Kamis, 16 Juni 2016

Republika - Rasionalisasi ASN dan Layanan Elektronik

Rasionalisasi ASN dan Layanan Elektronik
Oleh: Bimo Sasongko


Polemik tentang program nasionalisasi bagi Aparatur Sipil Negara (ASN) belum menyentuh akar masalah yang esensial. Justru menimbulkan kontra produktif bagi bangsa. Melihat postur dan kinerja ASN hingga saat ini maka rasionalisasi adalah keniscayaan.

Presiden Joko Widodo menyatakan bahwa rasionalisasi ASN dilaksanakan secara alamiah. Tentunya hal itu masih perlu disertai dengan sistem informasi dan rekrutmen. Serta, seperti ap kebutuhan aktual oleh kementerian, lembaga negara, dan pemerintah daerah. Kebutuhan aktual tersebut tentunya harus sesuai dengan tantangan terkini dan benar-benar sesuai dengan daya saing global.

Tujuan rasionalisasi ASN tidak sekadar untuk menghemat anggaran negara yang selama ini tersita untuk gaji birokrasi. Rasionalisasi ASN harus bisa mewujudkan integritas ASN yang tangguh dan kompetensi berdaya saing global serta bisa melayani masyarakat secara paripurna. Sekadar gambaran, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2016 tersedot untuk belanja ASN hingga Rp. 347,5 triliun. Jumlah tersebut terlalu tinggi, memakan porsi 16,5 persen dari total pagu belanja.

Dari simulasi, jumlah PNS idealnya sekitar 1,5 persen dari jumlah penduduk, sehingga pelayannya cukup memadai, apalagi jika dengan bantuan teknologi. Dari total penduduk Indonesia, hanya dibutuhkan sekitar 3,5 juta PNS. Sekarang, PNS kita ada 4,5 juta orang. Maka, secara simulasi kelebihan satu juta orang. Untuk mengurangi ASN dilakukan dengan kebijakan rasionalisasi dan redistribusi (PNS).

Rasionalisasi alamiah dijalankan dengan cara mengatur laju jumlah ASN yang pensiun tidak disertai dengan jumlah rekrutmen pegawai baru yang jumlahnya lebih kecil. Dengan demikian, terjadi penyusutan sesuai dengan jumlah yang diinginkan. Tapi kondisi ini merupakan solusi di permukaan. Masih ada persoalan yang lebih esensial dan rumit terkait postur dan kompetensi yang ideal pada setiap kementerian. Dari postur ASN yang eksis saat ini, sasaran rasionalisasi difokuskan pada jabatan fungsional umum dengan pendidikan SMA, SMP dan SD.

Persoalan serius terkait dengan pelaksanaan rasionalisasi ASN adalah belum adanya sistem informasikepegawaian yang baik di setiap instansi. Hal itu menyebabkan berbagai penyelewengan, antara lain adanya kasuspuluhan ribu ASN fiktif dan pemakan gaji buta yang tersebar di pusat dan sejumlah daerah. Karena tidak adanya sistem informasi yang baik, maka sulit dilakukan evaluasi dan tindakan cepat terhadap ASN.

Terkait dengan sistem informasi birokrasi perlu belajar dari Singapura. Di Singapura pejabat memiliki mekanisme yang jelas secara reguler untuk mengevaluasi setiap orang di bawahnya. Misalnya kalau Eselon I bisa mengevaluasi kinerja Eselon II sampai ke bawah, evaluasi di masukkan ke dalam sistem informasi.  

Di Indonesia hal itu belum terwujud. Sebagai gambaran, yang paling mendapat perhatian dan sistem remunerasi yang tinggi adalah Di lingkungan Ditjen Pajak. Ternyata hingga kini  jumlah ASN di Ditjen Pajak yang berjumlah sekitar 33 ribu orang juga belum ada sistem informasi yang mampu menyajikan integritas dan kinerja pegawai secara komprehensif dan bisa dimonitor secara real time. Sistem yang ada masih parsial dan hanya terbatas untuk keperluan administrasi yang kurang esensial untuk pengembangan kompetensi dan peningkatan produktivitas ASN. 

Sistem perpajakan pada saat ini sudah terbantu oleh teknologi informasi dan komunikasi. Mestinya aspek profesionalitas pegawai pajak harus terukur secara obyektif dengan standardisasi job establisment and grade system yang berlaku secara ketat. Usaha untuk meningkatkan profesionalisme dan peningkatan integritas pegawai pajak dengan cara menerapkan sistem remunerasi yang memberikan gaji yang tinggi ternyata belum membuahkan hasil yang optimal. Dan justru menimbulkan kecemburuan oleh ASNdari kementerian lain.  

Untuk mewujudkan birokrasi pemerintahan  yang bersih dan kinerja yang  efektif perlu sistem yang berbasis layanan elektronik. Layanan elektronik sebenarnya merupakan tuntutan jaman untuk mencapai efektifitas pemerintahan. Berbagai sistem layanan eletronik seperti e-Gov, e-Procurement, e-Education, e-Health dan sebagainya di negara maju terbukti efektif untuk melayani publik. 

Hingga kini manfaat layanan elektronik masih belum optimal dan justru menimbulkan korupsi baru. Diharapkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan investigasi berbagai proyek infrastruktur layanan elektronik yang  sarat mark-up. Demikian juga modus penunjukan satu produk vendor ( monopoli ) untuk semua proyek layanan elektronik yang selama ini sangat merugikan ekosistem pengembanagan TIK di Indonesia. 

Jika kita mau menengok kota-kota di negara maju, terlihat bagaimana penggunaan e-Procurement begitu efektifnya, meskipun tanpa campur tangan pemerintah pusat. Misalnya kota besar di Uni Eropa, seperti Bremen, Amsterdam, Paris dan lain-lain. Tengok saja kinerja kota Bremen yang telah membangun portal BOS (Bremen Online Service) yang merupakan portal informasi dan transaksi layanan pemerintah untuk masyarakat. BOS tidak sekedar portal informasi, dengan teknologi keamanan dan enkripsi yang maju memungkinkan masyarakat luas dan pelaku bisnis bisa melakukan berbagai transaksi elektronik melalui portal itu secara mudah. Layanan online service yang diberikan ada ratusan jenis. Mulai dari perijinan, pembayaran pajak, hingga pengajuan berbagai aplikasi. 

Kinerja birokrasi semakin efektif jika dikembangkan hubungan kolaboratif antar dinas atau karyawan dengan sistem virtual working. Masalahnya ASN di Indonesia hingga kini belum mampu mendayagunakan infrastruktur e-Goverment seefektif mungkin sesuai dengan tatakelola dan standar global. 

Dengan memanfaatkan kemampuan kolaborasi virtual berbagai jenis pekerjaan dan tugas ASN bisa dijalankan secara cepat dan efisien. Perlu transformasi budaya kerja lewat kolaborasi secara virtual menggunakan berbagai perangkat lunak pendukung di dalam sebuah jaringan komputer. Hal ini dimungkinkan tidak saja karena adanya perangkat lunak utama untuk berkolaborasi, tapi juga infrastruktur pendukung seperti sistem otentikasi di dalam jaringan. 

Untuk mewujudkan budaya kerja virtual bagi birokrasi di negeri ini diperlukan platform perangkat lunak yang memiliki empat pilar utama. Pertama, pilar yang mampu menghadirkan solusi komunikasi yang terintegrasi yang dapat memudahkan akses komunikasi kapan saja dengan berbagai mekanisme komunikasi yang ada.Pilar diatas membutuhkan platform yang ekstensibel yang memungkinkan komunikasi yang aman. 

Kedua, bersifat “Empower Teams Through Workspaces” yakni pilar yang menghadirkan solusi workspace yang menghadirkan komunikasi team dalam bekerja secara terdistributif dan berkolaborasi bersama melalui ruang kerja virtual, seperti melalui blogs, wiki, atau team workspaces. 

Ketiga, bersifat “Connect People, Process, dan Information” yakni pilar yang menghadirkan solusi akses informasi data korporasi atau pemerintahan mulai dari informasi umum hingga notifikasi event.  

Keempat, bersifat “Enable Work Anywhere yakni pilar yang menekankan pada kebebasan ruang dalam bekerja. Setiap kegiatan dan aplikasi yang terkait dapat dikerjakan secara mobile baik terkoneksi dan tidak terkoneksi. 

*) BIMO JOGA SASONGKO, President Director & CEO Euro Management Indonesia. Sekjen Pengurus Pusat IABIE (Ikatan Alumni Program Habibie). 





Tidak ada komentar:

Posting Komentar