Senin, 25 Juli 2016

IABIE



IABIE dan Global Brain Circulation,
Solusi mendasar dan tuntas
terkait kasus ikatan dinas anggota IABIE

Oleh : Bimo Joga Sasongko  - STAID 1 USA
Bakal Calon Ketua Umum IABIE
Periode 2016-2019
Sinergi Positif untuk Negeri

            Dalam konteks berbangsa, IABIE adalah SDM yang dipersiapkan oleh negara melalui Prof.DR.BJ.Habibie yang waktu itu sebagai Menristek. Para anggota IABIE pada saat ini tetap eksis berkarya dan berinovasi untuk bangsa. Mereka telah menemukan jalan masing-masing untuk memberikan kompetensinya kepada negeri ini.
            Ada sebagian dari anggota IABIE yang statusnya masih dianggap “bermasalah” dengan varian sebagai berikut; pertama mereka meninggalkan instansi atau BUMN sebelum habis masa ikatan dinasnya. Seperti termaktub dalam perjanjian ikatan dinas, masa kerja mereka mestinya berlaku 2N+1. N adalah masa pemberian bea siswa atau masa studi mereka yang dibiayai oleh negara. Varian kedua adalah mereka tidak pernah kembali ke tanah air bekerja pada instansi atau BUMN yang sesuai dalam perjanjian ikatan dinas.
            Kondisi politik pasca gerakan reformasi 1998 dan tekanan pihak luar negeri terkait dengan “penghentian” atau pengurangan kapasitas secara drastis program pengembangan Iptek dan transformasi industri strategis nasional, menyebabkan lembaga Ristek (BPPT, LIPI, BATAN, LAPAN) dan BUMNIS (PT DI, PAL, INTI, INKA dan lain-lain) menjadi stagnan dan menghentikan proyeknya, akibatnya kapasitas produksi dan SDM banyak yang mengalami idle. Terjadi kevakuman yang luar biasa dan menyebabkan karyawan disorientasi dan masing-masing mencari jalan keluar untuk mempertahankan kompetensi dan hajat hidupnya.
            Pengurus IABIE mendatang perlu totalitas mencari solusi untuk bisa “memutihkan” status di atas sehingga anggota IABIE tidak memikul lagi beban sejarah yang tidak perlu. Pengurus IABIE mendatang sebaiknya membuat tim advokasi dalam kerangka rekonsiliasi terhadap varian pertama dan kedua di atas lalu menjelaskan secara tertulis dan bertemu langsung terhadap pihak yang terkait. Perlu membuat model dan format bagi mereka yang masih menyandang varian pertama dan kedua agar masing-masing bisa clear dan memiliki pegangan kuat jika ada pihak formal dan informal yang mengungkit statusnya.
Pengamatan dan kajian saya sebagai Sekjen IABIE terkait dengan masalah di atas adalah bahwa secara politis dan kebijakan pimpinan bangsa sebenanya sudah clear. Seperti yang pernah diutarakan oleh Presiden RI ketiga, bahwa pada intinya terkait dengan varian pertama dan kedua  bisa dipahami karena mereka sebagian besar masih terkait dengan aspek global brain circulation yang sangat penting bagi kehidupan dan daya saing bangsa. Mereka masih berkarya di dalam negeri ataupun di luar negeri yang langsung ataupun tidak langsung masih menyokong kemajuan bangsa. Untuk itulah perlu menuliskan peran masing-masing yang terkait dengan aspek global brain circulation tersebut. Dalam sebuah format dan artikel populer yang bisa dibaca dan dipahami oleh masyarakat dan pemerintah.
            Dengan demikian status sebagai “pelarian” tidak perlu lagi disandang dan telah terjadi rekonsiliasi nasional secara elegan. Ini tentunya membutuhkan pendekatan yang intensif oleh Pengurus IABIE mendatang. Perlu seni negosiasi dan diplomasi politis yang didukung oleh kekuatan media untuk bisa memutihkan status dalam varian pertama dan kedua. Selama ini yang masih memegang “buntut” persoalan status varian pertama dan kedua adalah eselon dua kebawah yang notabene kurang memahami arti penting global brain circulation dan pengembangan SDM kelas dunia.
Bahkan saya mendengar masih terjadi semacam intimidasi dari oknum birokrasi terhadap penyandang varian pertama dan kedua dengan cara melayangkan surat ancaman ataupun gertakan yang mirip dengan debt collector. Padahal masalah ini jelas sama sekali bukan kasus perdata, tetapi adalah semacam force majore atau kondisi darurat yang diluar kekuasaan individu bahkan diluar kemampuan pemerintah sekalipun.
            Jika dikaji secara mendalam, keputusan para penempuh varian pertama dan kedua justru mengatasi brain drain yang dialami oleh bangsa Indonesia. Dalam berbagai kasus, justru para penempuh varian pertama semakin menguntungkan negara dan memberikan nilai tambah berganda. Hal ini bisa ditujukkan seperti gambaran di bawah, yang mungkin bisa dijadikan referensi format bagi yang lain. Ada contoh yang bagus dari salah satu anggota IABIE dari PT Dirgantara Indonesia (PT DI) dengan inisial NDH yang memiliki portofolio kompetensi global brain circulation yang jika dihitung secara empiris sangat menguntungkan bagi bangsa dan negara terkait dengan kiprahnya saat ini setelah “terpaksa” meninggalkan PT DI. Dalam gambaran singkat di bawah sosok IABIEer tersebut bisa menjadi contoh model untuk rekonsiliasi dan menuntaskan sandungan status anggota IABIE.

Pendekatan model NDH untuk Format Rekonsiliasi :
            Ada yang berpendapat bahwa SDM Teknologi PT Dirgantara Indonesia (PT DI) sejak krisis ekonomi mengalami brain drain dalam bentuk keluarnya SDM yang memiliki kompetensi tinggi, khususnya yang dari BSLN hingga kepentingan bangsa menjadi dirugikan.
Namun, menurut kajian saya yang terjadi pada para SDM Teknologi tersebut, utamanya yang langsung dipersiapkan oleh Pak Habibie dengan jalan beasiswa ikatan dinas dan magang di industri dan pusat riset pesawat terbang terkemuka di dunia sebenarnya adalah upaya survival agar kompetensinya terus berkembang.
Pada prinsipnya SDM Teknologi baik lulusan perguruan tinggi dalam negeri maupun luar negeri, baik yang masih bekerja langsung di lingkungan PT DI, maupun yang telah berada di luar, kiprah keduanya sejajar dalam hal pengabdian untuk mengembangkan teknologi sebagai solusi berbagai bidang di negeri ini. Dan sewaktu-waktu mereka juga bisa menyumbangkan pikirannya.
Mereka itu  menempuh jalan dengan  menggunakan  prinsip global  brain circulation seperti premis yang dikemukan oleh Paul Krugman penerima hadiah Nobel bidang Ekonomi. Mereka itu juga telah menjadikan kompetensi atau pengalaman sewaktu berkerja di PT DI dahulu sebagai modal penting untuk memecahkan berbagai persoalan bangsa atau bisnisnya. Hal itu tidak mengherankan karena teknologi pesawat terbang (atau bisa juga teknologi yang digeluti oleh yang lain) bisa mengkait dan diaplikasikan ke industri lainnya atau menjadi problem solving untuk berbagai kehidupan di negeri ini. Karena teknologi pesawat terbang mengalami perbaikan yang terus menerus, berkembang setiap detik dan sangat memperhatikan kerja detail karena melibatkan ratusan ribu komponen yang harus terintegrasi menjadi suatu produk.
            Salah satu contoh adalah NDH, sosok versatilis dan inovator yang telah menciptakan sederet karya yang antara lain membuat sistem informasi Pemilu agar demokratisasi di negeri ini berlangsung lebih baik. Juga menciptakan berbagai aplikasi untuk memperbaiki tatakelola pemerintahan dan bisnis. Dan masih ada beberapa karyanya lagi yang bisa menjadi solusi bagi persaingan bangsa ini ke depan. Sepak terjang NDH tersebut bagi saya tidak mengherankan lagi. Karena dirinya pernah menangani beberapa program PT DI. Antara lain dalam proyek pesawat N-2130. Khususnya di bidang SIDINA (Sistem Digital Terintegrasi Nusantara) yang merupakan sistem untuk proses Re-Engineering berbasis Advanced CAD/CAM/CAE Technology dalam rancang bangun pesawat terbang.
            Pengalaman NDH yang merancang SIDINA hingga melakukan kajian terhadap hal serupa di Boeing dan industri pesawat terbang terkemuka, telah menginspirasi dirinya untuk melakukaan inovasi di bidang sistem informasi non-pesawat terbang seperti sistem e-Government, e-Democracy, e-Education, e-Broadcasting, dan sebagainya.
Perjalanan suatu bangsa sangat membutuhkan solusi multidisiplin dan multiplatform namun tetap sesuai dengan konteks permasalahan yang dihadapi. Disinilah Gartner mendefinisikan versatilis sebagai sosok yang memiliki pengalaman, kemampuan menjalankan berbagai tugas yang beragam dan multidisiplin (versatile). Hal itu sekaligus untuk menciptakan pengetahuan baru, inovasi, kompetensi dan keterkaitan (context) yang kaya dan padu guna mendorong perbaikan tatakelola dan nilai bisnis. Menurut pendapat saya para anggota IABIE sebagian besar telah menjadi versatilis yakni seorang spesialis yang berpikir dan berwawasan luas, inovator yang mengerti tentang pengembangana tata kelola pemerintahan dan korporasi.
Jika saya terpilih menjadi Ketua IABIE maka saya bertekad bulat untuk menuntaskan persoalan yang selama ini menyandera sebagian anggota IABIE. Langkah pertama saaya adalah dengan membuat format, mekanisme dan identifikasi dari masing-masing anggota IABIE yang bermasalah dengan ikatan dinas. Kegiatan advokasi tersebut juga disertai dengan lobi yang sehat serta memberi gambaran yang obyektif kepada pemerintah.

Sekian dan terimakasih.
Jakarta 25 Juli 2016
Bimo Joga Sasongko

Tidak ada komentar:

Posting Komentar