berarti.
Dalam hal daya saing SDM bangsa, sejak awal 80-an Eyang Habibie telah melakukan investasi bangsa yang sangat berharga yakni pemberdayaan kapasitas otak manusia Indonesia.
Penulis Lulusan Aerospace Engineering, North Carolina State University, Raleigh, North Carolina, USA
Oleh Bimo Joga Sasongko
Bulan Juni sangat istimewa bagi Bangsa Indonesia. Juni sebagai bulan Pancasila karena lahirnya dasar negara, juga sangat istimewa karena empat dari Presiden RI lahir di bulan Juni, yYakni Soekarno, Soeharto, BJ Habibie, dan Joko Widodo. Presiden RI ketujuh, Joko Widodo, lahir Rabu, 21 Juni 1961.
Presiden pertama Soekarno lahir di Surabaya, Jawa Timur, pada 6 Juni 1901. Presiden kedua, Soeharto, pun lahir pada bulan Juni, tepatnya 8 Juni 1921 di Desa Kemusuk, Argomulyo, Bantul, Yogyakarta. Lalu, presiden ketiga, Bacharuddin Jusuf Habibie, dilahirkan pada 25 Juni 1936 di Parepare, Sulawesi Selatan. Menggantikan Soeharto yang mengundurkan diri dari jabatan presiden pada 21 Mei 1998.
BJ Habibie menjabat selama 2 bulan 7 hari sebagai wakil presiden dan hanya 1 tahun 5 bulan menjabat presiden. Namun begitu, pemerintahan BJ Habibie yang singkat itu berhasil menumbuhkan demokratisasi segala bidang di Tanah Air. Hal itu terungkap dalam diskusi dan orasi yang diselenggarakan pada 24 Juni 2018 di The Habibie Center yang bertajuk Demokratisasi tak boleh henti dalam rangka 82 tahun BJ.Habibie.
Dalam usia yang ke-82, BJ Habibie masih bersemangat memikirkan masalah SDM bangsa. Presiden RI ketiga itu lebih senang dipanggil dengan sebutan Eyang Habibie. Itu sebagai manifestasi bahwa regenerasi bangsa merupakan keniscayaan dan harus dikelola penuh totalitas.
Meskipun fisiknya semakin melemah, namun jika berbicara tentang SDM bangsa, Eyang Habibie terpompa semangatnya dan mampu bicara lantang dan runtun selama berjam-jam. Sepanjang kariernya, Eyang Habibie telah mempersiapkan berbagai wahana industrialisasi dan pusat iptek serta mencetak ribuan SDM unggul untuk menjalankan berbagai bidang pembangunan.
Begitu detailnya mencetak SDM unggul untuk pembangunan nasional. Ketika menjabat Menristek, para penerima bea siswa luar negeri maupun bea siswa dalam negeri yang menjadi programnya mendapat perhatian setiap saat. Bahkan, Eyang Habibie selalu membaca dan membubuhkan tanda tangan dan memberikan catatan kaki pada setiap laporan semester dari para mahasiswa anak didiknya. Hal itu merupakan fenomena luar biasa mengingat kesibukan dirinya sebagai seorang menteri yang merangkap puluhan jabatan penting lainnya.
Dengan berbagai cara pembiayaan, Eyang Habibie berusaha mencetak SDM kelas dunia. Betapa ngototnya Eyang Habibie untuk mendapatlan pembiayaan dari APBN hingga pembiayaan dengan caranya yang unik yakni melalui cara offset atau timbal balik bagi perusahaan asing yang mendapatkan proyek di Tanah Air. Selain offset produksi di dalam negeri, juga dilakukan dalam bentuk pendidikan dan pelatihan bagi putera-puteri bangsa ke luar negeri.
Film tentang Presiden
Kisah para Presiden RI telah diangkat dalam layar lebar. Salah satunya kisah tentang Presiden ketiga, BJ Habibie. Masyarakat luas telah menyaksikan film Rudy Habibie yang merupakan sekuel dari Habibie & Ainun. Film ini mengandung banyak pesan kebangsaan dan nilai perjuangan anak bangsa dalam menggapai cita-cita. Saat kuliah di RWTH Aachen, Jerman, kehidupan Habibie muda yang biasa dipanggil Rudy dalam kondisi penuh keprihatinan.
Di sana, dirinya tidak hanya belajar tentang teknologi penerbangan, tetapi juga mendalami arti cinta, persahabatan, dan mengkaji persoalan bangsanya bersama dengan para mahasiswa Indonesia lainnya yang tergabung dalam Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) di Eropa.
Sejak PPI Jerman didirikan pada 1956, sebagai pengurus, Rudy memiliki obsesi dan visi pembangunan yang detail. Menurutnya, PPI sebaiknya jangan terlalu berpolitik praktis, tetapi harus mulai menyiapkan wahana bangsa diberbagai bidang. Seperti bidang kedirgantaraan, maritim, ketenagalistrikan, dan wahana industrialisasi lainnya. Wahana merupakan sarana dan prasarana yang strategis untuk pembangunan bangsa yang bertumpu kepada prinsip kemandirian.
Rudy memulai perjuangannya dari Kota Bandung sejak 1950 ketika masih duduk di bangku SMA.Rudy meninggalkan Fakultas Teknik Universitas Indonesia di Bandung, lalu berjuang keras menjadi mahasiswa RWTH Aachen (Rheinisch Westfalische Technische Hochschule Aachen). Merupakan perguruan tinggi yang tertua di Jerman yang didirikan untuk menunjang tahapan revolusi industri di negeri tersebut.
Jika bangsa Indonesia konsisten menjalankan pengembangan iptek dan melakukan industrialisasi sesuai yang telah digariskan oleh Eyang Habibie dalam strategi dan transformasi, niscaya negeri ini setara dengan Korea Selatan dan Tiongkok.
Indonesia telah memiliki strategi transformasi teknologi dan industri yang dirancang oleh Menristek BJ Habibie dengan membentuk sembilan wahana industrialisasi nasional serta Pusat Pengembangan Iptek (Puspiptek) di Serpong. Strategi itu boleh dibilang kongruen atau sebangun dengan langkah bangsa Korsel dan Tiongkok. Namun, dalam perjalanannya strategi transformasi di Indonesia menjadi stagnan dan teralienasi akibat kondisi politik dan tidak adanya garis besar haluan negara menuju kemajuan yang sistemik dan terkonsep secara detail.
Saatnya Pemerintahan Presiden Jokowi menggalakkan kebijakan lokalisasi komponen oleh perusahaan multinasional yang memenangkan proyek infrastruktur sehingga prosentase Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) komponen elektronika terus meningkat dan diproduksi oleh industri nasional.
Kepemimpinan Transformatif
Warisan Eyang Habibie yang berupa wahana industri dan kader intelektual juga sangat berguna untuk menyelesaikan program nasional kelistrikan 35 ribu MW yang kini menjadi perhatian besar Presiden Jokowi. Wahana tersebut berupa PT Nusantara Turbin dan Propulsi (PT NTP) yang SDM-nya memiliki kemampuan setara dengan industri terkemuka dunia. Yakni General Electrics (GE) yang selama ini memproduksi berbagai turbin untuk pembangkit listrik, industri dan turbin gas untuk mesin pesawat terbang.
Eyang Habibie menekankan perlunya langkah improvisasi dramatis atau dikenal dengan istilah lompatan katak. Indonesia membutuhkan kepemimpinan yang transformatif. Yakni kepemimpinan yang tidak sekedar kepemimpinan politik, tetapi juga kepemimpinan yang memiliki kapasitas, pembangkit kreativitas dan daya inovasi.
Kepemimpinan transformatif harus mampu mendefinisikan kembali orientasi dan strategi pembangunan agar sesuai dengan semangat zaman. Perlu strategi pembangunan yang progresif dan transformatif yang disebut dengan istilah leapfrogging atau lompatan katak. Istilah tersebut diadopsi oleh Eyang Habibie dari kondisi dua negara yang kalah perang, yakni Jerman dan Jepang. Setelah kalah perang ternyata dua negara tersebut mampu dengan cepat mengejar kemajuan teknologi dan industri lewat lompatanlompatan yang sangat berarti.
Dalam hal daya saing SDM bangsa, sejak awal 80-an Eyang Habibie telah melakukan investasi bangsa yang sangat berharga yakni pemberdayaan kapasitas otak manusia Indonesia.
Penulis Lulusan Aerospace Engineering, North Carolina State University, Raleigh, North Carolina, USA
Langganan:
Postingan (Atom)