Rabu, 12 Oktober 2016

Lahir Kembali Untuk Indonesia




Interview Eksklusif

Bimo Sasongko BSAE, MSEIE, MBA
- Ketua Umum IABIE
  (Ikatan Alumni Program Habibie)
- Pendiri Euro Management Indonesia

Interview Eksklusif Bimo Sasongko dengan Republika,
dimuat dalam Koran Republika,
kolom Wawasan, hal. 23 (satu halaman penuh),
Rabu 12 Oktober 2016.


LAHIR KEMBALI UNTUK INDONESIA

Presiden ketiga RI Bacharuddin Jusuf Habibie saat menjadi menteri riset dan teknologi memiliki visi jangka panjang. Anak-anak Indonesia harus menguasai ilmu pengetahuan. Bangsa Indonesia harus mandiri dalam menggerakkan industri sains dan teknologi yang akan menjadi bidang terdepan pada masa depan.
Habibie kala itu kemudian mengirimkan hampir 1.500 lulusan SMA terbaik di seluruh Indonesia untuk melanjutkan pendidikan sarjana ke beberapa negara maju. Anak-anak muda ini dikirim ke jerman, Amerika Serikat, Prancis, Belanja, Inggris, Australia, Kanada, Austria, dan Jepang pada rentang 1982 hingga 1996. Mereka hanya fokus mempelajari bidang sains dan teknologi.
 Kini, para pelajar Indonesia itu kembali ke nusantara. Mereka megembangkan diri menjadi ahli dibidangnya masing–masing. Keinginan kuat untuk berkumpul dan bisa memberikan darmanya untuk bangsa, anak-anak muda ini lantas berkumpul dalam satu organisasi Ikatan Alumni Program Habibie (IABIE). Apakah yang hendak diperjuangkan para ahli ini dengan berkumpul dalam satu wadah? Berikut penurutan Ketua Umum IABIE Bimo Joga Sasongko kepada wartawan Republika, Umi Nur Fadhilah.

Apa maksud alumni IABIE ingin berkontribusi untuk Indonesia?
Kita sudah menikmati pendidikan luar negeri. Menikmati beasiswa 20 tahun lalu, dikirim ke universitas terbaik dunia yang harganya sangat mahal. Setelah pulang, tepatnya di usia 40-50-an tahun dapat berkontribusi untuk bangsa dan negara.

Kontribusi dalam bidang apa?
Masing-masing dari kita mempunyai keahlian di bidang sains dan teknologi. Tetapi, kita tak hanya akan berkontribusi sesuai bidang keahlian. Kita siap menyentuh sebanyak mungkin aspek kehidupan masyarakat umum di Indonesia. Itu intinya.
Apalagi anggota IABIE ini sudah berusia 40 – 50 Tahun, insya Allah sudah mapan dari segi finansial dan keilmuan pekerjaan. Sehingga, mengapa kita tidak memberikan sesuatu untuk bangsa dan negara, yang lebih luas jangkauannya dengan berbagai aktivitas.

Apakah selama ini alumni program beasiswa belum berkontribusi untuk negara?
Masing-masing IABIE sudah bisa berkontribusi. Tapi, dengan adanya IABIE ini, berkumpul 4.000 alumni yang pernah disekolahkan Pak Habibie (Bacharuddin Jusuf Habibie). Kita bersinergi dan menciptakan sesuatu yang berbeda dengan aktivitas sehari-hari, yang pada umumnya selalu berhubungan dengan keahlian uang dan bisnis. Kita ingin sesuatu yang berhubungan dengan kemaslahatan umat, aksi sosial, pemberdayaan masyarakat, dan sebagainya.

Saat ini, di mana IABIE menyalurkan keahliannya?
Mereka rata-rata jadi peneliti. Ada yang di birokrat, pengusaha, professional, bekerja di perusahaan-perusahaan swasta atau asing. Meskipun dulunya mereka belajar dan menuntut ilmu di bidang sains dan teknologi, setelah pulang ke Indonesia, bekerja 20 hingga 30 tahun, mereka cabangnya sudah masing-masing. Ada yang anggota DPR, kader partai polotik, pengacara, seniman.
 
Apakah ada bidang khusus yang ingin dibidik IABIE?
Sebenarnya pertama kita ingin menggaungkan kembali program beasiswa yang sudah dihentikan sejak 1998. Bagaiman menggerakkan kembali program beasiswa yang kita nikmati dulu, di mana anak-anak lulusan SMA bisa menuntut ilmu di negara maju dunia. Beda dengan Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) yang mengirim sarjana ke luar negeri.
Dan ini yang tidak pernah ada lagi sebagai inisiatif pemerintah saat ini. Sehingga, IABIE berinisiatif untuk menggaungkan, mengawal, dan menginspirasi berbagai pihak generasi muda dan orang tua, pemerintah, swasta, bank, pemerintah daerah (pemda), untuk kembali menggaungkan program pengiriman mahasiswa ke luar negeri. Itu salah satu inti berdirinya IABIE.

Bagaimana IABIE akan turun ke lapangan?
Bangsa Indonesia saat ini kekurangan motivasi pada generasi mudanya. Apakah itu anak SD, SMP, SMA, perguruan tinggi, bahkan orang-orang yang di usia 30-40, tidak termotivasi untuk melakukan sesuatu. Televise bersisi tayangan yang mendemotivasi, berita-beritanya kriminal, perselingkuhan, tahayul, dan lain-lain. Sekarang generasi muda kita terbuai dengan informasi selebritas, hura-hura.
Dibutuhkan orang-orang yang bisa memotivasi. Nah, itulah. Kita berusaha menggerakkan yang namanya program gerakan motivasi pendidikan Indonesia. Artinya, kita akan mengumpulkan orang-orang yang sudah mapan dari segi ilmu pengetahuan, dan pekerjaan untuk turun ke lapangan. Saatnya mereka memberikan kontribusi kepada masyarakat dengan cara memotivasi generasi muda agar dia terinspirasi untuk bisa menjadi dirinya.

Apa tujuannya memotivasi generasi muda?
Agar mereka sadar, untuk menjadi sesuatu, mereka harus belajar. Itu penting. Karena di sekolah tidak dimotivasi. Di sekolah hanya mempelajari ilmu pengetahuan, tapi tak dimotivasi nantinya mau jadi apa 20-30 tahun lagi. Tidak dijabarkan ahli peasawat terbang itu seperti apa, ahli nuklir itu seperti apa.
Nah kita berusaha hadir untuk itu. Kita akan mengumpulkan orang-orang yang sudah terkenal dan mapan, mulai turun ke lapangan di seluruh Indonesia. Dimulai dengan anak SMA, mahasiswa, dan public. Kita tidak seperti di TV, tapi lebih ke expertise motivation (kepakaran motivasi).

Apakah program motivasi juga akan menjangkau daerah 3T (terpencil, terluar, dan tertinggal)?
Tentu saja, tapi, kita mulai dari daerah yang terjangkau dulu, misalnya, pinggir-pinggir Kota Jakarta. Banyak orang yang sudah berada di posisi puncak lupa dengan lingkungan sekitarnya. Padahal, seharusnya ilmunya dituangkan keluar. Tantang pengalaman dia, kehidupan dia, suka duka, yang tidak didapatkan di dunia perguruan tinggi atau sekolah-sekolah.

Apa yang dibutuhkan anak Indonesia untuk memajukan bangsa?
Pertama, harus punya cita-cita setinggi-tingginya. Tanpa cita-cita, dia tidak akan mau ngapa-ngapain. Dan untuk mencapai cita-cita itu, dia harus dimotivasi dulu.
Kedua, percaya dirinya, mengungkapkan pendapat, berdiskusi. Tidak hanya punya ilmu pengetahuan, tapi juga jago berdebat, berdiskusi, menganalisis, kemampuan Bahasa. Itu yang dibutuhkan bangsa Indonesia 20-30 tahun lagi pada era globalisasi. Karena persaingan kita itu dengan dunia luar.

Pemerintah mengalahkan pendidikan vokasi, sementara IABIE mendorong pelajar untuk kuliah di luar negeri. Ada titik temu?
Itu ide yang yang bagus. Tapi kita masing-masing punya kekhususan. Kita menggerakan itu karena itu adalah suatu strategi untuk percepatan pembangunan. Agar bangsa Indonesia maju dan dapat bersaing dengan bangsa-bangsa lain, khususnya di ASEAN.
Namun, fokusnya penting karena penduduk Indonesia yang banyak dan sebagian besar orang-orang muda, bonus demografi, mereka harus dilatih dengan pendidikan setinggi mungkin. Tentu saja ada yang pendidikan secara resmi SD, SMP, SMA, perguruan tinggi. Tetapi juga harus diisi orang-orang yang punya keahlian yang tidak bisa dipelajari di universitas.
Ini kekurangan kita juga. Kalah bersaing dengan Malaysia, Vietnam, Kamboja, di mana struktur penduduknya itu diarahkan oleh pemerintah supaya punya keahlian khusus.
Keahlian itu membutuhkan pengalaman kerja, bukan pendidikan. Sehingga, nilai jualnya tinggi. Itu yang kekurangan di Indonesia. SDM kita sudah banyak yang lulusan perguruan tinggi, tapi banyak yang tidak berkualitas. Untuk itulah, didorong dengan program-program beasiswa.
Kedua, kita juga kekurangan tenaga-tenaga yang membutuhkan keahlian tinggi. Di negara besar lainnya, program vokasi itu berbarengan dengan program prndidikan formal dari S-1 sampai S-3.

MIMPI MENCETAK SATU JUTA HABIBIE

Tepat usia republic ini genap 71 tahun, pengurus Ikatan Alumni Program Habibie (IABIE) juga menggelar hajat besar. Gegap gempita kemerdekaan melatarbelakangi pelantikan pengurus baru IABIE pada Rabu (17/8). IABIE memasang tema yang tak kalah besar, memerdekakan bangsa dari keterbelakangan ilmu pengetahun dan teknologi.
Nama Bimo Sasongko mendapat panggungnya hari itu. CEO Euro Management itu didaulat sebagai pemimpin tertinggi IABIE yang baru berusia tiga tahu. Bimo dalam kesempatan pertamanya setelah dilantik bertekad mengumpulkan potensi seluruh alumni program Habibie.
“IABIE memiliki alumni yang bertebaran di berbagai latar belakang profesi. Kita berharap dapat menghimpun potensi alumni program Habibie, saling bersinergi dalam membangun Indonesia.” Ujar Bimo dalam situs resmi IABIE.
Bimo ingin IABIE bisa bersinergi dengan petensi bangsa yang lain, termaksud dengan pemerintah. Bimo mengatakan, IABIE siap menyumbangkan pemikiran kepada Pemerintah Presiden Joko Widodo terkait dengan masalah dan solusi SDM ahli dan berkompetensi tinggi untuk pembangunan nasional. “Khususnya pembangunan infrastruktur, industri, dan kapasitas inovasi nasional” ujar dia.
Sejak awal, Bimo memiliki gagasan agar IABIE bisa berperan aktif sebagai badan pemikir bangsa terkait strategi, pelaksanaan dan pengawasan pembangunan nasional.
Bimo sendiri adalah penerima beasiswa Habibie pada 1991. Sebagai penerima beasiswa Habibie, bimo mendapatkan kesempatan berkuliah di North Carolina State University, Amerika Serikat, pada 1991 sampai 1996. Kemudian Bimo melanjutkan program magister di jerman pada 2001 hingga 2002.
Pelajaran selama studi di AS dan Eropa itu juga yang ia ambil ketika memimpin lembaga studi Bahasa dan misi beasiswa ke luar negeri, Euro Management. Bimo berharap generasi muda Indonesia bisa semakin maju, mampu berbahasa asing, hingga mengambil studi ke luar negeri.
Bimo menyebut, itulah salah satu tujuan lembaga Euro Management yang ia pimpin, mencetak satu juta Habibie. Caranya dengan mendorong pelajar mendapatkan beasiswa ke luar negeri. “saat ini sudah hamper 2.000 orang siswa yang dikirim Euro Management ke luar negeri. Dan mayoritas mereka adalah muslim”, kata dia kepada Republika, beberapa waktu lalu.
Bimo mengatakan, sebagai bagian dari negara dengan Muslim terbesar, sudah menjadi tanggung jawab untuk meningkatkan harkat martabat generasi muda Muslim. Salah satunya melalui beasiswa luar negeri. Salah satu pesan yang ia tekankan kepada penerima beasiswa adalah mereka menjadi wakil bangsa Indonesia di kancah dunia, termasuk wakil umat islam di Indonesia.
Para mahasiswa ini, papar Bimo, harus mampu mencerminkan gambaran islam di Indonesia yang ramah, santun, dan toleran. Ini menjadi beban berat bagi mahasiswa Muslim Indonesia sekarang bila dibandingkan pada era 1990-an.
Ia menyebut, jika pelajar Indonesia memilki karakter baik, motivasi tinggi, santun, dan toleran, hal itu akan menjadi gambaran Indonesia di luar negeri. “karena banyak orang sekarang yang akhirnya malu-malu menunjukan jati dirinya sebagai Muslim di negara barat, lantaran gambaran buruk terhadap islam selama ini”, ujar dia.


Karena itu, ia ingin pelajar-pelajar Muslim Indonesia di luar negeri tetap bangga dengan jati diri keislaman mereka. Sekaligus bangga dengan keindonesiaan yang memiliki karakter lebih toleran dan santun ke semua orang.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar