Kamis, 12 Mei 2016

Investor Daily - Sistem Kesempatan Kerja dan Bonus Demografi

Sistem Kesempatan Kerja dan Bonus Demografi
Oleh : Bimo Joga Sasongko


Langkah Kementerian Ketenagakerjaan yang menerapakan aplikasi online informasi kesempatan kerja bertajuk "Sistem Informasi 10 Juta Kesempatan Kerja" patut diapresiasi. Melalui sistem tersebut semua pihak terkait bisa terintegrasi secara self assessment dan dapat berkontribusi dalam mengelola kesempatan kerja secara sistemik.
Sistem Informasi 10 Juta Kesempatan Kerja melibatkan 34 Kementerian, 34 Lembaga pemeritnah Non Kementerian (LPNK), 121 Badan Usaha Milik Negara (BUMN), 15 pengelola kawasan industri, Kadin, Apindo, JICA, ILO dan jajaran internal Kemenaker, untuk berkordinasi dengan seluruh pihak agar dapat bersama-sama mendata dan mengelola kesempatan kerja yang tersedia. 
Konstitusi menyatakan bahwa negara bertanggung jawab menyediakan lapangan kerja yang layak bagi seluruh rakyat. Pendataan dan bursa kesempatan kerja sebaiknya juga terkait dengan antisipasi era bonus demografi yang akan terjadi di Indonesia. Karena pada tahun 2020 hingga 2030 terjadi fenomena bonus demografi dimana usia produktif penduduk Indonesia mencapai puncaknya. Bonus demografi harus dipersiapkan dengan berbagai program pengembangan SDM bangsa. 
Bonus Demografi adalah struktur kependudukan yang potensial dan bisa didayagunakan negara sebagai akibat dari besarnya proporsi penduduk produktif (rentang usia 15-64 tahun) dalam evolusi kependudukan yang dialaminya. Jumlah penduduk Indonesia dari tahun ke tahun terus meningkat. Bahkan, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) memproyeksikan bahwa jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2035 mendatang mencapai 305,6 juta jiwa. Jumlah ini meningkat 28,6 persen dari tahun 2010 yang sebesar 237,6 juta jiwa. 
Peningkatan jumlah penduduk pada 2035 menjadikan Indonesia negara kelima dengan jumlah penduduk terbanyak di dunia. Idealnya, era tersebut menjadi momentum kebangkitan nasional kedua. Peningkatan jumlah penduduk Indonesia tersebut meningkatnya penduduk berusia produktif (usia 15 tahun sampai 65 tahun)
Pada 2010, proporsi penduduk usia produktif sebesar 66,5 persen. Proporsi ini terus meningkat mencapai 68,1 persen pada 2028-2031. Meningkatnya jumlah penduduk usia produktif menyebabkan menurunnya angka ketergantungan, yaitu jumlah penduduk usia tidak produktif yang ditanggung oleh 100 orang penduduk usia produktif dari 50,5 persen pada tahun 2010 menjadi 46,9 persen pada periode 2028 sampai 2031. Namun, angka ketergantugan ini mulai naik kembali menjadi 47,3 persen pada 2035.
Kontribusi penduduk berusia produktif menyebabkan peningkatan Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia dengan catatan adanya peningkatan kompetensi tenaga kerja dan semakin banyaknya SDM yang berkelas dunia. Antisipasi dan proyeksi yang tepat terhadap bonus demografi akan mendorong pertumbuhan ekonomi negara yang signifikan. Kondisi demikian  terjadi di Tiongkok, Korea Selatan, Taiwan, Brasil, Rusia, Thailand dan India. Khusus untuk Thailand, Tiongkok, Taiwan dan Korea Selatan bonus demografi di sana berkontribusi dengan pertumbuhan ekonomi antara 10-15 persen.
Penyediaan data penciptaan 10 juta lapangan pekerjaan sebagai satu program prioritas nasional yang berkelanjutan sebaiknya juga memperhatikan faktor tenaga kerja asing dan tren bisnis dunia yang mengedepankan sistem outsourcing.
            Kasus lima pekerja Tiongkok yang ditahan karena melakukan kegiatan ilegal di Lanud Halim Perdana Kusuma merupakan indikasi serbuan tenaga kerja asing. Selama ini banyak penyimpangan kompetensi TKA, sehingga jenis-jenis pekerjaan teknisi rendahan saja dicaplok oleh para TKA yang berasal dari Tiongkok. Hal itu terlihat pada megaproyek infrastruktur ketenagalistrikan yakni PLTU. Hal serupa juga terjadi di proyek infrastruktur kereta cepat, bendungan, telekomunikasi dan transportasi. Ironisnya, peran tenaga kerja Indonesia (TKI) dalam berbagai proyek infrastruktur justru hanya sebatas jenis pekerjaan kasar saja seperti sopir, satpam, cleaning service dan tenaga kasar non teknis lainnya. 
Publik sangat kecewa dengan pemerintah, khususnya terhadap Kementerian BUMN yang menyebabkan tukang ngebor tanah untuk proyek infrastruktur saja harus didatangkan dari Tiongkok. Padahal banyak teknisi dalam negeri yang mampu mengerjakan soil test dan sebagainya.
Peningkatan jumlah tenaga TKA yang merambah berbagai sektor di negeri ini membuat berbagai pihak menjadi gusar. Namun, kegusaran tersebut hendaknya tidak memicu kekacauan tetapi harus diantisipasi secara fair dan langkah yang sistemik untuk meningkatkan kompetensi dan daya saing tenaga kerja lokal. 
Pemberlakuan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) menyebabkan TKA ke Indonesia semakin meningkat. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukan, selama Januari 2016 menyebutkan bahwa dari warga negara asing (WNA) yang melakukan kunjungan khusus sebanyak 37.900 kunjungan, jumlah WNA bekerja paruh waktu mencapai 25.200 kunjungan. Jumlah WNA yang bekerja paruh waktu itu meningkat 69.3% dibandingkan Januari 2015.
Tak bisa dimungkiri bahwa perluasan lapangan kerja yang sering dinyatakan oleh pemerintah merupakan jenis profesi yang rentan dan kurang memiliki prospek dan daya saing gobal. Jika dikaji lebih mendalam lagi, ternyata pala kepala daerah kurang mampu merencanakan portofolio profesi yang harus dikembangkan di daerahnya. Dimana ada jenis profesi kerja yang sudah usang dan jenuh terus diperhatikan. Sedangkan jenis-jenis profesi kerja yang menjadi kebutuhan dunia pada masa depan belum dipersiapkan secara baik.
Perlu belajar dari India untuk mencetak angkatan kerja yang berkualitas dunia dan banyak diminati oleh perusahaan multinasional. Hingga kini tenaga kerja dari India paling banyak diminati dan dicari oleh perusahaan-perusahaan multinasional. Seperti Mcrosoft yang memiliki lebih dari 2.000 karyawan yang berasal dari India. Begitu juga Intel Corp yang memiliki 1.200 karyawan berasal dari lulusan perguruan tinggi di India. Tenaga kerja ahli dari India juga banyak mengisi tempat di perusahaan-perusahaan teknologi di Korea Selatan ataupun Taiwan. Sekedar catatan, India merupakan negara yang menghasilkan jumlah insinyur paling banyak di dunia melampaui Tiongkok.
Persoalan kesempatan kerja dan kondisi hubungan industrial yang masih bermasalah dan kemorosotan portofolio kompetensi di kalangan pekerja Indonesia harus segera diatasi. Pemerintahan Jokowi dituntut lebih efektif dan sistemik mengatasinya.
Dibutuhkan segera postur aparatur sipil negara (ASN) sektor ketenagakerjaan yang ahli dan kredibel terkait outsourcing. Postur ASN ketenagakerjaan di daerah harus memiliki pengetahuan yang memadai terkait proses bisnis di dunia sekarang ini yang telah mencapai tingkat efektivitas yang luar biasa. Tingkatan itu bisa diraih salah satunya karena faktor outsourcing. Tak pelak lagi outsourcing lintas negara pada saat ini bisa dianalogikan sebagai potensi ekonomi globalisasi yang sangat besar dan sedang diperebutkan oleh berbagai negara yang memiliki SDM yang tangguh. Terkait dengan postur ASN, pemerintah daerah sebaiknya mulai mengirimkan para pemuda lulusan SMA untuk kuliah di negara maju. Para pemuda itu sejak dini diproyeksikan menjadi andalah untuk meraih beragam jenis outsourcing global untuk daerahnya.
Namun, dalam mengejar potensi dan berkah globalisasi itu, sebaiknya memiliki sistem dan regulasi yang baik disertai dengan pengembangan SDM sejak dini khususnya sejak dibangku sekolah mengengah diperkenalkan dengan bidang-bidang andalan outsourcing global. Para mahasiswa yang belajar di perguruan tinggi luar negeri biasanya lebi adaptif dan cukup waktu menguasai potensi berbagai jenis outsourcing dari perusahaan multinasional.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar