Senin, 09 Mei 2016

Kontan - Taksi Berbasis Aplikasi dan Era Platform

Taksi Berbasis Aplikasi dan Era Platform

Oleh: Bimo Sasongko *


    Model bisnis angkutan umum berbasis aplikasi teknologi informasi atau angkutan online menimbulkan aksi unjuk rasa dan polemik hebat. Aksi unjuk rasa menentang keberadaan angkutan online seperti Uber Taxi dan Grab Car memaksa Kementerian Perhubungan untuk menghentikan atau memblokir aplikasi. Namun, permintaan diatas sulit dilakukan oleh Kementerian Kominfo dan justru menyerahkan permasalahan kepada Kementerian Koperasi dan UKM untuk memayungi legalitas angkutan umum online dengan wadah koperasi.
    Layanan transportasi berbasis aplikasi seperti Uber Taxi dan Grab Car sudah barang tentu melanggar Undang-undang  karena tidak memenuhi syarat sebagai layanan tranportasi umum. Kemenhub menyatakan dua aplikasi internet itu menyalahi antara lain Undang-Undang nomor 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas Angkutan Jalan Raya dan UU nomor 6 tahun 1983 tentang ketentuan umum dan tata cara perpajakan. Namun, aturan tersebut kurang sesuai dengan semangat jaman dan kebutuhan masyarakat akan transportasi yang lebih memuaskan.
    Kegiatan angkutan online juga tergolong aktivitas ekonomi bawah tanah yang menghindari pajak dan kewajiban lain. Pemerintah harus mencari solusi terkait irisan krusial antara domain inovasi teknologi dengan domain hukum dan regulasi. Solusi tersebut hendaknya bisa atasi rintangan pengembangan inovasi teknologi dan ekonomi digital. Namun tetap sesuai dengan ketentuan hukum, perpajakan dan kondisi sosial.
    Saatnya otoritas hukum di negeri ini memahami secara komprehensif tentang pengembangan teknologi dan proses inovasi yang berpotensi mengusik tatanan sosial dan ekonomi lokal. Perkembangan TIK akan terus mengubah model bisnis yang sudah ada bahkan bisa mematikan  usaha jika tidak mau melakukan transformasi teknologi.
    Pemerintah harus mengantisipasi sebaik mungkin terkait sistem online dan berbagai macam aplikasi berbasis Android yang menyuburkan berbagai macam modus ekonomi bawah tanah. Ekonomi bawah tanah cenderung menghindari pajak dan kewajiban tertentu. Ekonomi bawah tanah adalah aktivitas ekonomi yang tidak terdaftar dalam lembaga resmi. Aktivitas ini memang tersembunyi atau disembunyikan, berbentuk ilegal seperti misalnya perjudian, prostitusi, human trafficking, hingga penyelundupan barang dan jasa. Modus diatas kini sudah memakai sistem online. Ekonomi bawah tanah menyebabkan sulitnya pemerintah membuat ukuran yang pasti mengenai transaksi dan nilai tambah yang harus dikenai pajak. Karena nilai transaksi dan aktivitas tersebut tidak tercatat.
    Di sejumlah negara seperti di India, Jerman, dan Prancis, aplikasi Uber juga menimbulkan resistensi yang luar biasa karena menciptakan ketidakadilan bagi supir taksi konvensional dan menyuburkan praktik ekonomi bawah tanah yang menggelapkan pajak. Di Tiongkok, Uber malah melaporkan kerugian hingga Rp 13,5 trilliun karena kalah bersaing dengan layanan taksi lokal yang telah bertransformasi menggunakan aplikasi buatan pengembang lokal.
    Pemerintah perlu menggalakkan difusi inovasi layanan online atau aplikasi terhadap perusahaan taksi atau angkutan umum. Tak pelak lagi, aksesibilitas pada angkutan online akan menimbulkan perluasan dan diversifikasi yang besar pada usaha logistik lokal hingga nasional. Sistem logistik dan jasa kurir segera menyatu dalam platform bersama. Jasa pengiriman paket, produk hingga bahan baku industri telah menjadi kegiatan insourcing yang volumenya semakin membesar dari waktu ke waktu.
    Aksesibilitas sangat tergantung pada daya inovasi suatu bangsa. Pemerintah perlu mendorong terwujudnya platform otentik yang khas Indonesia untuk mengimplementasikan berbagai macam aplikasi untuk bermacam usaha dan konten lokal. Sehingga ada nilai tambah dan daya saing bagi usaha dan bermacam profesi anak negeri.
     Saatnya segenap bangsa menyambut bangkitnya era platform dengan kondisi faktual di dalam negeri. Mengingat platform merupakan ekosistem yang sangat berharga dan berpengaruh yang dapat dengan cepat dan mudah mengukur, mengubah dan menggabungkan plank atau fitur-fitur baru, pengguna, konsumen, vendor dan rekanan.
    Perusahaan raksasa seperti Google dan perusahaan-perusahaan UMKM mestinya bisa bersinergi dalam platform yang notabene merupakan model bisnis yang tak memandang ukuran dan jenis usaha atau industri. Sebuah keniscayaan bahwa platform telah menjadi model bisnis paling penting. Era platform mencuat karena kesuksesan Amazon, Apple, Facebook dan Google. Dampaknya adalah semakin menjamurnya perusahaan rintisan atau start-up yang membangun platform dan plank yang lebih kolaboratif dan mampu merangkul konsumen secara efektif.
    Kapasitas inovasi nasional maupun inovasi daerah perlu diarahkan untuk menciptakan platform yang searah dengan perkembangan ekonomi digital. Para inovator negeri ini perlu mengatasi fenomena aplication is eating the world.  Kapasitas inovasi juga perlu mengkaji lebih dalam fenomena long tail economic. Yang merupakan pergeseran ekonomi dalam hal ini produk utama dan pemimpin pasar yang jumlahnya hanya beberapa menuju niche-niche kecil yang jumlahnya banyak. Pergeseran seperti itu diprediksi akan meningkat berbanding lurus dengan waktu. Salah satu penyebabnya adalah rendahnya biaya produksi dan distribusi khususnya dalam bisnis online.
    Dengan rendahnya biaya-biaya tersebut maka ada kebebasan memasarkan produk-produk spesifik tanpa harus berpikir tentang cost yang tinggi. Teori long tail digagas oleh Chris Anderson. Teori itu menyatakan bahwa dengan melayani pasar minoritas, membuat dan menyediakan produk dan jasa (low in demand) yang sesuai secara konsisten akan dapat meningkatkan keuntungan yang besar dibandingan jika harus bertarung dan hanya terfokus pada produk atau jasa yang sudah lebih dulu popular.
    Inovasi tentang aplikasi layanan jasa akan terus berkembang dan membutuhkan kreatifitas terus menerus. Bisa jadi inovasi angkutan online semacam Uber Taxi dan Grab Car akan tumbang dengan kreatifitas model bisnis baru. Ada model bisnis yang menarik terkait dengan asumsi diatas.  Hal itu bisa kita lihat di kota Paris, disana ada model bisnis yang menyewakan sepeda secara gratis. Model bisnis yang dikenal dengan istilah Velib ( kependekan dari velo libre atau sepeda gratis ) itu beroperasi pada 1.451 stasiun dengan jumlah sepeda yang dioperasikan mencapai ratusan ribu. Model gratis diatas sangat menguntungkan masyarakat dan para wisatawan dalam aktivitas transportasinya. Sementara operator sepeda gratis diatas juga memperoleh keuntungan dari sisi yang lain seperti kerjasama mutual dengan pusat perbelanjaan atau restoran disekitar pangkalan sepeda gratis. Karena data menunjukan bahwa pemakai sepeda gratis tersebut cenderung membelanjakan uangnya didekat pangkalan sepeda tersebut.
    Platform usaha akan diwarnai dengan kondisi free atau menjadi gratis. Salah satu model bisnis global yang akan terus menjadi kejutan adalah menawarkan layanan gratis dan memetik keuntungan dari sisi yang lain. Chris Anderson dalam buku best seller-nya berjudul “Free” menyebutkan bahwa gratis adalah harga radikal yang akan mengubah masa depan. Teori Chris Anderson tersebut sebaiknya menjadi inspirasi bagi para pengembang aplikasi dan platform baru di negeri ini. Teori diatas telah  dibuktikan oleh Facebook dan Google. Dimana kedua perusahaan internet global tersebut menyediakan layanan gratis kepada warga dunia. Andai saja kedua raksasa internet tersebut sejak awal mensyaratkan pengguna untuk membayar layanannya, mungkin kedua perusahaan tersebut tidak bisa berkembang seperti sekarang.

*) BIMO JOGA SASONGKO, BSAE, MSEIE, MBA,
President Director & CEO Euro Management Indonesia. Sekjen Pengurus Pusat IABIE ( Ikatan  Alumni Program Habibie ).

Biodata Singkat :
      BIMO JOGA SASONGKO, BSAE, MSEIE, MBA  :  Lulus SMAN 3 Bandung tahun 1990. Alumni Arizona State University,Amerika Serikat. Juga alumni North Carolina State University, Amerika Serikat dan alumni FH. Pforzheim Jerman. Menerima beasiswa dari Menristek BJ Habibie untuk kuliah di teknik penerbangan atau aerospace engineering, di North Carolina State University, Ralegh, North Carolina, USA. dari tahun 1991 – 1995. Kemudian melanjutkan program S2 di Amerika Serikat mengambil program master di jurusan industrial engineering atau teknik industri di Arizona State University. Tahun 1996 penulis kembali ke Indonesia dan berkarir di BPPT.
      Pada 2001 melanjutkan studi ke Jerman dengan mengambil program MBA dan lulus 2003, kemudian bekerja kembali di BPPT sambil mendirikan Euro Management Indonesia. Saat ini penulis menjabat sebagai Sekjen IABIE (Ikatan Alumni Program Habibie) yaitu ikatan alumni yang terdiri dari para lulusan SMA terbaik dari seluruh Indonesia yang berjumlah sekitar 1500 orang dari tahun 1982 – 1996 yang menerima bea siswa untuk kuliah di luar negeri lewat program BJ.Habibie.

     
     

Tidak ada komentar:

Posting Komentar