Selasa, 28 Juni 2016

Elshinta - Kirim 2000 Mahasiswa Ke Jantung Dunia


Kirim 2000 Mahasiswa Ke Jantung Dunia

Bimo Saongko BSAE, MSEIE, MBA terlahir dari keluarga sederhana. Ayahnya seorang tentara dan ibunya adalah ibu rumah tangga biasa. Namun keinginannya yang kuat untuk bisa sukses membuatnya ulet belajar sejak kecil dan dekat dengan buku. Salah satu mimpinya adalah bisa studi di luar negeri. Masa kecilnya dihabiskan di Tanjung Priok, lokasi yang cukup keras di Jakarta. Karena itulah, selesai bangku SMP, Bimo lalu dikirim ke kota Bandung untuk melanjutkan studi SMA. “Saking saya inginnya bisa belajar di luar negeri, saya SMA tidak mau di Jakarta. Akhirnya saya pilih untuk sekolah di Bandung, ikut saudara disana. Jadi saya memang sudah bisa mandiri dan jauh dari orang tua sejak SMA,” katanya.

Masa kecilnya dihabiskan di Tanjung Priok, Jakarta dengan kondisi dengan kondisi lingkungan yang tak terlalu baik. Demi menjaga dirinya dari pergaulan buruk, lalu orangtuanya mengirimkannya untuk belajar di salah satu SMA di Bandung. Keinginan  kuat untuk bisa belajar di luar negeri dibuktikannya, sekitar tahun 1990-an ia  diterima untuk belajar di Amerika Serikat. Sepulang dari Amerika Serikat dengan menggondol gelar S1 dan S2, lalu ia kembali mengulik ilmu di Jerman. Pulang kembali dan mendirikan Euro Management Indonesia, lembaga konsultasi pendidikan untuk luar negeri yang saat ini telah memberangkatkan 2000 orang ke Eropa.

Selepas SMA pada tahun 1990, lalu ia masuk ke ITB. Namun baru sebulan kuliah, Bimo pun dierima untuk kuliah program beasiswa Menristek Habibie kala itu, dan ia pun berangkat ke Amerika Serikat di tahun itu. Untuk mendapatkan beasiswa ini bukanlah pekerjaan mudah, ia melakukan serangkaian tes hingga 6 kali sampai akhirnya dinyatakan lulus dan diberangkatkan ke AS. Di Amerika, dirinya kuliah dengan mengambil jurusan TEknik Penerbangan di North Carolina University yang kemudian dilanjutkan dengan menamatkan S-2 di Arizona State University. Pria kelahiran tahun 1972 ini mengakui jika di masa-masa awal kuliah di luar negeri memang cukup berat, terlebih jauh dari keluarga. “Yang paling utama adalah factor bahasa, meski di Indonesia sudah belajar bahasa, pada praktiknya tetap saja bahasanya berbeda. Budaya juga, saya masih malu kalau bicara. Praktis, selama 2,5 tahun saya hanya bisa dengar dan tak mengerti bahasa mereka. Setelah itu baru saya bisa lancar berbahasa dan sudah seperti hidup di Tanah Air saja. Tak ada kendala lagi.” Katanya.

Setelah menamatkan jenjang S1 selama 4 tahun, Bimo pun langsung mengambil jenjang S2 dengan tanpa beasiswa. Selama di sana pun, berbagai pekerjaan pernah dicoba olehnya dari mulai kerja di perpustakaan kampus ataupun di kantor pos universitas. Dari pekerjaan tersebut dirinya dibayar hingga 100 euro per minggu. Tamat S2 pada 1997 lalu Bimo pulang ke Indonesia dan langsung bekerja di BPPT. Selain di BPPT ia juga bekerja di salah satu perusahaan dan membuatnya bisa mendapatkan banyak uang. Dari pekerjaan tersebut ia sudah bisa membeli rumah dan mobil. Tapi karena keinginannya untuk bisa kembali kuliah belum padam, semua asetnya kemudian dijual. Dengan bekal dana 6000 euro hasil menjual semua asetnya, Bimo pun berangkat ke Jerman. “Saya kemudian ambil lagi S2 untuk mengambil gelar MBA di Fachhochschule (University of Applied Sciences) Pforzheim, Jerman. Saat di Jerman inilah saya sempat membawa serta anak istri saya. Tapi karena biaya hidup yang cukup berat, akhirnya mereka kembali ke Indonesia sebelum saya menamatkan pendidikan. Di Indonesia saya nol kembali, karena semua asset sudah saya jual,” sebut Bimo.

Namun dari Jerman inilah mimpinya untuk membangun sebuah bisnis di bidang pendidikan mulai muncul. Diakuinya, kala itu sebelum pulang ke Indonesia, di Jerman dirinya sudah membuat business plan, namun pada kenyataanya sangat sulit untuk direalisasikan. “Saat saya kemabli ke Indonesia dua tahun berikutnya, saya malah bingung harus memulai dari mana, karena kantor tidak ada , uang pun tidak ada. Akhirnya saya kembali melamar pekerjaan, tapi tidak ada perusahaan yang menerima juga. Karena tak ada yang mau menerima, saya pilih kembali ke BPPT. Saat itu saya digaji Rp. 1,5 juta sebulan. Saya nikmatin saja lah, “akunya.

Tapi karena ide bisnisnya belum hilang, sambil bekerja di BPPT Bimo pun membuat brosur kursus bahasa Inggris yang kemudian ia bagi-bagikan ke sekolah-sekolah SMA. Di tahun 2002, ia mendirikan institusi konsultan pendidikan untuk membantu calon mahasiswa/I yang ingin melanjutkan kuliah di Eropa, yang diberi nama Euro Management Indonesia. Setelah tiga bulan berjalan, ternyata ada beberapa orang tua yang merespon dan langsung mendaftar. Bimo sendiri awalnya tak percaya, karena banyak orang tua siswa yang percaya terhadapnya. Singkat cerita di tahun pertama itulah ia berhasil mendapatkan 20 orang yang akan melanjutkan kuliah ke luar negeri dan mengikuti program pembekalan Bahasa di lembaganya. “Dari 20 orang itu saya bias dapatkan dana sekitar Rp. 600 juta, saya berkewajiban untuk membimbing mereka selama satu tahun sampai ke proses pemberangkatan, pembelian tiket, dan tempat tinggal di negera tujuan, “imbuhnya.

“Saat saya belajar di Jerman, saya merasakan sekali bahwa kuliah di sana biayanya tidak besar bahkan gratis” 

Tahun berikutnya, jumlah pendaftar melonjak menjadi 50 orang, tahun 2005 ada 70 orang dan tahun 2006 berjumlah 90 orang. “Sejujurnya saya tak menduga perkembangan Euro Management Indonesia saya dirikan dengan tujuan memberikan kesempatan yang seluas-luasnya bagi calon mahasiswa Indonesia untuk dapat melanjutkan studinya baik program S1, S2 maupun S3 di Eropa. Saat saya belajar di Jerman, saya merasakan sekali bahwa kuliah di sana biayanya tidak besar bahkan gratis, dan saya berangan-angan nanti kalua pulang ke Indonesia akan membuat institusi pendidikan yang tahu persis kondisi Eropa, terutama Jerman & Prancis, “ungkapnya lagi.

Ayah dari lima anak dan suami dari Ibu Dwireka Novitria ini merasakan sendiri nilai plus saat kuliah di Jerman dan Prancis. Biaya pendidikan gratis di Jerman dan Prancis berlaku untuk semua tingkat pendidikan. Sehingga mahasiswa hanya perlu menanggung biaya hidup dan jumlahnya lebih kurang sama dengan di negara-negara lain, termasuk Indonesia bahkan bisa lebih kecil. 

“Biaya hidup selama kuliah di Jerman dan Prancis pun sebenarnya bisa lebih ringan jika mahasiswa mau mencari pekerjaan part time yang banyak tersedia. Misalnya kalua bekerja maksimal 20 jam perminggu selama masa kuliah, kita bisa mendapatkan  325 Euro perbulan. 

Bahkan mahasiswa berhak mendapatkan pekerjaan full time selama masa liburan 3 bulan, 40 jam perminggu, dengan rata-rata pendapatan antara 750-1000 Euro per bulan. Selama itu, universitas di Jerman dan Prancis juga mewajibkan mahasiswa untuk mengikuti magang selama masa program kuliah di berbagai perushaan Jerman dan Prancis, minimal dua semester penuh dengan pendapatan antara 300 hingga 1000 Euro per bulan, “tuturnya.

Di lembaganya tersebut, para peserta didik Euro Management sudah mendapatkan fasilitas-fasilitas berupa kursus Bahasa Jerman dan Prancis selama 6 bulan dengan pengajar local dan native speaker, pengurusan dokumentasi-dokumentasi (passport dan lain-lain) dan cultural workshop. “Memang tidak ada jaminan bahwa setiap peserta didik di Euro Management akan diterima kuliah di Jerman atau Prancis tapi tidak perlu khawatir karena syarat penerimaan mahasiswa di Jerman dan Prancis itu sangat mudah. Pada prinsipnya di Jerman dan Prancis siapapun boleh mengenyam pendidikan. Yang paling penting hanya lulus dalam tes matematika dasar, “ucapnya.

Diakuinya, saat ini dirinya telah memberangkatkan sekitar 2000 mahasiswa ke luar negeri, khususnya ke negara-negara di Eropa seperti Jerman dan Prancis yang paling banyak diminati. Tak hanya Eropa, dalam jumlah kecil dirinya juga mengurus para mahasiswa yang akan belajar ke Amerika, Jepang, Australia, Inggris dan Negara lainnya.

Kini Euro Management Indonesia telah berkembang pesat menjadi sebuah konsultan pendidikan internasional terbesar di Indonesia yang secara terpadu dan terintegrasi membantu calon siswa-siswi Indonesia yang ingin melanjutkan sudinya ke berbagai perguruan tinggi terbaik dan ternama di Negara-negara Eropa, khususnya di Jerman, Prancis, Amerika Serikat, Belanda, Inggris, Australia dan Jepang. Saat ini dalam setahun dirinya tidak kurang menerima sekitar 150 orang yang mendaftar. Dalam pelayanannya ia baru membuka di Jakarta dengan alasan agar lebih focus, meski sebelumnya pernah juga membuka di Bandung dan Yogyakarta tapi karena perkembangan yang tidak maksimal, dua cabang tersebut akhirnya ditutup. Lalu bagaimana dengan omzet yang bisa diraih dari bisnis ini? “Setahun omzetnya bisa sampai 7,5 miliar dengan laba bersih sekitar 10% dari omzet,” pungkas Bimo. (Doddy Handoko, foto: dok.pri)







Tidak ada komentar:

Posting Komentar