Jumat, 28 September 2018

Rekomendasi Habibie tentang Nilai Tambah


Oleh Bimo Joga Sasongko | Jumat, 28 September 2018 | 10:42

Bangsa Indonesia harus berpikir keras untuk mengembangkan sumber daya manusia (SDM) yang terkait dengan usaha repositioning produk nasional di tengah terjadinya perang dagang dunia dan melemahnya nilai tukar rupiah.

Presiden RI ketiga BJ Habibie merekomendasikan pentingnya membenahi secara detail nilai tambah aneka produk nasional. Hal itu diungkapkan dalam kesempatan tatap muka dengan segenap SDM teknologi dan industri bertempat di Gedung Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) beberapa waktu lalu.

Sektor manufakturing perlu kerja detail dalam menerapkan standarisasi dan peningkatan kapabilitas teknologinya. Masih rendahnya kapasitas nasional yang digarap dengan proses nilai tambah yang layak menjadi keprihatinan BJ Habibie.

Keprihatinan di atas sangat beralasan karena hingga kini terjadi penurunan kemampuan industri nasional menyeimbangkan neraca nilai ekspor impor secara signifikan. Secara makro ketidakseimbangan ini disebabkan oleh masalah efisiensi dan masalah produktivitas. Oleh karena itu para pemangku kepentingan perlu merumuskan kembali strategi dasar pelaku industri yang mengedepankan faktor nilai tambah.

BJ Habibie yang usianya telah menginjak 82 tahun menekankan perlunya langkah cepat pemerintah untuk mendorong industri dengan produk yang memiliki nilai tambah besar saat dijual ke pasaran. Salah satu cara agar produk tersebut bisa memiliki nilai tambah yang signifikan adalah dengan memanfaatkan teknologi yang tepat.

Semua negara sedang berlomba lomba memanfaatkan teknologi terkini, antara lain dengan tajuk Industri 4.0 demi untuk mendapatkan nilai tambah sebesar-besarnya dan seefisien mungkin terhadap produk industrinya.

Pada hakikatnya factory 4.0 atau pabrik cerdas yang saat ini sedang menjadi perhatian besar dunia adalah untuk mendapatkan nilai tambah yang paling ideal. BJ Habibie telah merumuskan konsep nilai tambah industri untuk Negara berkembang sejak awal dekade 80-an.

Menurut pakar ekonomi dunia Haller dan Stolowy (1995), value added (VA) atau nilai tambah adalah pengukuran performance entitas ekonomi. Arti nilai tambah adalah perbedaan antara nilai dari output suatu perusahaan atau suatu industri, yaitu total pendapatan yang diterima dari penjualan output tersebut, dan biaya masukan dari bahan-bahan mentah, komponen-komponen atau jasa-jasa yang dibeli untuk memproduksi komponen tersebut.

Nilai tambah diketahui dengan melihat selisih antara nilai output dengan nilai input suatu industri. Value added (VA) merupakan konsep utama pengukuran income suatu negara. Konsep ini secara tradisional berakar pada ilmu ekonomi makro, terutama yang berhubungan dengan penghitungan pendapatan nasional yang diukur dengan performance produktif dari ekonomi nasional yang biasanya dinamakan produk domestik.

Pemerintah perlu mengonsolidasikan industri nasional, baik BUMN maupun swasta untuk mendongkrak nilai tambah produknya. SDM teknologi nasional sudah cukup jumlahnya untuk bergotong royong dan memeras pikiran guna merumuskan proses nilai tambah produk nasional. Sehingga tidak ada lagi bahan baku dan setengah jadi yang dijual begitu saja ke luar negeri dengan nilai tambah yang kecil. Kondisi itu tentunya tidak bisa menyerap tenaga kerja secara optimal dan belum mampu mendongkrak ekonomi lokal secara kuat.

Kondisi perekonomian dunia yang semakin dinamis bahkan sewaktu-waktu bisa fluktuatif perlu kebijakan yang masih terkait positioning produk nasional. Positioning produk diwarnai bermacam disrupsi teknologi dan datangnya era Industri 4.0. Positioning produk nasional perlu mencermati perang dagang yang terjadi antara Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok. Implikasi perang dagang bisa menyebabkan banjir produk ke Indonesia.

Perang dagang menyulitkan usaha pemerintah yang berusaha keras meningkatkan kinerja ekspor. Presiden Joko Widodo belum puas dengan kinerja ekspor nasional. Kekecewaan Presiden tersebut ditunjukkan dengan membandingkan nilai ekspor RI yang ketinggalan dari negara tetangga.

Presiden menyatakan bahwa sebagai bangsa besar seharusnya kinerja ekspor tidak kalah dengan Thailand, Vietnam, dan Malaysia. Apalagi kapasitas dan sumber daya alam serta jumlah SDM yang dimiliki Indonesia jauh lebih besar. Sebagai catatan, Thailand mampu menghasilkan US$ 231 miliar dari ekspor. tertinggi di Asia Tenggara. Sedangkan Malaysia US$ 184 miliar, dan Vietnam mencapai US$ 160 miliar. Sementara Indonesia, hanya US$ 145 miliar.

Untuk menggenjot ekspor produk nasional tidak cukup lewat pameran perdagangan dengan skala lokal hingga global. Tapi perlu mencari terobosan yang bisa menggenjot perdagangan sekaligus menjadi sistem bagi pengusaha untuk bertukar informasi tentang produk unggulan.

Terkait dengan masalah positioning produk nasional ada baiknya kita mengkaji peta yang menggambarkan aliran produk yang terjadi. Seperti dalam elaborasi oleh Peter Dickens dalam bukunya Global Shift: Mapping The Changing Contours of the World Economy. Buku itu merekomendasikan kepada bangsa-bangsa pentingnya merancang ulang mata rantai jaringan produksi global. Dan selalu fokus pada pasar dan kematangan produk.

Hal itu sangat relevan, di tengah banyaknya perusahaan di Tanah Air yang kini menghadapi ketidakseimbangan biaya bahan baku yang diimpor dengan hasil penjualan produk yang diekspor atau diserap dalam pasar domestik. Usaha memacu perdagangan produk nasional sangat tergantung kepada sistem logistik. Oleh karena itu, kita perlu menetapkan produk atau komoditas penggerak utama dalam suatu tatanan jaringan logistik dan rantai pasok, tata kelola, dan tata niaga yang efektif dan efisien.

Saatnya mengintegrasikan simpul simpul infrastruktur logistik, baik simpul logistik (logistics node) maupun keterkaitan antarsimpul logistic (logistics link) yang berfungsi untuk mengalirkan barang dari titik asal ke titik tujuan. Simpul logistik meliputi pelaku logistik dan konsumen; sedangkan keterkaitan antarsimpul meliputi jaringan distribusi, jaringan transportasi, jaringan informasi, dan jaringan keuangan, yang menghubungkan masyarakat perdesaan, perkotaan, pusat pertumbuhan ekonomi, antarpulau maupun lintas negara.

Volume perdagangan nasional sangat dipengaruhi oleh kinerja logistik. Oleh karena kapasitas SDM di bidang logistik masih memprihatinkan maka perlu ditingkatkan. Kebutuhan tenaga-tenaga yang kompeten di sektor logistik tidak hanya diperlukan untuk pengembangan sistem logistik nasional, tetapi juga dalam menghadapi liberalisasi tenaga kerja.

Dibutuhkan strategi yang mampu mengembangkan SDM dengan kompetensi dan profesi logistik berstandar internasional. SDM logistik yang terpercaya baik pada tingkat operasional, manajerial dan strategis, dan mencukupi kebutuhan nasional untuk mewujudkan efisiensi dan efektifitas kinerja system logistik nasional.

Bimo Joga Sasongko. Ketua Umum IABIE, Pendiri Euro Management Indonesia.



Selasa, 18 September 2018

Industrialisasi Indonesia – Korsel


13 September 2018.

Bimo Joga Sasongko, Pendiri Euro Management Indonesia, Ketua Umum IABIE

                Kunjungan kenegaraan Presiden Joko Widodo (Jokowi) ke Korea Selatan (Korsel) belum lama ini, sangat relevan untuk mempelajari secara komprehensif bagaimana kebangkitan industri Korsel bisa terwujud dalam waktu yang relatif singkat.

                Korsel merupakan mitra strategis Indonesia dan investor kelima terbesar Indonesia. Indonesia perlu belajar dan mencontoh kebangkitan nasional Korsel yang ditandai dengan suksesnya program industrialisasi serta monetisasi industri budayanya yang tumbuh luar biasa dan mampu mendunia.

                Jika kita menengok sejarah, pada dekade 70-an sebenarnya Korsel dan Cina yang menyandang sebutan Macan Asia itu, memulai strategi Industrialisasi yang mirip dengan Indonesia.

                Ketiga negara tersebut sama-sama sedang mencetak sumber daya manusia (SDM) teknologi sebanyak-banyaknya untuk menjalankan strategi transformasi teknologi dan industri.

                Waktu itu, Indonesia juga memiliki strategi transformasi teknologi dan industri yang dipimpin Menristek BJ Habibie dengan membentuk sembilan wahana industrialisasi nasional serta pusat pengembangan iptek (Puspiptek) di Serpong.

                Begitu juga, ada program pengiriman ribuan lulusan terbaik SMA dari seluruh Tanah Air. Dengan cara pemberian beasiswa ikatan dinas kepada mereka untuk berkuliah di perguruan tinggi terkemuka di negara maju.

                Semua langkah Indonesia saat itu, boleh dibilang kongruen atau sebangun dengan langkah Korsel dan Cina. Namun dalam perjalanannya, strategi transformasi di Indonesia terkendala oleh kondisi politik sehingga stagnan dan teralienasi.

                Dan akhirnya, Indonesia tertinggal oleh Cina dan Korsel. Fenomena ketertinggalan itu antara lain terlihat dari kondisi industri elektronik dan telekomunikasi, yang pada era 70-an sebenarnya BJ Habibie telah menyiapkan wahana pengembangan jenis industri di atas.

                Yakni, PT Industri Telekomunikasi Indonesia (PT INTI), Lembaga Elektronika Nasional (LEN), dan berbagai macam laboratorium serta didukung SDM teknologi lulusan luar negeri yang termasuk ikatan dinas.

                Ternyata kondisi industri nasional kini tertinggal jauh oleh Samsung kebanggaan Korsel dan Huawei kebanggaan Cina. Kondisi PT INTI dan LEN yang dulu direncanakan sebagai salah satu wahana tangguh Industrialisasi ternyata tidak tumbuh semestinya bahkan sering terpuruk dan kalah bersaing.

                Kini pasar industri elektronik dan telekomunikasi telah didominasi Cina dan Korsel yang juga telah menggusur Jepang. Dominasi perusahaan Jepang di bisnis elektronik di Indonesia, semakin tergusur produk elektronik Korea Selatan dan Cina.

                Ironisnya, produsen elektronik Jepang Toshiba menjual pabrik televisi dan mesin cucinya di Indonesia ke perusahaan Cina, Skyworth. Aksi pencaplokan perusahaan Jepang oleh investor Cina bukan kali pertama.

                Sebelumnya, Haier Group dari Cina mengakuisisi perusahaan elektronik Jepang, Sanyo Electric

Padahal, seperti Toshiba, Sanyo juga memiliki akar bisnis cukup kuat di Indonesia. Kita sangat prihatin melihat industri elektronik nasional yang hanya menjadi penonton.

                Padahal, pasar elektronik dan telekomunikasi di Indonesia sangat gemuk. Kondisi di atas menjadikan kunjungan Presiden Jokowi memiliki makna sangat signifikan untuk belajar bagaimana cara membangkitkan industri nasional.

                Misalnya, membangkitkan PT INTI dan LEN sehingga Indonesia tidak hanya menjadi penonton dan pemain kecil-kecilan dalam hal pembangunan infrastruktur dan kebutuhan pasar elektronik di Indonesia.

                Presiden Jokowi juga perlu konsisten dengan kebijakan lokalisasi komponen oleh perusahaan multinasional yang memenangkan proyek infrastruktur sehingga persentase TKDN komponen terus meningkat dan diproduksi oleh industry elektronik nasional.

                Selain bidang Industrialisasi dan pengembangan industri kreatif, Indonesia perlu mencontoh keberhasilan Korsel dalam menata birokrasi pemerintahan dan bagaimana cara bangsa Korsel mencetak jutaan SDM unggul yang disebar di seluruh dunia.

                Hal itu terlihat dari pada peneliti muda Samsung yang ditugaskan ke luar negeri, yang jumlahnya mencapai puluhan ribu orang. Belum lagi perusahaan lainnya yang juga melakukan program pengembangan SDM yang serupa.

                Kunjungan Presiden Jokowi ke Korsel, sebaiknya juga mempelajari cara Samsung mengelola dan mengembangkan SDM. Sebaiknya Presiden meminta Samsung untuk memberikan beasiswa kepada para lulusan SMA ternaik.

                Tujuannya agar mereka bisa belajar di Korsel dan berkesempatan kerja magang di pusat pengembangan teknologi Samsung. Selama lima tahun terakhir, Samsung menekankan pentingnya program spesialis regional, unsure pokok dalam upaya globalisasi Samsung.

                Program tersebut meliputi pelatihan SDM dengan wawasan internasional agar memahami situasi di pasar-pasar luar negeri. Pelatihan tersebut dengan cara menugaskan karyawan ke berbagai negara untuk belajar dan memahami budaya dan potensinya.

                Samsung Electronics memiliki 21 ribu peneliti luar negeri yang tersebar di 29 lembaga penelitian di 16 negara yang mengkaji bidang-bidang strategis, yaitu di Amerika Serikat, Inggris, Rusia, Cina, Jepang, India, Israel dan Polandia.

                Dalam konteks inovasi terbuka, Samsung bekerja sama dengan universitas ternama dunia, seperti MIT, Universitas of California – Berkeley melalui program-program industrial affiliate dan visiting researcher.

                Presiden Jokowi yang bertekad membentuk postur aparatur sipil negara (ASN) yang bersih dari korupsi, cerdas, cekatan, dan memiliki daya inovasi perlu mengacu kepada Korsel yang telah berhasil melakukan reformasi birokrasinya.

                Program di atas dipelopori presiden kelima Korsel Chun Doo Wan yang menetapkan sejumlah prinsip utama reformasi administrasi dan birokrasi melalui Civil Servants Ethics Act, Civil Servant Consciousness Reform Movement, Retired Civil Servant Employment Control, Civil Servant Property Registration, dan Civil Servant Gifts Control.

                Program revolusi mental bagi ASN di Indonesia oleh pemerintahan Jokowi, mestinya dilakukan dengan mengambil referensi Korsel di atas.






Platform Gotong Royong Intelektual Bangsa

Oleh Bimo Joga Sasongko | Rabu, 5 September 2018 | 9:46

Usia Kemerdekaan Republik Indonesia (RI) telah menginjak 73 tahun. Kini postur intelektual bangsa semakin banyak jumlahnya. Mereka adalah kelas menengah yang memiliki tugas sejarah untuk bergotong royong lewat pikiran dan tenaga demi mewujudkan Indonesia yang unggul dan berkelas dunia.

Peringatan Hari Kemerdekaan yang baru saja digelorakan harus menjadi spirit untuk mendongkrak indeks daya saing sumber daya manusia (SDM) dan terus mengembangkan kapasitas inovasi. Apalagi proses inovasi sarat kerja gotong royong dan membutuhkan SDM unggul dalam jumlah besar.

Selaras dengan hal itu maka sudah selayaknya dibentuk platform gotong royong para intelektual bangsa yang sesuai dengan pembangunan manusia Indonesia, khususnya membentuk SDM terbarukan. Karena selama ini para intelektual bangsa lebih suka kerja sendiri dan terlalu sibuk dengan ambisi masing-masing.

Akibatnya progres kemajuan bangsa tersendat dan indeks daya saing SDM bangsa belum menggembirakan. Dalam konteks itulah maka perlu terobosan dalam pembangunan manusia agar bisa membuahkan produktivitas yang tinggi serta meningkatnya nilai tambah lokal. Saatnya kerja yang cerdas dan berkualitas, bukan kerja asal kerja.

Intelektual Indonesia kerja bersama disemangati oleh nilai tradisi keindonesiaan yang telah membumi berabad-abad. Esensi kerja bersama adalah “holopis kuntul baris” yang identik dengan perilaku gotong royong ajaran leluhur bangsa. Lalu diformulasikan secara ideologis oleh Presiden RI pertama Soekarno.

Gotong royong mesti tulus memikul beban bersama, menikmati bersama secara murah meriah dan guyup. Oleh karenanya, perlu dirumuskan arah dan platform gotong royong sebagai energi kolektif kebangsaan untuk menghadapi persaingan global yang makin sengit.

Menurut Bung Karno, gotongroyong merupakan pembantingan tulang bersama, pemerasan keringat bersama, dan perjuangan bantu membantu bersama. Amal semua buat kepentingan semua. Dalam konteks zaman sekarang, gotong royong memiliki arti yang luar biasa bagi kemajuan bangsa jika kaum intelektual mampu bersinergi dan menghilangkan eksklusivisme.

Gotong royong bukanlah sesuatu yang sudah jadi atau given. Gotong-royong memerlukan rekayasa dan pembangunan manusia untuk mencetak SDM terbarukan yang sesuai dengan kemajuan zaman. SDM terbarukan memiliki daya kreatif dan inovasi yang lebih unggul dari generasi sebelumnya.

Di situlah urgensi perlunya kembali merumuskan platform gotong royong para intelektual bangsa yang sesuai dengan tantangan zaman. Pada saat Kemerdekaan RI dikumandangkan, SDM bangsa yang mampu memutar roda organisasi negara masih sangat sedikit. Namun begitu, dalam hitungan bulan setelah hari merdeka, para pemuda yang notabene SDM bangsa mampu mengambil alih lembaga penting dari tangan penjajah. Lalu mereka dengan penuh tekad bergotong royong berusaha menjalankan aktivitas berbagai lembaga dan badan usaha yang dibutuhkan oleh negara.

Sebulan setelah hari kemerdekaan, angkatan muda kereta api mengambil alih sektor perkeretaapian. Kemudian disusul oleh sektor pos dan telekomunikasi, perminyakan, dan sektor lainnya. Begitu juga dengan kebutuhan untuk SDM pertahanan untuk bela negara. Setelah perang kemerdekaan para petinggi TNI banyak merekomendasikan pengiriman anggota TRIP untuk kuliah di luar negeri.

Setelah berhasil kuliah mereka kembali ke Tanah Air dan berperan penting untuk membenahi perguruan tinggi di dalam negeri yang sebelumnya dikelola oleh ilmuwan Belanda. Seperti contohnya Profesor Suwondo B Sutedjo Dipl Ing, yang sebelumnya adalah anggota TRIP Divisi Ronggolawe, yang berhasil menyelesaikan studinya pada Technische Hochshule di Hanover Jerman. Sekembali ke Indonesia, Suwondo membenahi dan mengajar di Institute Teknologi Bandung (ITB).

Pemerintahan Presiden Joko Widodo bertekad mulai tahun 2019 pembangunan bangsa menekankan pengembangan sumber daya manusia (SDM). Struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2019 dan tahun berikutnya difokuskan untuk membenahi SDM bangsa lewat penguatan keahlian dan produktivitas.

Platform gotong royong intelektual bangsa diharapkan bisa menjadi ujung tombak untuk mendongkrak indeks daya saing SDM bangsa. Masyarakat prihatin melihat indeks GTCI 2018, di mana Indonesia berada di urutan ke-77 dari total 119 negara di dunia dalam peringkat Global Talent Competitiveness Index (GTCI) 2018.

Bangsa Indonesia menduduki peringkat ke-77, masih kalah dengan negara tetangga. Sebagai perbandingan, Malaysia di peringkat 27, Filipina di posisi 54, dan Thailand di peringkat 70. GTCI merupakan laporan komprehensif tahunan yang dapat dijadikan indikator untuk mengukur bagaimana suatu negara menyediakan sumber daya manusia untuk meningkatkan daya saing mereka.

Dalam mengukur indeks GTCI, lima pilar yang digunakan antara lain enable atau keberagaman dalam pengetahuan, pengalaman, dan cara menyelesaikan masalah. Pilar kedua dan ketiga adalah attract atau kemampuan menarik sumber daya asing, dan grow atau kemampuan untuk meningkatkan kompetensi diri melalui pendidikan dan pelatihan.

Sementara dua pilar lainnya yang digunakan sebagai penilaian adalah pendidikan vokasional dan teknikal, serta pengetahuan global. Para intelektual bangsa mesti memiliki modal alamiah berupa portofolio kompetensi serta daya kreativitas dan inovasi. Modal itu untuk mewujudkan kepemimpinan unggul, khususnya kepemimpinan dalam domain Iptek dan dunia usaha.

Platform gotong royong intelektual bangsa perlu masive action berupa program mentorship di seluruh pelosok Tanah Air. Menurut Lowenstein & Bradshaw, mentorship adalah suatu bentuk sosialisasi untuk peran profesional yang mendorong pencapaian program nasional.

Perjalanan bangsa saat ini diwarnai bermacam disrupsi teknologi dan datangnya era Industri 4.0. Generasi saat ini perlu navigasi dan pembekalan agar termotivasi dan mampu bersaing secara global.

Cita-cita bangsa sering terhambat oleh perdebatan para intelektual bangsa yang tidak berkesudahan karena belum adanya grand design pembangunan yang strategis dan visioner. Alhasil, pembangunan nasional setelah era Orde Baru masih berjalan tanpa panduan yang jelas sehingga menjadi tindakan tambal sulam tanpa konsep serta cenderung pragmatis dan berorientasi jangka pendek.

Bimo Joga SasongkoPendiri Euro Management Indonesia, Ketua Umum IABIE









Minggu, 12 Agustus 2018

Satu Tarikan Napas Memajukan Indonesia


Oleh Bimo Joga Sasongko | Jumat, 10 Agustus 2018 | 10:20

Pemerintah memperingati Hari Kebangkitan Teknologi Nasional (Hakteknas) 10 Agustus 2018 yang dipusatkan di Kota Pekanbaru, Riau. Hakteknas merupakan salah satu hari bersejarah nasional, tonggak sejarah kebangkitan teknologi Indonesia, yang ditandai dengan penerbangan perdana pesawat rancang bangun anak bangsa yakni N-250 Gatotkaca pada 10 Agustus 1995 di Bandung.

Spirit Hakteknas adalah satu tarikan napas untuk memajukan Indonesia. Latar belakang lahirnya Hakteknas menunjukkan gotong royong dan kerja keras oleh anak-anak intelektual BJ Habibie dalam mewujudkan transformasi teknologi dan industri untuk bangsanya.

Presiden RI ketiga BJ Habibie yang kini berusia 82 tahun menyebut bahwa anak-anak intelektualnya hingga kini masih konsisten menggeluti pengembangan Iptek dan menumbuhkan kapasitas inovasi. Beberapa di antaranya juga berperan mendorong kebangkitan start up nation dan ikut memperbaiki proses bisnis berbagai korporasi. Semua itu sesuai dengan skenario besar yang pernah dirancang oleh BJ Habibie pada awal tahun 80-an.

Ada satu tarikan nafas yang sama bagi anak intelektual Habibie menyikapi kondisi Indonesia saat ini. Mereka sepakat bahwa negeri yang sangat dicintai masih tumbuh di bawah kapasitasnya. Ibarat pabrik raksasa, kapasitas yang idle masih besar. Perlu memperbarui konsep kemajuan yang berkeadilan sesuai dengan semangat zaman.

Di mana SDM terbarukan semakin menjadi andalan. Yakni SDM yang mumpuni dalam bidang Iptek dan proses inovasi.

SDM terbarukan, menurut Presiden RI ketiga, memiliki daya kreatif dan inovasi yang lebih unggul dari generasi sebelumnya. Keniscayaan pertumbuhan ekonomi dunia dan masalah krusial kemasyarakatan membutuhkan bermacam inovasi sebagai solusinya.

Saatnya bergotong royong dan curah pikir membenahi nilai tambah produksi di segala lini. Sektor manufakturing perlu menerapkan standardisasi dan peningkatan kapabilitas teknologinya. Khususnya memajukaan teknologi sederhana atau tepat guna yang dibutuhkan oleh usaha rakyat.

Kini hampir semua negara sedang dilanda euforia menyongsong era Industri 4.0 dan menjadikan era tersebut sebagai referensi untuk menjalankan strategi pembangunan. Presiden Jokowi juga telah meluncurkan Making Indonesia 4.0 sebagai peta jalan dan strategi Indonesia memasuki era manufakturing digital.

Yang pasti, untuk mewujudkan Indonesia 4.0 tidak mudah dan butuh berbagai persyaratan yang kini masih jauh dimiliki bangsa ini. Anak intelektual Habibie sebagian besar telah bersentuhan sejak dini dengan pranata Industri 4.0 dan era sebelumnya. Penerapan Industri 4.0 dipelopori oleh negara Jerman yang sejak 2015 telah merampungkan kerangka kerja yang akan diterapkan pemerintah mulai 2020.

Merujuk World Economic Forum dalam laporannya yang berjudul: The Next Economic Growth Engine Scaling Fourth Industrial Revolution Technologies in Production, kita bisa memprediksi bahwa industri manufakturing global akan totalitas mewujudkan era Industri 4.0 pada 2025.


Prediksi Mc-Kinsey Global Institute (MGI) menyatakan bahwa Indonesia bisa masuk peringkat 7 ekonomi dunia pada tahun 2030 jika per tahun mampu mencetak sekitar 10 juta tenaga kerja qualified yang sesuai dengan kebutuhan zaman. Kini inovasi menjadi faktor yang penting untuk mendongkrak kinerja ekspor dan investasi.

Sebagian besar anak intelektual Habibie bersentuhan langsung dengan proses inovasi. Mereka adalah inovator berbagai bidang yang sedang bergotong royong mendongkrak indeks inovasi nasional.

Anak intelektual Habibie menekankan pentingnya Undang-undang Inovasi. Faktor inovasi adalah jawaban atas paradoks: mengapa kapasitas dan sumber daya alam yang dimiliki Indonesia jauh lebih besar, namun kinerja ekspor dan nilai investasi masih kalah dengan negara tetangga.

Sekadar catatan, Thailand mampu meraup US$ 231 miliar dari ekspor. Jumlah itu tertinggi di Asia Tenggara. Sedangkan nilai ekspor Malaysia sebesar US$ 184 miliar, dan Vietnam mencapai US$ 160 miliar.

Sementara itu, Indonesia hanya sebesar US$ 145 miliar. Volume ekspor Indonesia sebagian besar dari sektor industri pengolahan yang bernilai tambah kecil karena kurang inovatif. Celakanya, industri pengolahan banyak memakai bahan baku impor.

Masalah kinerja sektor investasi di daerah yang belum optimal juga disebabkan faktor inovasi. Kinerja Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) di daerah kurang optimal karena belum menekankan aspek inovasi.

Pembentukan UU Inovasi bisa memberi arah yang jelas terhadap eksistensi Science Technology Park (STP) atau Taman Ilmu dan Teknologi yang kini ada di setiap kota. Menurut International Association of Science Parks (IASP), eksistensi STP harus mampu menjadi inkubator dan mendorong pembentukan perusahaan yang berbasis Iptek yang mengedepankan inovasi.

Di dalam UU Inovasi idealnya terdapat kelembagaan yakni Otoritas Inovasi Nasional (OIN). Otoritas ini bertugas mengelola dan mengembangkan secara progresif kapasitas inovasi nasional dan daerah.

Otoritas juga bertanggung jawab terhadap percepatan difusi inovasi segala lini serta melakukan literasi dan edukasi. Kelembagaan OIN sebaiknya langsung di bawah Presiden. Adanya UU Inovasi diharapkan bisa mendongkrak indeks inovasi. Peringkat Indeks Inovasi Global Indonesia kini makin tertinggal. Peringkat inovasi Indonesia, berdasarkan Global Innovation Index 2017, berada di posisi 87 dari total 127 negara. Posisi ini hanya naik satu peringkat dibandingkan dengan raihan posisi pada 2016.

Dibandingkan dengan negara di Asean, peringkat Global Innovation Index Indonesia juga tertinggal. Misalnya, Malaysia berada di posisi 37, sedangkan Vietnam berada di posisi 47. Eksistensi OIN akan mampu menyinergikan tiga unsur utama dalam sistem inovasi.
Yakni, pertama, unsur kelembagaan (litbang, pendidikan, industri, intermediasi, keuangan atau perbankan). Unsur kedua adalah jejaring kelembagaan sistem inovasi. Dan unsur yang ketiga adalah instrumen kebijakan berupa perangkat hukum dan peraturan yang mengatur tentang hak atas kekayaan intelektual (HAKI), pembiayaan inovasi (seperti misalnya modal ventura), pengelolaan risiko teknologi, standardisasi dan sertifikasi.


Pembiayaan inovasi nasional pusat dan daerah membutuhkan dana yang cukup besar. Oleh karena itu, perlu dibentuk innovation fund semacam dana abadi. Dana itu diharapkan berasal dari APBN/APBD, CSR perusahaan, dan sumbangan dari pihak ketiga dari dalam maupun luar negeri. Dana tersebut sebaiknya dikelola oleh badan otonom.

Bimo Joga SasongkoPendiri Euro Management Indonesia, Sekjen Ikatan Alumni Jerman (IAJ).










Senin, 23 Juli 2018

Urgensi Calon Legislatif Kader Pembangunan


Bimo Joga Sasongko / GOR Sabtu, 21 Juli 2018 | 09:56 WIB

Komisi Pemilihan Umum (KPU) sudah menutup pendaftaran bakal calon anggota legislatif (caleg) untuk Pemilu 2019 pada 17 Juli lalu. Pengumuman daftar calon tetap dari 16 peserta pemilu dijadwaalkan pada 21- 23 September 2018. Akankah Republik ini akan memiliki lembaga legislatif yang berintegritas dan bobot profesionalitas yang baik.

Berdasarkan tahapannya, KPU membuka pendaftaran calon anggota legislatif (caleg) untuk Pemilu 2019 sejak 4 Juli lalu dan berakhir 17 Juli. Berdasarkan Peraturan KPU (PKPU), par tai politik (parpol) menyerahkan daftar bakal calegnya ke KPU di masing- masing tingkatan. Dari daftar bakal caleg ini diwajibkan terdapat 30% perwakilan perempuan.

Bakal caleg harus memasukkan data lewat Sistem Informasi Calon (Silon) agar masyarakat bisa menilai danmemberi masukan. Tujuan lainnya, untuk mencegah tidak ada lagi bakal caleg ganda baik di parpol, daerah pilihanmaupun pada tingkatan dewan perwakilan.

Setelah proses pendaftaran, KPU akan melakukan tahapan verifikasi kelengkapan administrasi bakal calon dan menyampaikan hasilnya kepada par tai politik peser ta pemilu. Parpol diberi kesempatan perbaikan daftar calon dan syarat calon anggota serta pengajuan bakal calon pengganti pada 22-31 Juli 2018. Pengumuman daftar calon tetap akan dilakukan pada 21-23 September 2018. Sedangkan pemilihan legislatif (pileg) akan dilaksanakan serentak pada 17 April 2019 di seluruh Indonesia.

Pada 2019 adalah pertama kalinya pemilu legislatif dan presiden dilak- sanakan dalamwaktu berbarengan. Maka, selain menyiapkan caleg, parpol juga disibukkan dengan agenda pengajuan calon presiden dan wakil presiden, 4-10 Agustus 2018. Kesiapan partai akan diuji di hari pemungutan suara pada 17 April 2019. Rakyat saat ini pantas prihatin karena hingga kini negeri ini belum memiliki lembaga legislatif yang memiliki integritas dan bobot profesionalitas yang baik.

Oleh karena itu, partai politik perlu memper timbangkan pemilihan caleg yang tidak hanya sebagai kader atau petugas partai serta berlatar selebritas, tetapi perlu memprioritaskan caleg kader pembangunan. Siapakah kader pembangunan itu? Biasanya kader pembangunan itu bukan aktivis ataupun pengurus parpol, karena waktunya banyak tercurah untuk mengembangkan profesi dan karyanya.

Mereka itu adalah sosok-sosok profesional nonpartai, tetapi memiliki kompetensi dan karya inovasi yang sangat berguna bagi pembangunan. Keniscayaan bagi parpol untuk memberikan porsi pencalegan kepada kader pembangunan. Pe-ngurus parpol perlu melakukan koordinasi dan sinergi kader pembangunan agar mereka mau duduk di lembaga legislatif.

Selama ini kader pembangun¬an yang mampu menyelesaikan masalah bangsa hanya menjadi penonton dalam proses demokrasi yang sangat penting untuk memutuskan masa depan bangsa. Kader pembangunan sangat tepat bila menjadi anggota legislatif, baik di tingkat DPRD maupun di DPR RI.

Selama ini banyak kader pembangunan yang berlatar belakang teknolog dan inovator telah membantu memecahkan masalah penting di berbagai daerah. Sebagai contohnya adalah kader pembangunan yang membantu mewujudkan Bandung Smart City (BSC). Kader pembangunan di atas terdiri atas inovator, pelaku bisnis, hingga diaspora Indonesia yang tersebar di luar negeri.

Dalam konteks di atas ditunjuk sebagai ketua BSC adalah Ilham Akbar Habibie yang merupakan putera sulung Presiden RI ketiga BJ Habibie. Tim BCS telah berhasil merumuskan cetak biru dan konsep kota berbasis teknologi yang diintegrasikan pada pelayanan publik untuk mencerdaskan warga dan kotanya.

Konsep pengembangan berbasis teknologi seperti halnya Sillicon Valley di Amerika Serikat. Sukses tim di atas telah mengantar Ridwan Kamil memenangkan Pilgub Jabar 2018 yang baru lalu. Contoh di Bandung tersebut merupakan bukti perlunya kader pembangunan menjadi anggota le¬gislatif yang memiliki kemampuan teknis dan pemikiran inovatif untuk mengatasi tantangan zaman.

Keniscayaan, anggota legislatif mesti memiliki visi “glokalitas” dalam merancang peraturan dan rencana pembangunan. Yakni visi yang menekankan aspek globalisasi dan potensi lokalitas. Masa depan dunia akan diwarnai dengan fenomena partisipasi publik yang memberi ide, gagasan dan inisiatif luar biasa yang disebut Ideagora.

Anggota legislatif mesti menekankan pentingnya wahana Ideagora. Yang merupakan wahana untuk mengembangkan gagasan dan ide kreatif rakyat luas terkait dengan inovasi segala bidang. Berupa karya unik yang bermutu yang berpotensi menjadi sesuatu unggulan di tingkat regional hingga mendunia.

Anggota legislatif mendatang harus mampu bersinergi dengan eksekutif untuk mendongkrak produktivitas daerah. Salah satu kunci per tumbuhan ekonomi daerah adalah produktivitas. Dibutuhkan tim super daerah yangmemahami cara yang tepat untuk meningkatkan produktivitas. Juga memiliki gagasan segar dan inovasi tepat guna yang terkait dengan faktor produktivitas bagi masyarakat.

Rakyat membutuhkan wakil yang bisa mewujudkan faktor tipping point terkait produktivitas. Saatnya legislatif mampu menyusun konsep dan dokumen pembangunan yang sesuai de¬ ngan semangat zaman. Pada era globalisasi, kecepatan menjadi tuntutan utama.

Jika kita cermati masih ada sederet kelemahan yang mendasar dalam Perda Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) dan Jangka Menengah Daerah. Kita lihat isinya belum tampak milestones pemba¬ ngunan yang hebat. Eksistensi UU Nomor 25 tahun 2004 menyatakan bahwa dalam Perda RPJPD harus tertuang rumusan visi untuk merancang masa depan pembangunan daerah.

Namun, rumusan RPJPD kebanyakan hanya berisi kompilasi data-data yang tidak aspiratif dan ketinggalan zaman. Padahal, RPJPDmerupakan dokumen perencanaan yang me¬ ngandung unsur kebijakan publik. Mestinya harus ada indikator dan korelasi positif terhadap sasaran lima tahunan. Kekuatan RPJPD sebagai satu dokumen perencanaan pembangunan akan terwujud jika ada kejelasan mengenai factor-faktor yang akan dikembangkan sebagai pendukung pencapaian visi dalam kurun 20 tahun ke depan yang terdistribusi bebannya secara baik dalam lima tahunan.

Di negara maju seperti Amerika Serikat sudah ada standardisasi profesi pekerja politik dan ukuran kinerja bagi anggota legislatif. Juga ada lembaga yang melakukan penilaian, seper ti The National Standards for Civics and Government yang membuat kategori mengenai kecakapan dan kinerja anggota legislatif. Kader pembangunan yang duduk di legislatif biasanya lebih profesional dan memiliki kemampuan untuk mengidentifikasi dan membuat deskripsi, menganalisis, serta kemampuan memper tahankan pendapat tentang isu-isu publik. Mereka juga memiliki kecakapan intelektual yang me¬nyangkut manajemen aspirasi yang terkelola secara manual maupun secara digital.

Dari aspek profesionalitas ada beberapa parameter kerja anggota legislatif yang harus dibenahi. Yang pertama adalah aspek pengetahuan, pengalaman, dan keahli¬ an anggota legislatif bila diukur dengan kompleksitas persoalan aktual pada saat ini yang masih timpang. Banyak anggota legislatif yang tidakmampumendiskripsikan persoalan rakyat secara tertulis dengan waktu yang singkat.

Selain itu, aspek problem solving anggota DPRD yang rendah, utamanya yang menyangkut thinking challenge , yakni tingkat pemikiran kreatif, inovatif atau orisinal yang diperlukan untuk mencari berbagai pemecahan masalah. Anggota legislatif mendatang harus memahami dan menguasai strategi diferensiasi terhadap produk inovasi karya anak bangsa yang harus terus dikembangkan.

Untuk membuat faktor diferensiasi yang paling penting dan men- dasar adalah aktivitas pelatihan masyarakat untukmembuat produk inovatif. Diferensiasi inovasi akan terwujud dengan baik jika ada landasan yang kokoh terhadap stimulus gagasan disain dari masyarakat. Jika stimulus itu bisa dijalankan secara baik maka sederet gagasan disain masyarakat akan berubah menjadi produk yang lebih konkret. Oleh karena itu, sangatlah penting masukan dari pakar desain produk.

Agar gagasan disain masyarakat itu layak untuk dikembangkan. Agenda penting legislatif ke depan adalah bagaimana cara me¬ ningkatkan kapasitas inovasi daerah yang pernah dilakukan oleh kota di negara-negara maju. Yakni, dengan cara mengembangkan Advanced Research Park yang menghasilkan berbagai produk unggulan dunia.

Bimo Joga Sasongko, Sekjen Ikatan Alumni Jerman (IAJ) dan pendiri Euro Management Indonesia.
Sumber: Investor Daily







Legislator Cendekiawan Semakin Langka



Partai politik telah menyerahkan daftar calon legislatif (caleg) Pemilu 2019 untuk diverifikasi Komisi Pemilihan Umum (KPU). Seperti sebelumnya postur caleg yang disodorkan banyak dari kalangan kader partai, artis, pengusaha dan mantan atlet. Parpol mengandalkan sederet selebritis yang gaya hidupnya super mewah untuk mendulang suara rakyat. Terjadi juga transaksi atau transfer artis antarpaprpol dengan nilai cukup tinggi.
Melihat postur caleg yang disodorkan oleh parpol, terlihat postur legislatif mendatang  mengalami kelangkaan legislator cendekiawan. Publik menyambut dingin  daftar caleg dan merisaukan integritas serta kompetensi para legistrator yang disodorkan parpol. Kerisauan publik itu pada pemilu legislatif yang lalu juga dinyatakan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu ( DKPP).
Proses penyusunan caleg belum sesuai dengan harapan rakyat luas. Padahal sosok legistrator yang didambakan rakyat sangat kontradiktif dengan kepentingan pengurus parpol. Masih kuat dalam persepsi  publik, moralitas, integritas dan kapasitas legistrator masih jauh dari harapan. Moralitas dan integritas mereka hingga periode legislatif saat ini masih sarat dengan perilaku korup. Dengan mata telanjang publik melihat aktifitas dan gaya hidup para anggota DPR/DPRD masih penuh kemewahan dan boros.
Kompetensi dan kinerja anggota legislatif yang belum menggembirakan mestinya menjadi perhatian parpol. Sesuai dengan harapan rakyat, parpol seharunya menekankan pentingnya sosok legislator cendekiawan nan bersahaja. Mereka adalah figur politisi cendekia yang artikulatif dan visioner pada zamannya. Pada kapasitas diri mereka telah bersenyawa antara aktivis politik dan kecendekiawanan secara utuh.
Sejarah negara ini banyak menghadirkan sosok politisi cendekiawan yang kehidupan pribadinya bersahaja atau hidupnya penuh keserhanaan, namun kiprah dan pemikirannya luar biasa. Mereka adalah politisi paripurna yang telah hadir dan menghiasi sejarah bangsanya. Kini rakyat merindukan sosoknya pada saat ini tengah mengalami kekeringan politisi cendekiawan.
Rakyat merindukan politisi cendekiawan seperti Agus Salim, Mohammad Natsir, atau Kasman Singodimedjo. Mereka itu sosok sederhana yang sikapnya lembut dan toleran, namun dia adalah cendekiawan dan organisator yang hebat.
Legislator pertama Indonesia yakni Kasman Singodimedjo menyatakan bahwa memimpin adalah menderita, sesuai dengan pepatah Belanda ”leiden is lijden”. Pepatah itu menjadi suatu keharusan jalan pengabdian, bagi mereka yang memahami bahwa kebahagiaan rakyat lebih utama ketimbang pemimpinnya. Ini sangat tepat jika kita meneropong sepak terjang para pahlawan bangsa yang notabene sebenarnya mereka itu adalah politisi cendekiawan.
Seharusnya parpol menjunjung kewajiban sejarah untuk mencetak dan menemukan kembali sosok-sosok politisi cendekiawan. Meminjam istilah Presiden ketiga RI BJ Habibie, sosok tersebut pada saat ini adalah SDM bangsa yang terbarukan dan unggul dalam profesinya. Biasanya kader pembangunan itu bukan aktivis ataupun pengurus parpol. Karena waktunya banyak tercurah untuk mengembangkan profesi dan memupuk karyanya. Mereka itu adalah sosok-sosok professional non partai, tetapi memiliki visi, kompetensi dan karya inovasi yang sangat berguna bagi pembangunan.
Keniscayaan bagi parpol untuk memberikan porsi pencalegan kepada kader pembangunan. Namun, pengurus parpol kurang berminat menarik kader pembangunan agar mereka mau duduk di lembaga legislatif.
Kinerja yang terukur

Tak bisa dimungkiri, rakyat masih prihatin karena hingga kini negeri ini belum memiliki postur lembaga legislatif yang memiliki integritas dan bobot profesionalitas yang memadai. Tahapan pemilu legislatif semakin tidak kondusif untuk menjaring anak-anak intelektual bangsa agar bersedia menjadi wakil rakyat. Spektrum tahapan pemilu tahun 2019 terlalu luas karena pertama kalinya pemilu legislatif dan presiden dilaksanakan dalam waktu bersamaan.
Masyarakat banyak lah yang kuatir terkait dengan kecakapan, kompetensi dan kejujuran para legislator. Selama ini banyak legislator yang kurang memiliki kecakapan intelektual dalam membedah berbagai persoalan nasional dan daerah. Padahal mereka diberi gaji besar dan fasilitas mewah.
Kecakapan intelektual  legislator juga menyangkut manajemen aspirasi yang terkelola secara manual  maupun digital. Hingga saat ini sistem informasi lembaga legislatif di Indonesia masih belum efektif. Buruknya sistem informasi legislatif yang ada sekarang ini juga menghambat peningkatan profesionalitas. Akibatnya, proses check and balance tidak berjalan baik. Mestinya, sistem informasi legislatif bisa membantu para politisi untuk mengelola aspirasi. Juga merupakan sarana komunikasi yang sangat efektif dalam tugas legislasi seperti proses penyusunan undang –undang atau peraturan daerah, menyusun APBN/APBD dan lainnya.
Di masa mendatang publik terus menuntut adanya ukuran kinerja dan bobot pekerjaan bagi legislator yang tertata dan terukur dengan baik. Selama ini kinerja legislator tidak pernah terukur secara benar.
Di negara maju seperti Amerika Serikat dan Jerman, sudah dirumuskan standar kinerja legislator secara rinci. Perlu dicontoh Amerika Serikat yang sudah ada standarisasi profesi pekerja politik dan ukuran kinerja bagi legislator yang setiap tahun selalu diperbaharui sesuai dengan perkembangan zaman.
Disana juga terdapat lembaga yang melakukan penilaian, yakni National Standards for Civics and Government. Lembaga tersebut mengukur kemampuan legislator dalam menjalankan tugasnya. Persaingan sengit untuk menggapai kursi legislatif dan besarnya ongkos politik yang harus dikeluarkan selama kampanye menyebabkan ketulusan dalam berpolitik sekarang ini semakin menipis. Pesta demokrasi berlangsung dengan biaya yang amat tinggi. Baik biaya yang harus ditanggung oleh negara, parpol, maupun yang dipikul individu politisi.
Akibatnya legislator cendekiawan semakin sulit terwujud. Risikonya, kedepan masih banyak legislator yang berkinerja buruk. Karena tingkatan problem solving para legislator juga masih rendah, utamanya yang menyangkut thinking challenge, yakni kemampuan berpikir kreatif dan inovatif untuk memecahkan masalah pembangunan.

*Bimo Joga Sasongko, Pendiri Euro Management Indonesia.









Rabu, 27 Juni 2018

“Anak Juni” Presiden RI

Rabu 27/6/2018 | 01:00

Oleh Bimo Joga Sasongko

Bulan Juni sangat istimewa bagi Bangsa Indonesia. Juni sebagai bulan Pancasila karena lahirnya dasar negara, juga sangat istimewa karena empat dari Presiden RI lahir di bulan Juni, yYakni Soekarno, Soeharto, BJ Habibie, dan Joko Widodo. Presiden RI ketujuh, Joko Widodo, lahir Rabu, 21 Juni 1961.

Presiden pertama Soekarno lahir di Surabaya, Jawa Timur, pada 6 Juni 1901. Presiden kedua, Soeharto, pun lahir pada bulan Juni, tepatnya 8 Juni 1921 di Desa Kemusuk, Argomulyo, Bantul, Yogyakarta. Lalu, presiden ketiga, Bacharuddin Jusuf Habibie, dilahirkan pada 25 Juni 1936 di Parepare, Sulawesi Selatan. Menggantikan Soeharto yang mengundurkan diri dari jabatan presiden pada 21 Mei 1998.

BJ Habibie menjabat selama 2 bulan 7 hari sebagai wakil presiden dan hanya 1 tahun 5 bulan menjabat presiden. Namun begitu, pemerintahan BJ Habibie yang singkat itu berhasil menumbuhkan demokratisasi segala bidang di Tanah Air. Hal itu terungkap dalam diskusi dan orasi yang diselenggarakan pada 24 Juni 2018 di The Habibie Center yang bertajuk Demokratisasi tak boleh henti dalam rangka 82 tahun BJ.Habibie.

Dalam usia yang ke-82, BJ Habibie masih bersemangat memikirkan masalah SDM bangsa. Presiden RI ketiga itu lebih senang dipanggil dengan sebutan Eyang Habibie. Itu sebagai manifestasi bahwa regenerasi bangsa merupakan keniscayaan dan harus dikelola penuh totalitas.

Meskipun fisiknya semakin melemah, namun jika berbicara tentang SDM bangsa, Eyang Habibie terpompa semangatnya dan mampu bicara lantang dan runtun selama berjam-jam. Sepanjang kariernya, Eyang Habibie telah mempersiapkan berbagai wahana industrialisasi dan pusat iptek serta mencetak ribuan SDM unggul untuk menjalankan berbagai bidang pembangunan.

Begitu detailnya mencetak SDM unggul untuk pembangunan nasional. Ketika menjabat Menristek, para penerima bea siswa luar negeri maupun bea siswa dalam negeri yang menjadi programnya mendapat perhatian setiap saat. Bahkan, Eyang Habibie selalu membaca dan membubuhkan tanda tangan dan memberikan catatan kaki pada setiap laporan semester dari para mahasiswa anak didiknya. Hal itu merupakan fenomena luar biasa mengingat kesibukan dirinya sebagai seorang menteri yang merangkap puluhan jabatan penting lainnya.

Dengan berbagai cara pembiayaan, Eyang Habibie berusaha mencetak SDM kelas dunia. Betapa ngototnya Eyang Habibie untuk mendapatlan pembiayaan dari APBN hingga pembiayaan dengan caranya yang unik yakni melalui cara offset atau timbal balik bagi perusahaan asing yang mendapatkan proyek di Tanah Air. Selain offset produksi di dalam negeri, juga dilakukan dalam bentuk pendidikan dan pelatihan bagi putera-puteri bangsa ke luar negeri.

Film tentang Presiden

Kisah para Presiden RI telah diangkat dalam layar lebar. Salah satunya kisah tentang Presiden ketiga, BJ Habibie. Masyarakat luas telah menyaksikan film Rudy Habibie yang merupakan sekuel dari Habibie & Ainun. Film ini mengandung banyak pesan kebangsaan dan nilai perjuangan anak bangsa dalam menggapai cita-cita. Saat kuliah di RWTH Aachen, Jerman, kehidupan Habibie muda yang biasa dipanggil Rudy dalam kondisi penuh keprihatinan.

Di sana, dirinya tidak hanya belajar tentang teknologi penerbangan, tetapi juga mendalami arti cinta, persahabatan, dan mengkaji persoalan bangsanya bersama dengan para mahasiswa Indonesia lainnya yang tergabung dalam Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) di Eropa.

Sejak PPI Jerman didirikan pada 1956, sebagai pengurus, Rudy memiliki obsesi dan visi pembangunan yang detail. Menurutnya, PPI sebaiknya jangan terlalu berpolitik praktis, tetapi harus mulai menyiapkan wahana bangsa diberbagai bidang. Seperti bidang kedirgantaraan, maritim, ketenagalistrikan, dan wahana industrialisasi lainnya. Wahana merupakan sarana dan prasarana yang strategis untuk pembangunan bangsa yang bertumpu kepada prinsip kemandirian.

Rudy memulai perjuangannya dari Kota Bandung sejak 1950 ketika masih duduk di bangku SMA.Rudy meninggalkan Fakultas Teknik Universitas Indonesia di Bandung, lalu berjuang keras menjadi mahasiswa RWTH Aachen (Rheinisch Westfalische Technische Hochschule Aachen). Merupakan perguruan tinggi yang tertua di Jerman yang didirikan untuk menunjang tahapan revolusi industri di negeri tersebut.

Jika bangsa Indonesia konsisten menjalankan pengembangan iptek dan melakukan industrialisasi sesuai yang telah digariskan oleh Eyang Habibie dalam strategi dan transformasi, niscaya negeri ini setara dengan Korea Selatan dan Tiongkok.

Indonesia telah memiliki strategi transformasi teknologi dan industri yang dirancang oleh Menristek BJ Habibie dengan membentuk sembilan wahana industrialisasi nasional serta Pusat Pengembangan Iptek (Puspiptek) di Serpong. Strategi itu boleh dibilang kongruen atau sebangun dengan langkah bangsa Korsel dan Tiongkok. Namun, dalam perjalanannya strategi transformasi di Indonesia menjadi stagnan dan teralienasi akibat kondisi politik dan tidak adanya garis besar haluan negara menuju kemajuan yang sistemik dan terkonsep secara detail.

Saatnya Pemerintahan Presiden Jokowi menggalakkan kebijakan lokalisasi komponen oleh perusahaan multinasional yang memenangkan proyek infrastruktur sehingga prosentase Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) komponen elektronika terus meningkat dan diproduksi oleh industri nasional.

Kepemimpinan Transformatif

Warisan Eyang Habibie yang berupa wahana industri dan kader intelektual juga sangat berguna untuk menyelesaikan program nasional kelistrikan 35 ribu MW yang kini menjadi perhatian besar Presiden Jokowi. Wahana tersebut berupa PT Nusantara Turbin dan Propulsi (PT NTP) yang SDM-nya memiliki kemampuan setara dengan industri terkemuka dunia. Yakni General Electrics (GE) yang selama ini memproduksi berbagai turbin untuk pembangkit listrik, industri dan turbin gas untuk mesin pesawat terbang.

Eyang Habibie menekankan perlunya langkah improvisasi dramatis atau dikenal dengan istilah lompatan katak. Indonesia membutuhkan kepemimpinan yang transformatif. Yakni kepemimpinan yang tidak sekedar kepemimpinan politik, tetapi juga kepemimpinan yang memiliki kapasitas, pembangkit kreativitas dan daya inovasi.

Kepemimpinan transformatif harus mampu mendefinisikan kembali orientasi dan strategi pembangunan agar sesuai dengan semangat zaman. Perlu strategi pembangunan yang progresif dan transformatif yang disebut dengan istilah leapfrogging atau lompatan katak. Istilah tersebut diadopsi oleh Eyang Habibie dari kondisi dua negara yang kalah perang, yakni Jerman dan Jepang. Setelah kalah perang ternyata dua negara tersebut mampu dengan cepat mengejar kemajuan teknologi dan industri lewat lompatanlompatan yang sangat berarti.

Dalam hal daya saing SDM bangsa, sejak awal 80-an Eyang Habibie telah melakukan investasi bangsa yang sangat berharga yakni pemberdayaan kapasitas otak manusia Indonesia.

Penulis Lulusan Aerospace Engineering, North Carolina State University, Raleigh, North Carolina, USA